- 05

649 115 94
                                    

Taufan membongkar kebohongannya sendiri karena sudah kepepet. Setelah mengigau di ruang pemulihan selama dua jam pasca mini-operasi, aku dipulangkan ke bangsal inap. Dan selama menunggu visit dokter yang bertugas di ruang rawat inap bangsal obstetri, aku memiliki waktu luang untuk menyuruh Taufan menjelaskan. Semuanya.

Tentu saja, karena Taufan punya riwayat menipu, jadi aku berniat menyaring informasi. Kendati demikian, tiap kali bibir Taufan mengayun dan menyuguhkan lisan, otakku ikut membayangkan—bekerja untuk mengilas balik, memvalidasi—dan aku dapat menyimpulkan, Taufan kini jujur.

"Maaf ya, aku bukan abang kamu." Taufan berekspresi seolah mau menangis. "Maaf. Aku suami kamu."

Kepalaku makin sakit rasanya. Sakit sekali, kayak mau meledak. Aku lantas menarik rambutku sendiri, berharap itu akan meminimalisir gelenyar nyerinya. Kilasan balik mengenai diriku yang berdiri di atas altar pernikahan dengan baju kebaya putih melintas di otak. Dan pria disampingku ... Taufan, sebagai mempelai pria. Aku ingat detailnya. Baju Taufan, kancing pada kerahnya, sedikit longgar karena jahitannya cacat. Aku juga ingat seperti apa pernikahan kami didesain; penuh akan bunga imitasi, sebagaimana adat kedaerahan yang diangkat. Aku tampil cukup meriah. Kepalaku berat, karena ada logam sebentuk mahkota tradisional di atasnya. Meskipun aku berada di podium pernikahan, mendengarkan alunan penyanyi jazz dari grup musik dengan harga sewaan merogoh kocek amat dalam, dan dikelilingi oleh sukacita kedua belah keluarga, aku dilanda indikasi ketidaknyamanan. Aku merasakan nostagia pekat. Memoriku siap mengatakan segala-galanya, pelan-pelan.

Aku merasakannya. Perasaan tidak nyaman saat resepsi pernikahanku. Saat itu aku memerhatikan cincin bertatahkan kristal vivid di kungkungan bingkai emas putihnya di jari-jariku, sambil mendendam. Pernikahan settingan, begitu kata (Nama)—sisi lain dari tubuhku yang begitu membenci dunia. Wanita ini mulai bicara sebagai orang lain di kepalaku. Dia menjadi narator, dan berjuang keras menyatukan dua kesadaranku menjadi satu-padu. (Nama) sebelum koma menginginkan aku kembali membenci segalanya, dan hanya mencintai dirinya dan egonya sendiri.

Setetes air mata lahir dari mataku. "Kenapa kamu membohongi aku?"

Aku memutuskan untuk tidak meladeni bisikan-bisikan kebencian dari (Nama). Apapun alasannya, diriku sendiri versi pembenci itu sangatlah persuasif. Dia memang cocok menjadi pengacara.

"Karena kamu benci aku." Taufan menghela napas panjang. "Kamu dijodohkan dengan aku. Padahal kamu cintanya sama Fang, si cowok rambut landak. Anak itu juga ingin kamu gugurkan, padahal aku mati-matian membujuk kamu buat mempertahankan si janin. Kamu ... kecelakaan, dalam perjalanan menuju klinik aborsi karena ditabrak oleh oposisi sidang kamu."

Sebagai salah satu peneggak hukum, aku tahu aborsi itu dilarang. Aku ingat mindsetku saat aku merencanakan aborsinya, ya tuhan! Aku berusaha memperoleh kontrasepsi darurat dari jejaring internet, dan bahkan, menghubungi dokter tanpa izin praktik untuk aborsi dengan biaya layanan cukup mahal.

Kepalaku sakit tak tertolong. Sekarang klimaks rasa sakitnya. Aku ingat aku memang dijodohkan oleh anak dari rekan bisnis mamaku. Taufan. Aku tidak menyukai Taufan. Aku mengajukan gugatan talak bahkan di hari pertama kami menikah. Aku memperlakukan Taufan dengan buruk. Aku berulang kali kepergok berselingkuh, sengaja memancing agar Taufan mau menandatangani surat perceraiannya. Tapi, laki-laki itu masih tidak berniat melepas aku walaupun dia berkali-kali dikecewakan.

"Hubungan kita dingin sebelum kamu bangun dari koma. Makanya aku nikmatin banget sifat manis kamu di situasi ini. Aku ketagihan berbohong sebagai kakak kamu." Taufan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ketika Taufan bergumam-gumam tidak jelas sembari menyembunyikan wajahnya, ingatanku membawaku pada memori lain. Aku melihat diriku sendiri berpegangan tangan dengan cowok rambut landak saat Taufan menelponku—menyuruhku pulang, menanyakan kesehatanku, berusaha tahu sedang dimana aku.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now