CHAPTER 9

5 0 0
                                    

Pada akhirnya, kemelut masalah antara Aldo dan Aninda mulai terurai dengan sendirinya.
“ Aduh, gimana ini ?”
Memang, progres perubahan hubungan ‘sekedar teman’ yang secara tidak sadar mereka berdua ciptakan (lagi) itu baru mampu tubuh dengan rate yang begitu kecil.
“ Loh, Aldo. Kenapa gak ke Aula ?”
Tapi setidaknya, setidaknya, mereka berdua sudah berhubungan baik. Selayaknya seorang teman dengan teman.
“ Aku lupa gak pakai batik.”
Hari ini adalah Hari Batik Nasional. Secara natural, para murid akan diberi mandat untuk mengenakan setelah batik pilihan mereka ke sekolah. Sayang sekali untuk tokoh utama kita yang satu ini, ia benar-benar melewatkan kesempatan unjuk batik kepunyaannya sebab terlanjur lupa.
Aninda langsung putar otak. Naluri si gadis untuk membantu siapa pun langsung keluar saat menyadari bahwa Aldo–yang sudah dengan lapang hati ia anggap sebagai teman kelas yang begitu perhatian–tampak putus asa dan menahan panik sekaligus. Lagian siapa juga sih yang tidak panik saat menyadari kalau hanya dirimu sendiri yang mengenakan dress code yang salah untuk acara setenar Hari Batik yang setidaknya sudah diakui oleh seluruh warga sekolah.
“ Oh ! “ Aninda langsung teringat akan sosok pemuda yang juga merupakan temannya di bangku SD dulu. Yang saat ini berada di kelas yang berbeda dengan si gadis. “ Tunggu bentar ya !” Katanya singkat lalu angkat kaki dengan cepat meninggalkan kelas.
“ Mau kemana ?” Aldo buru-buru menyusul. Kendati sudah jauh tertinggal dari Aninda yang duluan hilang setelah berlari kecil meninggalkan koridor sekolah. Kehabisan alternatif atas apa yang sebaiknya ia lakukan, Aldo memilih untuk berdiam diri dan termenung saja di koridor tersebut. Ia sebetulnya sempat terpikir untuk kabur pulang saja. Namun–sempat ia melirik ke area pos satpam beserta pintu gerbang sekolah yang sudah terkunci rapat–ia merasa tidak punya pilihan lain selain harus menerima fakta bahwa hanya dirinya lah yang tampil ‘berbeda’ hari ini. Selain itu, pun jika ia berhasil kabur juga, Aldo khawatir ia akan menjadikan pilihan alfa dan cabut dari kelas sebagai solusi atas semua masalah yang agaknya akan ia terima selama bersekolah. Dan itu akan membawanya untuk terjerumus ke dalam sebuah lubang gelap yang akan sangat sulit untuk dihindari ataupun dientaskan.
“ Ya udah deh–“
“ Do !”
Aninda tahu-tahunya sudah berlari lagi menemuinya. Jika tadi si gadis pergi dengan tangan hampa, kali ini ia tengah membawa seonggok kain yang dilipat hingga seukuran dompet di tangan kanannya.
“ Nin ?”
“ Nih, “ Si gadis sempatkan untuk menetralkan laju pernapasannya terlebih dahulu. Kain dengan ragam corak berpalet warna kelabu itu pun disodorkan ke tangan si pemuda. “ Tadi Aku pinjam ke teman. Dia biasanya emang suka bawa baju cadangan gitu. “
“ Makasih ya ?”
Aldo tidak butuh inspeksi apapun terhadap setelan kemeja itu. Oh tolonglah, sudah memperoleh kemeja batik di saat ia tidak punya DAN DI HARI BATIK PULA, adalah sebuah pertolongan luar biasa yang bisa menyelamatkannya dari berbagai masalah yang tadinya sudah sempat diperkirakan si pemuda akan terjadi nantinya.
“ Tapi kayaknya bajunya agak kusut ya ?” Aninda menambahkan dengan agak kikuk. “ Mungkin karena tadi Aku megangnya erat banget. Jadi–“
“ Eh nggak papa, Nin ! “ Aldo juga dengan tidak kalah salah tingkah menimpali. “ Sudah dapet aja ini sudah syukur. “ Matanya yang sedari tadi sibuk mengagumi kehadiran si kemeja batik pun beralih untuk menatap wajah si gadis.
“ Serius, Nin. Kamu sudah nolong banget. Kalau nggak ada ini bisa kena masalah lain Aku, Nin.”
Perasaan kagum itu kembali lagi. Perlahan-lahan dan mengisi hati Aldo hingga rasanya dinginnya udara pagi terasa begitu hangat.
“ Ya sudah kalau gitu. Aku duluan ya ?”
“ Oh, iya, Nin.”
“ Jangan lupa, nanti itu kita harus bikin kelompok.”
Hah ? Kita? Berkelompok ?
“ Kita sekelompok, Nin ?”
Aninda yang sudah berjalan beberapa langkah menjadi berhenti dibuatnya. “ Enggak tahu sih, Do. Tergantung juga. Biasanya Miss suka milih secara acak gitu.” Jawabnya lantas melanjutkan langkah. Hanya saja, niatnya itu kembali urung saat menyadari sosok pemuda yang baru saja ditolong itu masih terdiam membisu di tempatnya berdiri. “ Eh, buruan itu dipake. Ntar telat lagi !”
*******
“ Ayo anak-anak, silahkan kumpul berkelompok masing-masing tiga orang.”
Rangkaian acara dalam rangka perayaan Hari Batik Nasional tadi sukses berjalan tanpa ada masalah yang berarti. Aldo bahkan memperoleh kesempatan untuk ikut kuis dadakan terkait batik yang sayangnya gagal ia menangkan.
Semua ini berkat tangan Aninda, si pemuda bergumam sambil menopang dagu. Tidak kunjung menguarkan rasa antusias selayaknya para murid lain yang tidak sabar untuk segera ditempatkan secara berkelompok.
“ Kelompoknya gimana, Miss ? Bebas ?”
“ Bebas. Yok-yok, Tiiga orang.”
Yang itu. Baru Aldo berdiri dengan enerjik dibuatnya.
Bebas ?! Telinganya serasa berdiri. Menarik paksa tubuhnya untuk melesat selayaknya antena tercanggih sedunia, ditarik guna mencari sinyal secepat kilat.
Kali ini hati Aldo yang memegang kendali. Kalbunya itu memberi komando, bahwa jika memang ia bisa memilih untuk bergabung ataupun membentuk kelompok dari anggota mana pun, maka....
“ Yok, Do. Gabung sini !”
Bulu kuduk si pemuda langsung berdiri kala mendengar ajakan Aninda dari sudut kirinya.
Si gadis lantas menoleh ke belakang Aldo, sedikit memiringkan tubuh demi memastikan bahwa target yang hendak ia tuju memang sosok yang terbayang di kepala. “ Yan ? ikut sekelompok juga yuk ?”
Tentu saja Aldo terpana dibuatnya ! Se-suka dan se-narsis apapun Aldo, tetap saja ia akan merasa seolah-olah tengah dijungkirbalikkan andai kata pujaan hatinya itu dengan begitu terang-terangan memorak-porandakan hatinya seperti itu !
Aldo susah-susah menelan  ludah. Nyaris tersedak tatkala Bian dengan jahilnya menepak bahunya keras-keras–oh semoga anak tengil itu mendapat dosa karena hampir sukses membuat Aldo berhenti bernapas.
“ Do !”
Bian kurang ajar–“Ach-boleh. Yok.”
Di depan kelas, sang guru mata pelajaran bahasa inggris sudah kembali mengambil posisinya di depan papan tulis. Ia baru saja selesai membuat ilustrasi struktur sebuah esai sederhana berikut dengan rincian strukturnya.
“ Bagusnya kita bikin paragraf awalnya dulu.” Aninda bersuara sembari mulai menulis nama rekan se-timnya di area atas kertas kosong yang disediakan.
Bian memajukan tubuhnya agar dapat memosisikan kepalanya tepat di atas kertas. “ Maksudnya....bikin pengenalan buat argumennya kan ?”
“ Iya.”
“ Ooh...” Si pemuda mengangguk pelan saja. Masih mengedipkan mata beberapa kali.
Sepanjang kelas–bahkan hingga jam sekolah berakhir–Aninda tidak menunjukkan seberkas rasa kesal apapun terhadap Aldo. Tidak setitik pun. Tak tanggung-tanggung, siswi yang satu itu malah bersikap kepada Aldo selayaknya tingkah lakunya terhadap teman-teman sekelas. Kendati berhasil dibuat meletup-letup oleh Aldo sehari sebelumnya.
Ramah. Sabar. Akrab. Penolong.
Selayaknya teman baik.
Dan tidak lebih dari teman baik.
Dalam pengertian lain, itu setara dengan Aldo kembali dihempaskan ke titik nol. Sebagaimana ia dan Aninda saat di anak tangga ketika itu.
Seorang malaikat yang gampang sekali mengulurkan tangannya untuk manusia. Tidak ada hal lain yang membara di antara si perwujudan cahaya dengan manusia yang memandangnya dengan tidak percaya, kecuali keinginan untuk membantu semata.
“ Hei, anak baru ya?”
“ Tapi kita temenan aja.”
Tentu saja. Aldo akan dengan senang hati menjadi teman yang sungguh baik buat Aninda.
*******

cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang