Dunia ini terlalu luas untuk sebuah kebetulan.
Pertemuanku dengan Fang memang direncanakan sepihak olehnya. Pria itu masuk ke ruanganku bermodalkan uang setengah juta untuk membayar uang muka harga penyewaan layanan kepengacaraanku, padahal ujung-ujungnya dia cuma cengengesan. Dia membayar sebanyak itu hanya untuk masuk ke ruanganku dan menyamar sebagai klienku.
"Sambut aku dong, (Nama)." Dia kedengaran tengil. Dia lebih ceria dan jauh berbeda dari keadaannya sewaktu ia pergi menggedor pagar rumahnya Taufan.
Aku ulangi, Fang itu tengil. Tapi setidaknya Fang tidak sememualkan Ejojo.
"Selamat datang, Klien." Aku mencoba untuk merespon kedatangannya dengan buruk.
Pria ini tidak pandai dalam berkeputusan. Apakah dia ke sini karena dia mengira aku perlu dijemput bak Tuan Putri? Sebaiknya dia punya gagasan di otaknya yang mencurigai aku sudah tak tertarik lagi padanya karena aku tidak mengunjunginya sama sekali setelah aku bangun dari koma. Sebaiknya begitu—aku menekankannya sekali lagi. Itu namanya naluri para pria.
"Kapan kamu akan lari dari Taufan?" Dia mulai masuk ke topik. Ya. Topik. Topik itulah yang membawanya ke sini sehingga ia wajib membuang uang setengah jutanya. Setengah juta tergolong tidak banyak, apalagi buat orang berkecukupan; tapi bagi matematika sederhana seorang pengacara mata duitan, setengah juta berarti lima puluh mangkuk bakso urap.
"Kenapa berlari?" Aku membalas sengit. Alisku menyatu.
"Kata Mama, kalau ada Taufan, kamu harus lari." Fang melanjutkan. Aku baru saja sadar salah satu jendela ingatanku terbuka gara-gara Fang berkata demikian. Fang memanggil Mamaku sebagai 'Mama'. Panggilannya sangat sok akrab. Apakah Mamaku dan Fang saling kenal? Memang. Tapi Mama tak begitu menyukai Fang. Buktinya, aku malah dipasang-pasangkan dengan Ejojo mentang-mentang Ejojo menduduki salah satu kursi investor proyeknya perdana menteri.
"Lari ke pelukannya?" Aku menarik senyum culas.
Entahlah kenapa, aku sangat menyukai keadaan ini. Aku tak secara spesifik bersikap menyebalkan begini kepada Fang. Aku senang sekali memicu emosi orang-orang. Ya. Aku terlalu banyak main dengan Halilintar. Mengikuti kemana Halilintar pergi ialah pergaulan bebas terburuk yang pernah ada ...
"Aku datang kemari untuk membenahimu." Fang beralih serius. "Aku ingin memandumu kembali ke dirimu yang dulu."
Aku mendecak, "Jangan bersikap seolah jiwaku digantikan oleh orang lain, Fang. Aku masihlah aku. Meskipun aku memutuskan untuk tidak mengacau sebanyak dulu, aku tetaplah aku."
"Kamu baru mencapai dua puluh persen ingatanmu." Fang tertawa renyah. Aku ingin menyiram muka siapapun orang yang tertawa tapi mulutnya berkuah.
"Darimana kamu tahu?"
Fang menghela napas, "Kamu bahkan tidak mengingat hubungan romantis kita. Kamu memilih tinggal dengan Taufan. Kedengaran sangat tidak masuk akal. Kamu termakan doktrin-doktrin bodohnya."
Aku membisu sejenak. Aku memikirkan seperti apa Fang mewajahi perubahanku.
"Kamu ingat nama ikan ikan koinya Taufan?" Fang melanjutkan.
Loh. Iya juga. Aku tidak ingat. Yah. Pemulihannya berjalan bertahap. Tidak aneh. Tapi nanti, aku berminat bertanya soal nama ikan koinya Taufan. Aku penasaran.
Aku menggeleng.
"Kamu tak ingat kenangan kita, saat SMA?" Suara Fang bergetar. "Aku kecewa. Aku akan menuntunmu menuju kebenaran. Aku ingin mengembalikan kesadaranmu yang dulu sehingga kamu bisa mengingat aku berada di zamanmu. Aku janji."
"Pergilah. Kamu tidak mau menyewa jasaku." Aku mengusir.
"Oh? Mau mengusirku? Padahal aku memiliki hal-hal penting untuk kamu ingat soal ... aku, kamu, Taufan, Mamamu, Halilintar, Ying, Gopal, Ayuyu, Yaya, Blaze—orang-orang di sekelilingmu. Semuanya. Aku satu-satunya harapanmu untuk mengetahui tiap ceruk dari dirimu. Karena aku mengenalmu lebih jauh daripada orang lain,"
YOU ARE READING
Taufan x Reader | You Can Call Me Abang
Fanfiction|Taufan x Reader| Aku hanya pengacara yang ditabrak lari oleh oposisiku di persidangan alot sebelumnya karena aku membela seorang nenek-nenek pencuri ayam secara gratis, dan sialnya aku jadi amnesia sehingga Taufan bisa membodohiku. Aku tidak menger...