- 10

580 93 93
                                    

Pechanga, Temecula, Los Angeles, 12 Februari.

"Winner winner chicken dinner!" Teriakku, berbangga diri. Aku menekukkan badan ke dekat meja Texas Holdem Poker di depanku, dan aku memeluk gundukan koin chip berbentuk lempengan emas blaccarat blackjack yang dipertaruhkan. Aku mendekap koin-koin perak itu sambil menyeretnya ke dekatku.

Aku tertimpa ratusan koin chip dengan hanya mempertaruhkan lima koin koin chip.

Di antara ratusan koin itu, aku mencomot dua koin. Tak lupa, aku menggigit koinnya di antara gigi, dan berpose seperti seorang pemenang—bersikap angkuh, agar lawanku semakin merasa dipecundangi. Kemudian, aku melemparkan koinnya ke si bandar; sang penengah dalam lima ronde permainan sengitku.

Uang tip.

Sebelumnya, biar aku beritahu. Aku tidak tahu darimana gerombolan orang-orang Jepang ini berasal. Mereka datang bergerombol ke Pechanga dan memarahi karyawati di konter karena mojitonya terlambat datang. Pria penuh amarah yang memimpin kawanannya berkepala oval, mirip telur ayam kampung. Wajahnya copet banget, pakaiannya nyentrik dan sok mantep—jas, warnanya emas menyala-nyala, dasinya merah bak gincu bartender wanita, dan ia mengepang janggutnya. Pria itu sekonyong-konyong bilang ingin duduk di meja pesananku. Padahal aku sudah mereservasinya melalui e-mail. Sebetulnya bukan aku, tapi Halilintar.

Si pria botak memandangku begitu lama.

"Apa lihat lihat? Mau by one kah anjing?" Mataku menyorotnya. Tapi bapak-bapak itu cuma mengernyit, sebab tak mengerti bahasaku. Dia hanya tahu aku turis, dan dia berusaha mengusirku dengan bahasa China.

Si pria Jepang bilang ia menginginkan view ke lantai dasar. Tapi bagaimana pun, aku telah mereservasi mejanya dari jauh-jauh hari, bahkan sehari setelah aku tiba di Los Angeles. Karena orang tua itu begitu menyebalkan, aku menyuruhnya enyah, atau menyelesaikan masalahnya di permainan remi sederhana.

Ujung-ujungnya, kami bertanding, dan aku berakhir menang.

Halilintar duduk dengan senyap di sampingku. Ia tak bicara sepatah-kata pun.

Sekarang, aku mencium tumpukan koin itu lagi, dan memandang pada si pria Jepang, dengan seringai.

Aku berbakat, dalam mengakali sesuatu. Aku melirik ke arah saku mantelku. Kartu remi ...

Permainan yang sederhana. Dan mudah dipahami.

Aku mengerjap, kembali ke realiti. Aku tak sedang bertarung dengan bapak-bapak Yakuza, melainkan preman berkedok pengacara di firma hukum swasta. Ying. Yang kutahu, sebelum amnesia, aku telah mengetahui apa profesi sampingannya; mengetuai semacam preman-preman yang setia pada keluarganya. Orang China menjadikan keluarganya seperti dinasti. Hegemoni kepala keluarga berpamor akan sangat dihargai. Ying, sebagai satu-satunya anak perempuan dari kakek premannya, mewarisi pasukan cowok bertato itu bak pemimpin sekte kripto.

Ying duduk di depanku. Ia berpakaian dengan anggun. Rambutnya ditata rapi, seperti seorang tokoh fiksi di mahwa. Tusuk rambutnya memiliki mutiara-mutiara tahitian yang dirangkai melalui benang merah, dan diselingi kristal dari perut bumi Xinjiang. Well. Tapi cara duduknya tak anggun. Ia duduk seperti supir bus antar kota di warteg. Satu kakinya terangkat ke dudukan kursi, dan satu lainnya memijak lantai.

Ia dikelilingi pria-pria sangarnya. Ia dikipasi oleh pria di samping kanannya, dan diberikan sebotol air soda oleh pria di samping kirinya. Yang lain berada di belakangnya, mengelu-elukan Ying, dan menyorakinya. Satu bodyguardnya masih menahan Solar, dan menodong Solar dengan sisi tumpul pisau di pangkal lehernya. Aku cukup yakin Ying tak berniat menggorok lehernya Solar. Ying cuma mau menakut-nakutinya, dan memerasnya habis-habisan—nyatanya dalam kiprah politik, Ying berdiri di sisi rakyat. Dia oposisi pemerintah.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now