- 20

473 86 35
                                    

Meskipun sekadar pergelangan tangannya yang terluka, Mama minta dirawat inap. Katanya, dia takut kalau luka goresnya bisa memicu kematian. Aku tak punya cara untuk meyakinkannya bahwasanya itu hanya luka gores yang bahkan tidak memerlukan konsumsi antibiotik.

"Itu orang mabok!" Mama marah-marah. "Masa iya Mama nyebrang jalan di atas zebra cross, pas lampu merah, tapi dia tetep nerobos rambu-rambu! Pasti matanya siwer!"

Kemudian, aku memandang Kaizo, bos itu—seseorang yang kebetulan sedang membawa pesanan roti canai untuk rapat di firma, tapi dia memergoki Mamaku hendak diserempet mobil orang saat hendak menyebrang, dan dia dengan berbaik hati mendorong Mama ke tepi jalan, lalu membiarkan dirinya ditabrak dari samping. Kaizo memperoleh dua belas luka jahitan, luka kecil dalam balutan obat merah serta dilapisi perban antiair, gips, dan kini duduk di kursi roda.

Dan Kaizo memutuskan untuk pulang. Dia bilang, dia baik-baik saja dan tidak butuh sampai dirawat segala. Alay, begitu katanya, sambil mencaci maki residen di IGD.

"Lagian, kenapa Mama bisa ada di sekitaran sini?" Tanyaku.

Mama menyatukan alis. Ekspresinya keheranan, dan dia lekas menjawab dalam intonasi bicara yang tergolong tak wajar untuk parameter seorang korban tabrak lari dengan kesadaran masih komposmentis, "Ya nyari kamu, lah!"

Aku membuang muka ke pada tirai bambu yang digulung di pangkal jendela. Sinar mentari menembus masuk dari lapisan insulasi di sana. Pasti soal Ejojo lagi, 'kan?

"Ejojo marah, (Nama). Dia meminta kamu sebagai imbalan atas golden ticket yang telah diberikannya pada Mama." Mama menjelaskan langsung ke rumusan masalahnya.

Aku mendengar deru napas yang kasar dari hidung Taufan. Dia memandang lurus pada Mama, menatap Mama dengan berbagai esensi kekecewaan. Netra birunya seolah berkemilau, dan meluncurkan pendar dongkol. Iya, iya. Aku tahu betapa tersinggungnya Taufan. Mama betul-betul kurang ajar. Padahal sebelumnya, Mama benar-benar menjilat Taufan, dan bersikap sok akrab padanya. Mama jadi banting setir begini cuma gara-gara Mama punya calon menantu idaman lain. Taufan dicampakannya secara begitu instan.

Aku melirik pada Kaizo lagi. Dia seorang bos yang egaliter.

"Mama lupa mengucapkan terimakasih pada ... Bos ini." Aku mengulum senyum, mengalihkan topik pembicaraan agar dialognya tak memanas sedemikian rupa.

Mama menoleh pada Kaizo di kursi rodanya. Kaizo telah berjasa menyelamatkan nyawa Mama dari serempetan pengemudi mabuk amer. Setidaknya, demi memenuhi adap, etika, sopan-santun dan budi pekerti, Mama perlu berterimakasih setulus-tulusnya.

"Jadi kamu pemilik firma?" Mama mengernyit. "Kamu mantan jurnalis itu, 'kan?"

Spontan, aku mengingat seperti apa Kaizo mengisahkan latarbelakang karirnya pada penghujung rapat diskusi tahun lalu. Dia bukan murni seorang pengacara. Dia memang lulusan pendidikan kepengacaraan di fakultas hukum bagus di Kuala Lumpur, tapi dia bekerja selama bertahun-tahun di kantor siaran berita. Sebagai jurnalis. Tak ada yang spesial di cerita-ceritanya. Tapi namanya sempat heboh karena ia mempublikasikan artikel tanpa seizin pemimpin redaksi. Bukan hal besar. Cuma perselingkuhan anggota eksekutif saja. Tapi beritanya lumayan laku keras di pasaran karena topik-topik itu digemari sebagian lapisan masyarakat Malaysia.

"Ya." Kaizo begitu simpel dalam menjawab, dan ia berkali-kali mencuri pandang pada Taufan. Di antara pihak terafiliasi lainnya—Ying, Thorn, atau bahkan Solar—Kaizo ialah orang yang tak membatasi dirinya dalam bertingkah-laku. Bila tidak suka, dia akan mengekspresikannya blak-blakkan. Seperti sekarang. Dia terlalu banyak mendecak ketika Taufan bersuara, dan dia vokal sekali bila aku dan Ying tengah membahas kematian-kematian di proyeknya Perdana Menteri.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now