- 18

564 100 48
                                    

Pada pertengahan bulan September, Retak'ka mengalami kecelakaan tunggal di jalanan lintas wilayah. Mobilnya meledak dengan begitu parah, seolah bagian mesinnya berlumuran kerosin dan radiartornya memicu nyala gas. Bekas oli di aspal akibat aktivitas remnya dipotret oleh seorang jurnalis, yang kemudian publikasinya diizinkan pemimpin redaksi salah satu saluran televisi problematik di Malaysia untuk ditayangkan di siaran langsung. Aku melihatnya; bukankah, noda oli mengindikasikan perlawanan? Retak'ka menginjak rem tangan. Dia tidak ingin mati. Tapi mengapa polisi mengatakan, dia mati karena bunuh diri? Itu amat mengganggu Solar.

Di minggu selanjutnya, Ying mengabarkan pesan dari teman dokternya di instalasi bedah sentral. Temannya itu sebetulnya dokter obgyn yang berjaga pada penghujung weekend, tapi dia dikejutkan oleh permintaan cito dari unit gawat darurat sebab pasiennya ialah superstar di proyeknya Perdana Menteri.

Tidak, seminggu setelah Retak'ka mati, Kokoci tidak mati. Kokoci bertahan hidup, tapi dalam posisi koma. Sialnya, Kokoci tak mampu bertahan di ruang ICU, dan dikabarkan meninggal di minggu selanjutnya. Aku tak cukup berbaik hati untuk mengasumsikan kematian Kokoci di ruang ICU sebagai fenomena alam yang natural. Entah kenapa, perasaanku bergejolak, dadaku berdesir, ulu hatiku sakit ketika mendengarnya.

"Dugaanku mantap, selang seminggu selanjutnya, seseorang dari kursi investor kembali dibunuh." Ying sudah ketok palu.

"Awalnya aku nggak peduli-peduli amat sama aduannya Solar. Paling, aku cuma terganggu karena dia menyeret nama Taufan dalam dugaan mentahnya. Tapi, kalau benar akar masalahnya ada pada kursi investor ..." aku memandang ke arah langit-langit. Panel lampu menerangi sisian plafonnya. Dan cahaya itu dikerumuni kawanan laron, rayap dewasa, binatang pemakan selulosa pada kayu. Mereka senang pada cahaya, dan akan berbondong-bondong menempel di sumber cahaya, sebelum akhirnya sayap mereka gugur secara alami dan mati di ubin lantai. "Aku takut Mama akan jadi korban juga."

Thorn datang dari arah celah kayu yang mengarah ke dapur. Dia membawa dua mug minuman panas beruap. Dia meletakkan satu mugnya di meja sebrangku, "Nih, minum. Itu Houjicha. Aku beli langsung dari tengkulaknya, jadi enggak ada pajak beacukai."

Aku tak tahu betul apa itu houjicha. Namun, aku meminumnya. Rupanya ini teh. Aku merasakan rasa teh hijau bercampur bubuk sereal panggang, seperti beras, barley, gandum, dan rempah-rempah pembawa rasa hangat di lidah.

"Kamu itu, bajunya ijo, minumannya juga ijo ijo." Aku berkomentar.

Thorn menyengir, lalu dia juga meminum houjichanya sendiri sambil memejamkan mata.

"Aku juga berharap ini cuma prasangka buruk saja. Aku nggak ingin ada pembunuhan berantai, apalagi pada para pengembang ekonomi negara." Ying mendesah tak nyaman. "Lagian kalau boleh jujur, meskipun Mallnya menuai demonstran untuk bergerak dan dikritik habis-habisan, aku amat menunggu proyeknya selesai. Bung, aku juga cewek biasa. Aku kepengen lihat Mall bagus selain Golden Resources Mall di Beijing. Mana katanya, produk-produk internasional bakal sewa retail disitu. Gimana enggak gokil, coba?"

Aku menghela napas. "Ya. Semoga saja."

Aku menunduk ke bawah, dan melihat pantulan dari wajahku di mug bermulut lebar itu.

"(Nama)," Thorn memanggil. "Boleh aku minta tolong?"

Aku mengangguk, "Apa?"

"Bisa kamu ceritakan sedikit mengenai Taufan? Seperti, kebiasaan buruknya, atau tingkah anehnya, gelagat mencurigakannya, barang kali?" Tanyanya. Aku menyaksikan tangan Thorn menempel pada keyboard laptopnya.

"Kenapa tanya padaku?" Aku menghirup uap teh hijaunya, dan menikmati aroma menenangkan minuman ini.

"Lo pikir, gue harus tanya siapa? Halilintar?" Ying nyeletuk.

Taufan x Reader | You Can Call Me AbangWhere stories live. Discover now