CHAPTER 8

10 0 0
                                    

Jujur, Aldo merasa semakin ke sini, kisahnya dengan Aninda semakin berantakan hingga awut-awutan selayaknya benang yang dibiarkan menggumpal. Mereka jelas-jelas tidak menjalin hubungan romantis selayaknya sepasang kekasih-yah, lagipula kedua orang tua Aninda sudah secara frontal menolak mentah-mentah wacana anak gadisnya itu sampai 'dekat' dengan pemuda mana pun, dan sepertinya Aninda pun tidak menyukai ide 'pacaran' itu sendiri. Menjadi teman baik pun tidak. Bahkan, Bian pun tampak berjarak-Aldo tidak tahu pasti siapa yang mulai menjauhi yang lainnya di antara Bian dan Aninda-dengan si gadis.
Padahal katanya biarin jadi temen aja. Aldo mendengus sambil melepas sebelah selempang tasnya. Bersiap-siap untuk mengayun dan melontarkan tasnya yang isinya tidak seberapa itu ke atas kursi dengan tingkat kepedulian level rendah. Tapi, otak si pemuda yang di pukul tujuh pagi sudah diajak muram itu balik membalas hatinya. Aninda kan udah sempet bertingkah baik waktu itu !-mengingat bagaimana ia pernah secara sadar melenggang angkuh mengabaikan Aninda yang susah payah mengejarnya hari itu membuat Aldo refleks meringis sendiri. Bagaimana si gadis menyeru namanya berkali-kali, memaksa pembelaan dan alasan masuk ke benak Aldo yang sudah kepalang muak waktu itu.
Satu peristiwa itu saja sudah cukup menjadi sinyal-seolah-olah ditorehkan di atas papan kuning raksasa dengan lettering kuning menyala-bahwasanya ia enggan untuk menerima apapun dari Aninda.
Lalu, ada masalah dirinya, Dira, dan coklat yang belum jua diserahkan ke si penerima.
Terkutuklah hati dan otak Aldo yang terlalu sering tidak sejalan ini.
Rasanya, berada di kelas adalah ide yang buruk untuk menghabiskan waktu senggang di pagi yang sepi itu. Setengah jam lebih waktu yang dimiliki Aldo, dan ia sama sekali tidak berniat untuk menggunakan waktu yang demikian lama itu untuk merenungi hal-hal yang membuat jiwanya mendidih sendiri.
Alhasil, dengan setengah sadar atas apa yang ia lakukan, Aldo berdiri dan meninggalkan ruang kelas dengan langkah seribu. Tergesa-gesa untuk menghirup udara dingin di luar yang dinginnya ia yakin akan menusuk hidung hingga terasa perih betulan. Tasnya yang tergeletak dengan begitu sembarang di sudut kursi dibiarkan begitu saja. Aldo tidak peduli lagi jika tasnya itu berakhir jatuh dan membuat ponsel di dalam agaknya retak lantaran menghantam lantai. Toh cuma retak, ia bermonolog demikian.
Baru mencapai daun pintu rasanya surga tengah meminjamkan udara di sana untuk Aldo hirup sendiri. Serius, sejuknya itu mutlak mendinginkan kepala Aldo yang dari tadi khusyuk sekali mengkhianati dirinya dengan memutar-mutar adegan dirinya yang aktif sekali menghindari Aninda berkali-kali. Lalu disambung dengan peristiwa dirinya yang menyanggupi untuk memberikan coklat secara cuma-cuma buat Dira. Kemudian diiringi oleh sekelebat sosok Aninda yang berjalan beriringan dengan seorang pemuda yang tidak Aldo kenali.
Sayangnya Aldo lupa bahwa mengecap bau surga pun butuh pengorbanan. Dan agaknya surga memiliki tarif tersendiri yang Aldo pribadi harus bayar.
Aninda lewat tepat di depannya. Berjalan dengan tenang, pandangan lurus dan menangkap sorot mata Aldo begitu saja. Aldo kira, Aninda akan otomatis menyapanya-sebab Aldo percaya, Aninda akan tetap menjadi sebaik itu. Tapi si gadis melenggang begitu saja setelah dengan tenang berbelok dan melewatinya dengan sangat mudah. Jarak yang sempit di antara tubuh Aldo dengannya pun seolah-olah tidak mencegah si gadis untuk berhenti untuk meminta ruang lebih.
Aninda lewat dengan sangat enteng. Sebagaimana Aldo tidak pernah berdiri tepat di area pintu dan terpaku memandangi Aninda dengan gelagapan.
Angin surga telak lesap. Hawa panas menyapu kening dan leher Aldo seketika.
Kenapa dia gak nyapa Aku? Terseok-seok Aldo mengikuti kemana arah Aninda melangkah. Seratus sebelas persen tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi saking kagetnya ia akan dinginnya sosok manusia jelmaan malaikat itu. Sisi rasional si pemuda berusaha untuk pasang badan dan memaksa mentalnya untuk memaklumi perlakuan Aninda tadi. Apa dia gak liat? Otaknya berteriak di dalam relung kepalanya. Tapi....tangannya refleks bergerak menunjuk di mana ia dan Aninda berpapasan dengan begitu dekatnya. Nyaris bergetar andai saja Aldo tidak cukup sadar untuk menguasai kontrol tubuhnya dengan benar.
Tapi tadi Dia di sini. Aldo mengerutkan kening saking bingungnya dirinya. Iya kan ? Di sini-atau....
Mungkin saja, sepetak bagian otaknya menyuplai lagi. Cuek dinginnya Aninda tadi seharusnya ada kaitannya dengan kemelut antara Aldo dan Dira tempo hari. Sebab, seingat Aldo, Aninda sempat berusaha keras untuk memperbaiki hubungan pertemanan di antara mereka berdua. Tepat setelah keluar dari Ruang BK waktu itu. Dan setelah Masalah Coklat bergulir, Aninda tahu-tahunya sudah akrab saja dengan pemuda asing yang tidak sempat Aldo identifikasi.
Apa Dia....nekat sekali rasanya mengiyakan asumsi yang satu ini. Bahkan untuk mengaitkan sosok crush Aldo itu dengan opini yang baru setengah terbentuk tersebut itu pun sudah terasa begitu salah. Biasanya Aldo lah yang selalu terjebak akan perasaan ini. Mustahil rasanya menyimpulkan Aninda juga menghadapi perasaan yang sama.
Apa Aninda....lidah si pemuda mendadak kelu sekalipun tidak bergerak untuk secara verbal merapal pikiran itu sama sekali.
....Cemburu ?
Eh ?
" Yang kemarin itu loh, hihihi...."
Aninda kembali sebagaimana biasanya Aldo mendapati si gadis bertingkah laku setiap harinya. Kontras sekali dengan interaksi super singkatnya dengan Aldo tadi.
" Eh, Zara !"
Satu lagi siswi melewati Aldo. Muncul dari belakang si pemuda yang masih tidak kunjung bergerak juga, lantas menyapa singkat, " Do," Sebelum akhirnya dengan agak heboh menyapa Aninda yang sudah bergabung dengan kerumunannya sendiri.
" Heeeey !"
" Widiiih tumben udah dateng."
Interaksi di antara mereka berjalan seperti biasa. Tidak ada jejak-jejak dinginnya Aninda yang mencuat di tengah konversasi mereka pagi itu. Tawa renyah membahana tidak lama kemudian. Melengking sebab didominasi sepenuhnya oleh kelompok perempuan.
" Yo."
Aldo bersumpah, suara bariton itu lantang sekali rasanya ketika muncul begitu saja dari balik kepalanya. Membuat si pemuda spontan berjingkat dan ngebut balik badan untuk memastikan apa yang begitu lantang menghantam telinganya tadi itu.
Sosok pemuda dengan postur tubuh yang lebih kurus namun agak lebih tinggi daripada Aldo melenggang melewatinya begitu saja. Sebelas-dua belas dengan apa yang Aninda lakukan terhadap Aldo. Senyum tipisnya merekah sembari tangannya terangkat guna menyapa siapa pun yang hendak ia sapa. Bertepatan dengan itu, para gadis-yang di antaranya termasuk juga Aninda-kompak menoleh ke arahnya. Dan tepat di momen itu, Aldo merasa telak dihakimi oleh para siswi yang jelas-jelas tidak menganggap keberadaannya sama sekali. Hanya saja, sebab keberadaan tubuhnya yang berada tepat di belakang si pemuda-yang sialnya Aldo ragu apakah ia benar mengingat namanya....Rafa ?-Aldo tidak bisa mencegah mentalnya untuk merasa demikian. Terlebih lagi dengan sorot mata Aninda yang sempat berubah kaku dan terpatri kepadanya. Yang dengan cepat bergeser menatap siswa yang Aldo pikir namanya adalah Rafa itu.
" Eh, Ar."-oh, Arfa rupanya.
Suara Aninda, untuk pertama kalinya, terdengar sumbang di rungu Aldo. Keceriaan yang berusaha si gadis sampaikan tidak terkirim sebagaimana mestinya. Justru, sapaan Aninda barusan seolah-olah disampaikan dengan kondisi si gadis tengah sakit.
" Kenapa 'Ar' sih," Pemuda tersebut menjawab dengan sedikit heran. Tas selempangnya di letakkan di kursinya sembari memertahankan pandangan dengan Aninda. " Fa gitu. Fa !"
Setelahnya, tawa singkat terlontar dari mulut keempat manusia di ujung sana. Tapi Aldo, entah bagaimana caranya, bisa merasakan bahwa Aninda tidak turut tertawa juga bersama mereka sekalipun lengking pelan tawa si gadis tetap mengudara.
*******
Mau tahu apa yang paling menyebalkan lagi selain diporak-porandakan hatinya oleh sosok tersayang ?
" Aduuuuh...." Aldo otomatis mengusak rambutnya dengan kasar. Menggesek kulit kepala seolah-olah tengah dilingkupi ketombe setebal dua senti meter.
Yaitu saat menyadari bahwa barang kepunyaan sosok terkasih yang tengah bermasalah denganmu itu ternyata masih bersemayam dengan antengnya di dalam tasmu. Menunggu hingga kamu ingat bahwa kamu harus mengembalikannya sejak jauh-jauh hari.
Rasanya gigi si pemuda bisa hancur kapan saja lantaran saking kerasnya ia meringis. " Kenapaaa ?!" Jika bukan karena sadar diri ia masih berada di antara kerumunan, Aldo mungkin akan berteriak marah berkali-kali dibuatnya.
Di dalam tasnya yang isinya tidak seberapa itu, sebuah buku cukup tebal berukuran standar A4 berwarna biru cerah menyempil dari balik tiga buku tulis. Mencolok di antara legamnya kain yang mendominasi bahan tas ransel yang setia ia gunakan hingga empat tahun berturut-turut. Buku cetak Sains, Aldo ingat betul sempat memburu buku tersebut minggu lalu di perpustakaan.
" Oh, bukunya sudah dipinjam siswa lain, Anak." Begitu penjaga perpustakaan menjawabnya waktu itu.
" Dipinjem sama siapa, Buk ?"
" Sebentar," Buku tamu perpustakaan pun dibuka di hadapan Aldo. Disibak beberapa kali bersamaan dengan satu telunjuknya menelusuri rentet data pengunjung perpustakaan yang meminjam buku di hari-hari sebelumnya. Pada akhirnya, Aldo lagi-lagi dibawa untuk menemui Aninda. Kali ini dengan maksud meminjam buku sains tersebut sebab merasa benar-benar membutuhkan pengetahuan di buku tersebut sesegera mungkin.
Masalahnya, minggu lalu itu Aldo belum bermasalah dengan Aninda.
Alhasil di sinilah si pemuda sekarang. Di depan pekarangan rumah yang khas akan barisan bunga anggrek yang dirangkai seolah-olah merambat dari batang kayu artifisial.
" Assalamualaikum."
Di dalam hati, sejujurnya, Aldo benar-benar merasa salah tingkah sekali. Bayangkan saja, sosok yang menjauhimu dan juga tengah kamu hindari sebentar lagi akan hadir tepat di hadapanmu. Dan kedatangannya itu terjadi sebab ulahmu sendiri.
Ceklek-
Sumpah, lepas rasanya jantung Aldo saat menyadari pintu tersebut dibuka.
" Waalaikumsalam,"
Daun pintu bergeser dan perlahan-lahan menampilkan perawakan pemuda jangkung yang mengenakan kaos oblong dan celana parasut tebal sepantaran lutut. " Loh ?" Suara baritonnya semakin kentara setelah Aldo bisa memastikan bahwa manusia yang menyambutnya kini seratus persen bukan Aninda.
" Kamu yang waktu itu kasih Adikku boneka kan?" Tanyanya penasaran. " Yang waktu itu kan ?" Beonya lantas menggantungkan satu tangannya di pinggang.
" I-iya."
Aldo duga kakaknya Aninda ini akan mengamuk kepadanya. Yah, mengingat penolakan terang-terangan dari orang tua Aninda yang sukses menyeretnya ke hadapan sang Guru BK yang susah payah ia hindari. Mata pemuda yang lebih tua secara progresif membola.
Asli. Ngamuk ini.
Tawa meledek membahana seketika. Seolah-olah abangnya Aninda itu tengah mendapati seonggok makhluk paling kocak sedunia dalam wujud seorang Aldo.
" Haaa....duuh...." Sambungnya sambil mengusap wajah dengan agak kasar. " Ya udah yuk masuk."
*******
" Kamu nggak penasaran hadiahmu itu sebenernya diapain, err...." Ia menoleh cepat. " Namamu siapa ?"
" Aldo, Kak."
" Nah, Do. Sini Aku tunjukin bonekanya."
Aldo tidak bisa melakukan hal lain selain menurut dan membuntuti ke mana kakaknya Aninda itu membawanya menyusuri rumah. Wacana mengembalikan buku pun sudah keburu lesap dari benaknya.
Sang kakak mendadak berhenti-Cuma Aldo sih yang merasa demikian-setelah sampai di depan sebuah pintu yang sejujurnya tidak terlihat begitu kontras dibandingkan pintu-pintu lainnya. Hanya secercah area cat yang terkelupas sedikit yang mencuat tidak jauh dari gagang.
" Nah, ini kamarnya Aninda."
Aldo sudah menduga bahwa kamarnya Aninda akan tertata dengan sangat rapi-dilihat dari seberapa indah tulisan tangan si gadis. Namun ternyata, perawakan ruang pribadi si gadis terbukti tidak begitu berbeda dari kondisi kamar-kamar remaja lain yang pernah Aldo kunjungi.
Beberapa bantal terlihat teronggok begitu saja di sudut ranjang yang bersebelahan langsung dengan dinding. Selimutnya terlipat dengan rapi di seberang sudut yang lain. Meja belajar Aninda diisi oleh setumpuk buku tugas yang disusun di tepian meja. Sebuah buku cetak dibiarkan terbuka begitu saja. Berikut dengan pena, penggaris dan perangkat stationary lain yang meramaikan meja belajar Aninda itu.
Namun, yang paling mencolok di antara sendu dinginnya kamar Aninda adalah keberadaan boneka serupa beruang yang 'duduk' dengan rapi di tepi lain meja. Masih bersih dan tidak berdebu sedikit pun. Warna strawberry blond bulunya terlihat mencolok di antara kombinasi palet biru - abu-abu - putih.
" Tuh boneka yang kamu kasih."
" Oh iya...." Aldo refleks berujar. " Bonekanya. "
Mendadak si pemuda merasa terharu. Terbayang olehnya bagaimana Aninda berusaha keras agar orang tuanya tidak lanjut menyingkirkan boneka pemberiannya itu setelah merelakan untuk turut terlibat dengan urusan BK lantaran keteledoran Aldo sendiri yang terlalu memikirkan perasaan pribadinya sendiri.
" Itu awalnya Kakak yang simpen. Dia maksain waktu itu. " Kakaknya Aninda menyambung penjelasannya. Terus-"
" Orang tuanya Aninda lapor ke BK."
Kakaknya Aninda mengangguk. " Abis itu Dia langsung ngeyel minta bonekanya dibalikin. " Lantas, mendadak si yang tertua di ruangan tersenyum menahan tawa. " Ilang gengsinya, Do. Ya tapi biasalah ya....banyak cewek-"
Bel rumah berbunyi ! Kalau bukan Aninda, maka sudah pasti salah satu atau kedua orang tua si gadis lah yang datang itu.
Mati !!!
" Kamu tunggu aja disini, bentar."
Ditambah lagi dengan nada bicara Kakaknya Aninda yang mendadak berubah datar. Lalu dengan mudahnya meninggalkan Aldo begitu saja di sebuah ruangan yang seharusnya tidak boleh ia kunjungi.
Apa jangan-jangan tadi itu cuma perangkap biar Aku bisa langsung dimarah-marahin sama orang tuanya Aninda ?
Kakaknya Aninda bisa saja bohong kalau Aninda memang minta nyimpen boneka itu sendiri. Siapa tahu Kakaknya sendiri yang naroh boneka itu ? Biar Aku percaya dan nunda pulang ?
Gelagapan, Aldo mulai mundur dengan perlahan-lahan mendekati pintu keluar. Takut-takut jika ketahuan oleh sosok abangnya Aninda yang mungkin sudah menuntun orang tuanya ke kamar Aninda.
Tapi, Dia ga mungkin tahu kalau Aku memang dateng ! Argumen lain mencuat. Membuat Aldo spontan terhenti di tempatnya. Aninda sendiri mungkin ga tahu tahu kalau Aku mau-
" Kak diem! "
Suara Aninda !
Aldo menoleh seketika. Tahu-tahunya, sang gadis jelmaan malaikat itu sudah ada di hadapan Aldo.
Lengkap dengan ekspresi sebal yang membuat sudut pipi hingga daun telinganya memerah.
" Cieciecieeee...."
" KAKAK !"
Ups, Aninda ternyata seram juga kalau marah.
" Kamu kenapa masuk ke kamarku ?! "
" Eeh-tadi....tadi Kakak Kamu yang ngajak."
Sigap si gadis bersedekap. Matanya dikatupkan selagi berusaha untuk meregulasi lagi alur pernapasannya. Aninda mendengus cepat tanpa memandang Aldo lagi. Masih betah memejamkan mata.
" Y-ya udah ya, aku keluar dulu...."
" Ya udah keluar sana."
Hampir saja si pemuda patuh dan meninggalkan kamar sebelum akhirnya memori mencambuk belakang kepala. Buku ! Kalbunya berteriak dengan diiringi oleh tangan yang segera melepaskan tas dan mengeluarkan isinya.
" Bukunya !" Aldo spontan bersuara. Berlutut di lantai sembari merogoh isi tas dan mengeluarkan buku cukup tebal tersebut dari dalamnya. " Aku tadi dateng mau balikin buku. Ini Aku balikin ya."
Tangan si gadis bergerak cepat merebut buku tersebut dari tangan Aldo yang terulur. Terkesan kasar namun Aldo paham betul reaksi Aninda menjadi demikian sebab kepalang kesal.
" Oke." Jawab Aninda datar.
Merasa maksud kedatangannya sudah tersampaikan dengan tuntas. Aldo tidak pikir panjang lagi untuk berlama-lama di kediaman Aninda. Dan setelah menghaturkan salam kikuk "Emm....Aku pulang dulu." Dan mengambil langkah seribu, si pemuda tidak kepikiran lagi untuk berhenti sejenak memandangi rumah Aninda dan merenungi nasib hubungannya dengan si gadis. Sudah duluan takut jika tiba-tiba orang tua Aninda betulan muncul begitu saja.
Sementara si pemuda berlari kencang untuk kembali ke rumahnya sendiri, sekelumit cekcok yang diselipkan oleh humor tengah membahana di rumah Aninda.
" kenapa bawa Dia masuk ke kamarku sih !!!"
Kakaknya Aninda sekedar tertawa terpingkal-pingkal meresapi kisah cinta anak SMP yang melibatkan adiknya itu.
*******
" Ada gak temen di sini yang nyebelin ?"
Sejujurnya ada banyak orang yang bisa dicap 'nyebelin' di sepanjang hidup Aldo-sejauh ini. Belakangan ini, Nadia dan Alvaro sudah memastikan nama mereka terdaftar di list 'Manusia-Manusia Menyebalkan yang Tidak Mengubah Hidup Menjadi Lebih Bermakna' yang terdata di benak Aldo. Terbaru-dan yang paling mengguncang dirinya-adalah ide bahwa Aninda juga layak untuk mengisi tempat di daftar khayalan tersebut.
Tapi kan Dia orang yang Kamu suka, Do ?!
Tepat sekali, pikirnya suram. Aninda sudah meluluhlantakkan dan menyusun hatinya berkali-kali. Membuatnya bingung akan perasaannya namun tetap yakin juga bahwa ia teguh menyukai-baca : mencintai-Aninda.
" Aninda, Bu !" Kelewat linglung akan perasaan. Aldo nekat menyeru nama si gadis sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan random yang barusan wali kelas lontarkan.
Dan untuk mendukung opininya tersebut, tentunya Aldo menambahkan bukti. " Dia kemaren ga nyapa Aku !"
" Aldo juga Bu !"
Aninda dengan berapi-api menyahut seketika. Punggungnya langsung tegak lurus sebab hampir melesat berdiri. " Dia berlebihan !"
" Wah parah Aldo !"
Benar kan ? Alvaro si tengil itu memang harus menempati posisi permanen di list Aldo. Yang semakin membuat dongkol adalah seisi kelas juga ikut menuruti 'jejak' Alvaro tadi.
" Waaah Aldo !"
" Parah-paraaaah !"
" Seru ini euy !"
Lantas semuanya tertawa lagi. Entah tawa meledek atau memang murni sebab humor mereka yang begitu rendah. Kecuali Aninda. Aninda seorang di seberang sana.
Si gadis, selayaknya waktu perhelatan 17 Agustus-an waktu itu, menyempil di antara para murid. Berbeda hingga tampak begitu kontras dibandingkan para manusia lain yang tersebar di sekitarnya.
Namun, kali ini....Aninda memperhitungkan keberadaannya.
Ia memandang Aldo ! Dan Aldo seribu persen sadar bahwa matanya juga tengah menyorot sepasang galaksi mini di wajah si gadis.
Ribut kelas yang begitu mendadak perlahan bergeser dan menjadi audio statis semu yang kebetulan mampir di telinga. Sisanya hanya hening dan kosong. Aninda lah yang hidup di antara kehampaan yang Aldo rasakan.
Belum pernah rasanya sunyi terasa se-memekakkan ini.
*******

cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang