Chapter 10
Hari ini adalah hari dimana lagi-lagi Aldo bertambah usia secara resmi. Menurut Mama, tepat sekali sekitar pukul setengah tujuh pagi lima belas tahun yang lalu, si pemuda menghirup apa yang namanya oksigen secara mentah-mentah tanpa disokong sama sekali.
Secara alamiah, sudah menjadi semacam tradisi bahwa hari pertambahan umur semacam itu akan dirayakan, terserah dalam bentuk apapun. Dan di pagi subuh yang satu ini, Aldo sengaja mempersiapkan diri jauh lebih awal dari biasanya sebab ia tahu sebuah kejutan pastinya sudah menunggunya di suatu sudut di rumah. Melawan air dingin yang rupanya memang sedingin itu di pagi pukul lima tepat. Beratribut lengkap dan siap untuk menghadapi dunia ketika jarum pendek sedikit lagi menyentuh angka enam dengan jarum panjang masih bergelantung di antara angka enam dan tujuh.
“ Aldooo !” Mama tahu-tahunya sudah menyerbu dan mengecup pipinya berkali-kali sesaat setelah si anak tunggal itu baru saja melangkah keluar kamar.
“ Duuuuh–happy birthday Sayaaang !”
Lantas ia dipeluk begitu erat sampai-sampai rasa dingin yang masih melingkupi tubuhnya langsung lesap seketika.
Tidak jauh di belakang sang mama, ayahnya Aldo berdiri dengan senyum yang tak kalah lebar. Tuntas menenggelamkan matanya sendiri dan mempertegas lipatan di tepian pelipis. Kedua tangannya terpatri kaku di dalam saku celana batik yang ia kenakan.
“ Selamat ulang tahun ya, Nak,” Ujarnya hangat selagi memandangi putranya yang meringis lantaran dipeluk erat terlalu lama.
“ Mah–Mah.”
“ Aduuuh....” Pelukannya mengerat untuk terakhir kali sebelum melonggar dengan cepat dan membebaskan ia yang tersekap. “ Anak Mama udah gede !” Sambung Mama dengan gemetar.
“ Jadi anak yang baik dan pinter, ya.” Sang ayah pun turut menimpali.
Sejujurnya, Aldo hampir saja menumpahkan air mata bahagia saat itu juga. Ia sampai tercekat berkali-kali saat berusaha untuk mencairkan suasana haru biru yang begitu kental di antara ketiga manusia di rumah. Kikuk hingga mengusak-ngusak kepalanya sendiri beberapa kali. Melempar pandangan agar jangan sampai memandang kedua orang tuanya tepat di wajah sebab ia tahu betul bahwa ia akan meluruhkan air mata karenanya.
“ Wa–waah. Itu kuenya ya ?” Tanyanya begitu antusias dan beranjak menuju meja makan yang terpampang di depan mata.
Sebuah kue berbentuk kubus pendek sudah tersaji dengan begitu apik di atas meja makan keluarga. Tiga per empat bawah kue tersebut dihias dengan krim sewarna coklat oak. Dihiasi banyak persegi kecil yang tersebar namun tetap simetris guna meramaikan warna gelap tersebut agar terlihat bagaikan gambar yang diperbesar dengan begitu kentara hingga keping pixel-nya pun terlihat jelas. Sisa ruang di area atas kue dipenuhi oleh warna hijau se-segar rerumputan di siang yang terik namun asri. Tidak ketinggalan aksen pixel yang jauh lebih tidak beraturan.
“ Ini bagus banget kuenya !” Si pemuda dari sudut terdalam hatinya pun berkomentar. Raut berseri-seri yang kelewatan itu tidak bisa disembunyikan lagi olehnya.
“ Iya. Kamu tadi malam langsung tidur, jadi gak liat.” Sang Mama mendekat dan mendekap sebelah bahunya. Sekali lagi meminjamkan kehangatan di salah satu sudut terluar fisik putranya.
“ Kamu nanti di sekolah bagi-bagi ke temen ya.” Sang ayah lalu menggeret kursi dan duduk di sisi kanan sang anak. Memandang putranya tepat di wajah. “ Ulang tahun Kamu loh ini.”
Aldo sigap menarik ingus yang hampir meluncur dari hidungnya. Masih berusaha keras mengontrol uforia yang bergejolak parah di jiwanya itu.
“ Oke !”
*******
Agaknya orang tua Aldo juga telah menyebarluaskan perihal pertambahan usia putra mereka ke seisi kelas. Atau mungkin teman-teman sekelas Aldo yang memang se-peduli itu hingga sempat mencari tahu kepastian tanggal lahir si ‘mantan’ anak baru ini. Yang jelas, saat waktu luang sebelum kelas dimulai hanya bersisa lima belas menit, Aldo langsung disuguhkan oleh sorak heboh kelas yang meneriaki namanya dengan begitu bahagia.
Atau mungkin wujud kue ukuran 24 cm dikali 24 cm yang susah payah ia selundupkan di laci meja-lah yang membuat rekan-rekan sekelasnya itu langsung tahu perihal hari jadi kelahirannya.
“ SELAMAT ULANG TAHUN, DO !!!” Pekik mereka semua serentak hingga ke detail kata yang digunakan.
Memang tidak salah kelasnya Aldo ini sampai dinobatkan sebagai kelas terkompak di acara tujuh belas Agustus-an waktu itu.
Si pemuda spontan tertawa bahagia. Tidak di rumah, tidak di sekolah, semuanya telak membuat sosok remaja tanggung sepertinya dirinya itu begitu sumringah di hari spesial sekelas ulang tahun seperti ini.
“ Makasih yaaa !” Si pemuda membalas dengan antusias dan spontan bergerak ke laci mejanya. Hampir saja merilis kue ulang tahun untuk disantap ria seketika sebelum buru-buru sadar bahwa beberapa orang memang belum datang.
Termasuk Aninda.
Yang kemudian datang tidak lama setelah Aldo merapal nama si gadis di dalam hatinya.
Was-was Aldo rasanya saat mengantisipasi Aninda yang akan turut menghaturkan ucapan selamat bertambah usia kepadanya. Selayaknya yang dilakukan oleh para murid lain yang betulan bergilir menyampaikan selamat dengan cara mereka sendiri. Ada yang mengacak-acak rambutnya. Ada yang menjabat tangannya berkali-kali. Ada yang menepuk pundaknya berkali-kali. Yang meminta berfoto dengannya pun ada !
Serius, Aldo dijadikan selebriti dadakan di pagi hari itu.
Hanya saja, semua itu sepertinya tidak berlaku buat Aninda. Dari sekian banyak wajah asing dan bukan asing yang mendatanginya, hanya raut muka familiar Aninda yang tidak kunjung menampakkan diri tepat ke hadapannya. Si gadis, bagaikan sudah begitu mahir berkamuflase, tenggelam di antara kerumunan teman-teman kelasnya sendiri. Menyelip dan tahu-tahunya sudah duduk dengan tenang di mejanya si gadis sendiri.
Aninda sempatkan menoleh ke belakang. Menemukan pandangan Aldo sudah terpatri dengan begitu lekat ke posisinya duduk. Mata si gadis lantas tertutup yang sempat Aldo kira adalah gestur mengedip belaka. Namun, tepat saat sang crush itu menunduk pelan kepadanya, lalu seberkas senyum terbentuk di wajahnya yang kalem, Aldo rasanya baru saja dihadiahi berkah paling indah yang bisa si pemuda dapatkan hari itu.
“ Eh Do ! Itu makan kuenya kapan ?”
Aninda kembali menghadapi apapun yang menyibukkan si gadis yang tampaknya teronggok di tangannya. Perhatiannya pada sosok pemuda yang perlahan bertransformasi mengemban peran ‘teman baik’-nya itu pun sengaja diakhiri. Untuk saat ini, biarkan teman-teman lupa bahwa sosok Aninda yang rawan sekali menjadi sasaran elu-elu ‘Aninda dan Aldo itu serasi !’ tersebut bagaikan dilupakan eksistensinya.
“ Eeeh, nanti dong !” Sebab perasaan suka cita yang tidak kunjung terkikis, Aldo sigap menjawab dengan semangat. Mata si pemuda bahkan sampai tampak bersinar. “ Ntar pas pulang kita bagi-bagi.” Tangannya refleks menggeser lagi kotak besar yang setengah jam lalu dengan mengendap-endap si pemuda selundupkan dengan jitu.
*******
“ EH GUUUUYS !!! ALDO BAWA KUE !!!”
Serius deh, sekalipun energi mereka dijamin terkuras setelah belajar hingga siang menjelang sore–ini sudah pukul tiga lewat ketika Aldo sempatkan untuk melirik jam–tampaknya mereka juga mengimbanginya dengan pasokan semangat empat lima yang sukar sekali padam. Tampaknya, meredup pun butuh usaha ekstra sih jika dinilai dari wujud antusiasme teman-teman yang tidak jua mereda–justru menujadi-jadi saat kue karya Mama Aldo dibawa dengan hati-hati ke depan kelas.
Sontak seisi kelas–termasuk wali kelas yang sudah diatur teman-teman untuk turut menghadiri perayaan ulang tahun si anak baru–terkesiap hingga mendadak hening di posisi mereka masing-masing. Terlanjur kagum dengan detail kue ulang tahun Aldo yang dengan level presisi tinggi telah dibentuk agar menjadi semirip mungkin dengan pemintas ikonik Minecraft.
“ Do, “ Sang wali kelas berbisik pelan saat si pemuda sudah rampung merapikan posisi kuenya di meja. Beliau mendekat, dan berkat tubuhnya yang menjulang tinggi, bisa memandangi rupa kue Aldo dari sudut pandang eagle eye. “ Keren ini kuenya. Mama yang bikin ?” Tanyanya tak kalah pelan.
Terlanjur bangga, Aldo dibuat tak mampu berkata-kata sehingga harus merespons dengan mengangguk keras. Semburat merah merasuki sepasang daun telinga dalam sekejap mata.
“ Anak-anak, “ Sang guru berucap lantang sambil memandangi para murid yang dalam kurun waktu dua semester sudah diserahkan menjadi tanggung jawabnya tersebut. “ Berhubung satu lagi teman kalian bertambah usia, “ Mendadak senyum lebar sang guru dilontarkan lagi kepada Aldo. “ Dan kuenya ternyata sekeren itu,” Tepat di bagian itu, sorak heboh para murid lagi-lagi mengisi hening.
“ Kita berdoa semoga Aldo bakal terus dapat yang terbaik ke depannya.” Sang guru melanjutkan dengan agak susah payah. Mengimbangi tingginya volume suara kolektif para remaja yang sedang aktif-aktifnya memang terbukti sesusah itu. Meski demikian–kendati direspons dengan terlambat–mereka para manusia menjelang dewasa itu mampu untuk menyahut dengan kompak.
“ AAMIIN !” Dengan menggebu-gebu untai doa pertama mereka amini bersama.
“ Semoga Aldo panjang umur dan sehat terus,”
“ AAMIIN !”
“ Semoga apapun keinginan yang Aldo mau bisa tercapai semua,”
Memberi potongan kue pertama untuk Aninda.
“ AAMIIN !”
“ Semoga Aldo semakin tambah pinter. Makin rajin. Sukses.”
Dan semoga Aku bisa naik pangkat dari sekedar teman dekat bagi Aninda.
“ AAMIIIIN !”
Seluruh penghuni kelas serentak menyapu telapak tangan mereka yang tertangkup ke wajah mereka. Pertanda doa yang disahut sorak syukur tadi memang sudah benar-benar selesai.
“ Nah, Aldo. “ Tangan sang guru mendarat di bahu si pemuda. “ Kayaknya udah momennya potong kue ini.”
“ HOREE !!!”
Bian buru-buru datang dari area kelompok siswa. Sudah menggenggam sendok aluminium yang batangnya jauh lebih panjang dari sendok makan pada umumnya. Ketika ditanya mengapa ia sampai mendadak menampakkan diri dan mengambil alih perhatian seperti itu, Bian dengan polosnya menjawab. “ Tadi pisaunya tinggal.”
“ Iya Bu. Lupa Aku bawa.”
Bian mengangguk mengiyakan. “ Makanya pakai sendok ini dulu. “ Sendok pun berpindah tangan seketika ke tangan Aldo. Dan di saat itu juga, sudut kiri kue dipotong dengan presisi tinggi olehnya. Tapi, ya....se-ahli apapun Aldo memotong kue dengan tubuh sendok, hasilnya tidak akan bisa menyamai kerapian potongan pisau.
“ Weee ! Potongan pertama !”
Dengan hati-hati Aldo menggenggam potongan kue yang tidak dilapisi krim sama sekali. Sejenak ia memandang sang wali kelas. Secara tersirat meminta perizinannya untuk memberikan potongan pertama itu kepada siapa pun yang Aldo kehendaki.
“ Silahkan, Do.”
Si pemuda putar arah ke area kiri kelas–jika dipandang dari depan dan kamu tengah menghadap ke belakang kelas–dan berjalan dengan cukup pelan sebab takut jika sampai mencengkeram potongan kue di genggaman.
“ Nin, “ Langkah Aldo berhenti tepat di hadapan sang pujaan hati. Matanya dengan pasti memandangi sepadang bola mata Aninda yang begitu waspada memerhatikan gerak-geriknya wajahnya. “ Ini buat Kamu,”
“ CIE CIEEEE !!!”
Tentu saja mereka akan berteriak gila.
Air muka Aninda yang awalnya tegang secara progresif melunak dan rileks. Apa boleh buat, si gadis bermonolog sembari mengangkat tangannya dengan tidak kalah hati-hati. Tangannya mencubit kue tepat di atas tangan Aldo yang menggenggam kue dengan cukup erat. Lalu satu tangannya yang lain dengan waspada diposisikan tepat di bawah potongan kue. Berjaga-jaga jikalau potongan pertama tersebut tiba-tiba lewat dari tangan kanannya maupun tangan Aldo.
Kue pun terbebas. Dan terpatri sebentar di tangan kanan Aninda. Tepat sebelum melahap sudut teratas dan terluar kue tersebut, Aninda sempatkan untuk memandangi Aldo sekali lagi. Merekam rupa nyata ekspresi pemuda di depannya itu untuk ditorehkan ke memori.
“ Makasih ya, Do.”
Seisi kelas semakin keras berteriak menyeru nama kedua anak manusia itu.
*******
Perasaan menggelitik di perut si pemuda tidak kunjung mereda juga. Bahkan setelah satu jam lebih berlalu semenjak potongan pertama kue tersebut menjadikan tangannya dan tangan si gadis menggenggam satu objek yang sama, Aldo tetap tidak mampu menurunkan setitik pun level euforia yang hampir meluap dan membawanya untuk menjadi agak sinting itu.
“Seneng ya?” suara teman di sebelahnya sudah memudar, berganti dengan suara mesin mobil yang melaju di sepanjang Jembatan Pasupati. Pemandangan kota Bandung di bawah sana, dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala, seakan menjadi saksi atas senyum lebar yang tak bisa disembunyikan Aldo.Tanpa berpikir panjang, Aldo membuka kaca jendela mobil, tangannya menggantung keluar, merasakan angin yang sejuk menerpa wajahnya. Euforia yang tadi ia tahan sejak di kelas seketika pecah.
“Aku suka kamu, Aninda!” Aldo berteriak sekencang mungkin ke arah langit Bandung, seakan berharap angin malam bisa membawa kata-katanya sampai ke telinga sang gadis.
Sopir yang sedang fokus mengemudi sempat melirik lewat kaca spion, bingung sekaligus takjub melihat anak majikannya itu teriak-teriak sendiri sambil tertawa.
Aldo tertawa lepas. Angin malam yang dingin tak mampu mendinginkan hangatnya perasaan yang ia rasakan saat ini. Di dalam kepalanya, wajah Aninda yang tersenyum saat menerima kue itu terus berputar, seakan menjadi film yang tak ingin ia hentikan..

KAMU SEDANG MEMBACA
cinta pertama aldo
RomantikSetelah pindah ke sekolah baru, Aldo, seorang pemuda kelas 8 SMP, berusaha menyesuaikan diri. Di tengah kebingungan itu, ia bertemu Aninda, gadis ceria dan pintar yang membantunya beradaptasi. Persahabatan mereka berkembang, namun Aldo harus menghad...