- 09

620 98 88
                                    

"Kamu," Taufan nampak tak percaya, "kenapa potong rambut?"

"Gapapa." Kataku.

"Sini sebentar, (Nama)." Taufan menarikku ke dalam pelukan. Ada perasaan di dalam tubuhku yang tak menyetujui perlakuan ini. (Nama) lainnya menolak disentuh, dan memaki-maki. Bahkan bibirku hampir meloloskan kalimat umpatan. Padahal, seharian tadi, aku telah betul-betul berjuang agar aku menikmati aktivitasku tanpa mengingat Taufan.

Aku merasa rambutku basah. Hujan mulai turun. Tidak deras. Hanya gerimis.

Aku membiarkan pelukannya bertahan, sebab aku sedang bertengkar dengan diriku sendiri. Dipeluk itu, rasanya hangat. Sampai aku menumpukan bobot kepalaku di dadanya Taufan. Tapi juga, ada perasaan-perasaan lain teraduk-aduk dalam kuali pengaturan emosiku. Aku ingat aku mau menjauhkan diri dari Taufan. Taufan telah terluka cukup banyak. Dia diselingkuhi empat belas kali, bayinya hendak digugurkan secara sengaja oleh istri berandalnya, dan rupanya ia juga terang-terangan dimanfaatkan oleh mertua komersilnya.

Dia hanya butuh wanita lain, lembar kehidupan baru, dan bahagia seperti ending film Disney.

Aku menengadahkan daguku. Entah Taufan menangis atau tidak. Pokoknya, matanya terpejam erat. Hujan menyamarkan pandanganku.

"Aku nggak ngerti kenapa kamu memaafkan empat belas kali perselingkuhanku." Aku mengutarakan ganjalan yang menyumbat peredaran darahku. Itu mengganggu sekali.

Taufan tak menjawab. Tangannya malah merangkak ke belakang kepalaku, dan mendorong kepalaku lagi untuk kembali menempel di dadanya.

"Gapapa." Ujarnya. Itu cukup mendeskripsikan perasaannya. Ya, betul, dia kecewa, tapi dia memutuskan untuk memaafkan.

"Kita pulang?" Taufan melonggarkan pelukannya, dan menawarkan.

Aku tidak lantas menjawab. Pulang? Sebetulnya dimana rumahku? Di sini, dengan Mama dan Halilintar, atau di rumahnya Taufan? Dimana aku merasa nyaman? Aku belum begitu mengerti gimana caranya menafsirkan keinginanku sendiri. Aku tak mau mendengarkan sisi (Nama) pembenci Taufan hingga ia berniat menggugurkan darah dagingnya sendiri di klinik aborsi. Orang itu terlalu denial, ceroboh, dan penuh kebencian; (Nama) pembenci ialah tipikal makhluk yang dibenci alam semesta. Lihat nasibnya. Dia dibuat menjalani dua operasi besar, dan satu operasi singkat berupa kuretase akibat kesembronoannya.

Aku juga tidak tahu rasa sakit hati sehebat apa yang diukir (Nama) pembenci pada oposisinya sehingga orang itu berniat mencelakakan pengacara lawannya.

"Pulang?" Aku mengulang.

"Pulang?" Aku mendengar suara yang tak asing. "Enggak ada pulang. Ini rumahnya."

Tarikan di lenganku dan jenis suara tidak ramah itu datang beriringan. Halilintar datang di belakangku, dan ia ikut campur ke perkara rumah tanggaku. Aku tak begitu senang Halilintar jadi ikut serta. Tapi,

Aku memandangi Taufan sekali lagi. Mata memesonanya menatapku sayu. Sampai kapan aku akan menyebabkannya menangis begitu? Sudah terlalu banyak masalah yang kutimbulkan di rumah tangga itu. Aku kasihan. Empati bertunas di sanubariku.

"Halilintar." Taufan kehilangan ramah-tamahnya, ia memandang Halilintar sinis. Entah betapa lelahnya Taufan, sehingga ia berhenti bersikap gegap-gempita. "Dia istri aku."

"Enggak sampai minggu depan nanti." Halilintar melirikku. Cengkramannya di lenganku melembut, dan Halilintar tak lagi mengekang. Dia baru saja membebaskan aku memilih.

Surat cerainya akan diproses? Seminggu. Tergolong cepat. Lumayan juga.

"Gimana?" Halilintar berkontak mata denganku. Mata rubinya menyeramkan. Aku mengejek dan menjelek-jelekkan mata itu. Tanpa sadar, aku juga memiliki mata yang sama. "Kamu mau pulang dengan dia?"

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now