Epilog

785 122 207
                                    

Kuala Lumpur. Pusat ekonomi Malaysia. Di bagian terluar kawasan urbannya, ada berhektar-hektar bekas gedung yang diledakkan dengan bom detonatif sebelum akhirnya dibangun ulang menjadi kavling-kavling pembatas. Area pembangunannya amat luas, lebih luas dari lapangan golf, sirkuit Mandalika, stadion Gelora Bung Karno, jauh berkali-kali lebih besar ketimbang menara kembar Petronas, batu caves, dan direncanakan akan dibangun lebih tinggi daripada gedung pencakar langit di Sunway Lagoon.

Suntikan dananya luar biasa besar. Perdana Menteri menggelontorkan kocek yang tak main-main demi memuaskan mata para tamu dunia pada perayaan Sea Games tahun depan. Oleh karenanya, progressnya fluktuatif, dan amat cepat.

Dalam waktu pengerjaan kurang lebih tiga bulan, landasan besar beton telah terpasang di tanah landai, menggantikan perseroan lokal Malaysia yang tadinya berdiri kokoh di sekitar sini. Taman kota, gedung bisnis, coffee shop, apartemen, dan sebidang tanah untuk daerah resapan air hujan berganti menjadi arena proyek.

Buldoser kuning, excavator untuk mengeruk tanah dan menciptakan saluran pembuangan menuju septic tank, asphalt finisher di gelanggang pondasi beton, dan semacam mobil crane tersebar dimana-mana. Mereka terbengkalai.

Proyeknya bertahap dihentikan sejak isu pembunuhannya diekspos media, dan dibubarkan total tadi sore. Perdana Menteri sendirilah yang mengumumkan gencatan senjata sebelum kasusnya dibereskan polisi. Lokasi pembangunan super duper ultra luas ini ditinggalkan. Kontraktor-kontraktornya juga takut, mereka memutus kerja sama, dan membawa pegawai-pegawainya mangkir dari proyek. Lebih baik didenda pengadilan sebesar ratusan juta karena melanggar perjanjian di atas materai, daripada membahayakan nyawa sendiri, bukan?

Aku bahkan melihat, helm keamanan jatuh di ambang pintu tenda. Kabel-kabel hioki berserakan di tenda, di atas meja detonator, di samping osmosis waterway yang airnya habis.

Aku meminjakkan kaki di hamparan beton. Untuk mencapai daerah paling tinggi itu, aku perlu menaiki sekitar dua puluh sampai tiga puluhan anak tangga. Permukaannya belum sempurna, ini masih menjadi kerangka saja. Semen kasar melapisi batu split, dan keluli-kelulinya mulai ditancap-tancapkan.

Aku berdiri di atas panggung proyek. Dari sini, aku bisa melihat bagian Kuala Lumpur yang menyala terang. Mobilitas warganya tinggi. Lampu-lampu gedung dan aktivitas lalu lintas masih terasa sesak di bawah sana. Namun, di sekitarku begitu sepi. Hanya ada suara belalang, terpaan angin pada ranting pohon meranti, dan desiran pasir dari gundukan material di sisi tenda-tenda pekerja konstruksi.

Aku melirik pada arloji, satu menit lagi, valentine akan tiba. Empat belas februari di pelupuk mata. Aku menunggu sosok yang telah berjanji akan datang pada hari valentine tahun ini.

Aku menunggu sambil memasukkan tangan ke saku celana, dan mengeluarkan rokok. Aku menyalakan rokok konvensional dengan korek.

Drap ... drap ... drap ...

Aku mendengar suara tapak kaki si pengkhianat sialan itu. Aku menghembuskan asap rokoknya sambil menyambut kehadirannya.

"Selamat hari valentine, Ice." Kataku, sambil menghisap rokok rasa coklat ini lagi. Dan aku membuangnya. Aku hanya menyukai rasa coklatnya, tapi aku benci asapnya, dan kenangan yang menyertainya.

Pria itu datang dengan wajah tenang.

"Selamat valentine juga, Sayang." Ice berjalan mendekat. "Jadi kamu ingat, dan kamu memenuhi kata-katamu? Aku merasa dihargai. Terimakasih sudah mau jauh-jauh datang dan menepati janjimu setahun lalu."

Aku tertawa renyah, dan balas mendekatinya, "Kamu psikopat, Ice. Psikopat sekali. Kamu membunuh orang-orang itu karena kamu menginginkan proyeknya untuk dirimu sendiri."

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang