Udah tujuh tiga puluh
Aldo juga tidak kepikiran sih Aninda akan terlambat.
Udara pagi Kota Bandung terasa betulan dingin hari itu. Sebuah sensasi yang Aldo tunggu-tunggu setelah sekian minggu menetap di kota dimana ayahnya dipindah tugaskan ini. Hujan pun masih merintik halus di luar. Anginnya berhembus menerobos pintu. Menusuk tulang-belulang penghuni kelas yang masih bertahan dengan pakaian hangatnya masing-masing. Hanya segelintir yang tidak mengenakan jaket maupun hoodie tambahan. Yang mana salah satu anggota dari kaum ini ialah Aldo, si anak baru yang sudah lebih dari tiga belas tahun hidup di wilayah yang rutin menguarkan suhu cukup panas, terik matahari, dan udara dingin kipas angin. Sayang sekali ia tidak membawa serta jaketnya ke sekolah–percayalah, ibunya Aldo sudah memaksanya berkali-kali–dan berakhir menahan gemetar di tubuhnya sendiri.
Tangan kirinya yang terangkat guna melirik jam tangan akhirnya diturunkan dan kembali bersedekap di depan dada. Sedingin-dinginnya tubuhnya, Aldo masih sempat untuk menoleh dengan antusias ke arah pintu. Mengantisipasi setiap anak-anak terlambat yang masuk dengan harapan bahwa yang akan menyembul adalah Aninda.
Tapi Aninda tidak kunjung kelihatan. Tidak juga menyempil dari balik dinding dan tersenyum malu sebab terlambat.
Baru kali ini Aninda terlambat–waktunya sudah bergeser ke tujuh tiga puluh tiga–dan Aldo sukses dibuat cemas karenanya.
Mengingat keberadaan Aninda yang tidak ada kepastian ini, membuat Aldo terpikir akan sosok lain yang sempat bertukar nomor ponselnya.
Bocah itu ! Ia bergerak gelisah hendak melesat dari kursinya demi menghampiri Bian yang betulan baru saja datang. Namun urung terlaksana lantaran gurunya pagi ini juga turut bergerak membuka map presensi siswa.
Lagipula, Bian masih bisa ditemui nanti.
Maka jam istirahat adalah waktu yang tepat untuk menemui teman dekatnya Aninda yang satu itu.
Dan oleh sebab yang sama pula, Aldo–sambil menggosok-gosok tangannya dengan cepat–bergerak mencari keberadaan Bian yang bisa-bisanya menghilang begitu saja. Syukurnya, mereka berdua secara tidak sengaja berpapasan di pertengahan jalan. Bian dengan tujuan ke kantin, sementara Aldo dengan maksud sembarang mencari pangkal hidung ‘teman’ barunya itu.
“ Eh Aninda kemana ya? Kok gak masuk ?”
Apa Aldo menduga Bian akan mengetahui segala hal terkait Aninda dengan sekomplit itu ? Bian bahkan tidak tahu bahwa Aninda memang tidak masuk sekolah hari itu.
“ Dia sakit.”
Gadis yang dengan bangga mengaku sebagai manajer Aninda tempo hari tiba-tiba bersuara. Jika Aldo tidak salah ingat, nama gadis tersebut adalah Puspita.
“ Kok tahu ?”
“ Tadi orang tuanya Aninda nitipin surat sakitnya ke Aku. Aku nggak tahu sih Aninda sakit apa.” Ia–Puspita sang manajer Aninda–mencuri pandang ke beberapa stand yang masih penuh akan makanan dan siswa. Lalu tangannya sedikit terangkat, dengan ujung telunjuk yang mencuat. Tampaknya teman dekatnya Aninda itu sudah menemukan apa yang hendak ia santap di kantin. “ Tapi sebagai manajer Aninda yang rajin ini–“
Itu dia. Sisi humorisnya yang menguarkan kepercayaan diri level tinggi–
“ Aku tebak Aninda lagi demam. Nggak parah sih.” Matanya menyipit diikuti oleh kening yang agak mengerut. Bersamaan dengan tangannya yang sudah gesit mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku roknya.
“ Ya sudah ya ? Laper !”
“ Eh ! Tapi kita nggak tau–“
Puspita dengan gesit langsung menghilang di antara kerumunan siswa yang berebut membeli makanan pilihan mereka. Membiarkan Aldo dan Bian mengusut perihal ketidakhadiran Aninda ini dengan begitu saja.
“ Tau rumahnya Aninda gak di mana ?”
Aldo mendadak mengalihkan pertanyaan yang hendak ia sampaikan tadi ke Bian. Menurutnya, sebagai sosok yang mengaku sudah berteman sejak bangku kelas tujuh dengan Aninda, Bian sepatutnya tahu dimana keberadaan tempat tinggal si gadis.
“ Mau ngapain emang ?”
“ Aku mau ke rumahnya,” Kedua tangan Aldo ditangkup dan diangkat untuk menutupi hidung dan mulutnya. Lalu dengan mulut yang dibuka agak lebar, menghembuskan napas hingga menabrak permukaan telapak tangan. “ Tau kan alamat rumahnya ? “ Sambungnya.
*******
Fakta menunjukkan bahwa, sekalipun sudah lama berteman, Bian tidak pernah mengetahui letak pasti rumah Aninda. Jangankan koordinat, nama daerah tempat tinggal si gadis pun tidak ia ketahui.
Aldo jadi meragukan keeratan persahabatan antara Aninda dengan Bian ini.
Sebelum jam istirahat berakhir, Bian memberi usul untuk bekerja sama mencari alamat lengkap rumah Aninda. Yang sigap disangkal Aldo dengan opsi menanyakan langsung ke ‘manajer’ Aninda saja.
Denting bel masuk berbunyi tidak lama setelahnya.
“ Tapi kita tetep ngga bakal tau persis dimana rumahnya.” Bian melesatkan argumennya. Tangannya bergerak memberi emfasis dengan gestur menunjuk tanah. Kedua kakinya sigap melangkah beriringan dengan Aldo menuju kelas. “ Paling kita cuma dikasih tau; ‘Oh, deket bangunan ini ! Aduuh Aku lupa nama bangunannya.’ Dia tuh susah banget nginget nama daerah ! Pas ke Garut kemaren juga begitu.”
“ Ya terus mau ditanya satu-satu ke teman-teman gitu?” Aldo balik menukas.
Mendadak wajah Bian berseri. Sebuah ide yang lebih baik terlintas di otaknya. “ Kita cek di map absen aja! Di situ seharusnya ada!”
“ Ah ! Kenapa nggak bilang dari tadi ?!”
Begitulah sedikit perbincangan mereka di siang hari itu. Dengan instan, keduanya sepakat untuk menjalankan ide Bian itu. Dan sesuai perjanjian, Aldo dan Bian sepakat untuk sama-sama mengintip data siswa yang juga terselip di dalam map presensi. Menurut teori Bian tadi siang, map tersebut mengandung tidak hanya daftar nama murid kelas, tetapi juga menyertakan alamat tempat tinggal hingga nomor wali yang bisa dihubungi.
“ Ada alamatnya !” Bian setengah berteriak. Kertas yang berisi alamat di bawah telunjuk jarinya itu sampai diketuk berkali-kali. Dengan semangat, Aldo buru-buru menyembulkan kepala demi membaca rentet kalimat dua baris tersebut dengan lebih jelas.
“ Deket lagi !” Sambung Bian yang kini beralih menatap Aldo. “ Oke, nanti sebelum ke rumahnya Aninda, ke rumahku dulu ya. “
“ Oke.”
*******
Aldo berlari secepat mungkin, seolah-olah dikejar waktu. Baju seragamnya sedikit basah oleh keringat, tapi langkah kakinya tak berhenti. Meskipun lelah, Aldo terus berusaha mengejar Bian yang sudah lebih dulu mengayuh sepeda. Di depan, Bian sesekali menoleh ke belakang, memastikan Aldo masih mengikutinya.
"Lo kuat, Do? Gue tungguin nih kalau lo capek!" seru Bian sambil menurunkan kecepatan sepedanya.
Aldo tersenyum lelah, "Tenang aja, gue bisa kok," ucapnya, meskipun napasnya sudah mulai tersengal-sengal.
Di tikungan dekat pos ronda yang kosong, Aldo melihat Bian berhenti dan menunggu.
"Yaudah, bareng aja dari sini. Gue jalan kaki biar kita sampai bareng," ucap Bian sambil turun dari sepedanya.
Mereka pun berjalan beriringan menuju rumah Bian, bercanda dan tertawa sepanjang jalan, meskipun Aldo masih terengah-engah..
“ Masuk atuh, Do !”
“ Iya–iya....” Lawan bicaranya Bian tersebut menurut dan masuk ke dalam rumah kawan barunya yang terasa kelewat sepi itu. Cahaya di rumah terasa redup, sebanding dengan langit sore yang masih mempertahankan rona kelabunya semenjak tadi pagi. Tidak ada satu pun orang lain di rumah, bahkan setelah beberapa detik Aldo menginjakkan kaki di lantai hunian Bian.
“ Jadi.... nanti, kita ngapain aja di sana?” Bian duduk duluan di kursi ruang tamu. Dituruti oleh Aldo yang ikut mendaratkan bokongnya berseberangan dengan si tuan rumah.
Betul juga ya ? Aldo belum berpikir sejauh apa yang hendak ia lakukan ketika menemui Aninda nanti. Sebab, di otaknya saat ini hanya terbayang beribu cara untuk mencapai rumah sang gebetan.
“ Ya kita paling dateng,” Ia menoleh ke kanan, tangan dominannya ikut bergerak mengikuti kemana bola matanya memandang. “ Salam,” Lalu ke kiri. Kini alisnya turut memberi emfasis dengan menukik ke atas. “ Ngobrol-ngobrol aja sama Aninda.” Baru kemudian balik menghadap Bian lagi. “ Tanyain kenapa tadi gak masuk sekolah. Sama....ummm....”
Si pemuda mendadak tersenyum tipis. Pipinya menguarkan warna merah tipis yang terlihat kontras dengan dingin dan kakunya suasana rumah Bian.
“ Hah ?” Bian spontan bertanya dan memerhatikan sikap temannya yang mendadak tenang itu. Memang sih, ia menyimpan beberapa dugaan terhadap perlakuan Aldo yang begitu perhatian sekali terhadap sosok Aninda.
“ Itu aja ? Nggak akan bawa apa-apa ? Itu ?” Tanyanya penasaran
“ Ya bawa dong !” Aldo menjawab dengan menggebu-gebu sembari menyodorkan jenjengan yang ia letakkan di samping tubuhnya. Barang bawaan yang sedari tadi ia bawa dengan hati ber-uforia itu pun akhirnya dipamerkan juga. Ketika Bian mengintip ke dalamnya, sebuah boneka beruang berwarna strawberry blond tahu-tahunya menyempil begitu saja. “ Ini !”
“ Serius ?”
“ Eeeh....susah itu milihnya !”
Ah, skeptis rasanya dengan anak yang satu itu !
*******
“ Rumahnya di jalan apa tadi ?”
“ Soekarno Besar.” Bian membalas dari atas sepedanya yang melaju dengan cukup kencang. “ Tapi di mana ya ?”
Beberapa kali mereka mengayuh tak tentu arah–bersama dua unit sepeda yang semuanya adalah milik Bian. Kesulitan menemukan letak persis lokasi rumah pujaan hatinya Aldo ini. Sudah sekian kali mereka melewati berbagai tikungan berbeda dalam kurun waktu hampir setengah jam lamanya. Awalnya bermodal yakin, dan berakhir dengan berbekal nekat saja.
Tidak tahan, dan kebetulan sedang beruntung, Aldo mendapati seorang wanita paruh baya berjalan ke arah mereka. Terlihat mengenakan pakaian rumahan yang dilapisi dengan jaket tebal. Satu tangannya menenteng kantung plastik berukuran cukup besar.
Artinya, Ibu itu adalah warga sekitar sini !
“ Permisi Bu. Kenal gak sama yang namanya Aninda ? Rumahnya di Jalan Soekarno Besar.”
Mata si ibu sontak berbinar. Pertanda bahwa ia tahu betul dimana letak rumah gadis yang dimaksud. “ Oh iya ! Itu setelah perempatan belok kanan !” Suaranya cukup lantang ketika memberikan instruksi lengkap buat Aldo dan Bian. Otomatis, semangat kedua remaja itu bangkit. Tubuh mereka ikut membusung mengikuti kemana tangan si ibu menunjuk.
“ Lurus terus ngelewatin lima rumah. Baru nanti ada rumahnya yang warna hijau.”
Perempatan, belok kanan. Lurus lima rumah. Warna hijau !
“ Oke! Makasih Bu !”
Tanpa basa-basi apapun lagi, Aldo langsung saja injak dan kayuh pedal sepedanya. Semangatnya kembali membara demi bertemu dengan sosok Aninda yang hilang tanpa kabar. Sementara Bian yang gelagapan akan kecepatan Aldo yang tahu-tahunya sudah melesat jauh itu, juga cepat-cepat ambil posisi. “ Makasih banyak, Bu !” Ujarnya setengah panik lantas ngebut menyusul Aldo.
Habis melewati rumah kelima yang dimaksud si ibu, Aldo dan Bian sama-sama disuguhkan oleh perawakan rumah berlantai satu dengan warna hijau pucat. Di sekitar area dinding rumah hingga pekarangan, dipenuhi oleh berbagai macam anggrek yang dirangkai bagaikan tumbuh dari ranting-ranting besar yang mencuat dari tanah. Di sudut kiri dan kanan terdapat lentera yang tidak menyala. Beberapa karung kusam yang dari atasnya agak berhamburan oleh tanah hitam teronggok tidak jauh dari area anggrek. Namun tidak akan langsung teridentifikasi jika kamu tidak melihatnya dengan seksama.
“ Oh ini toh rumahnya....” Aldo menghela napas. Rasa gugup yang tadi sempat diredam oleh adrenalin sudah agak mencuat.
“ Panggil Do orangnya !”
Tentu saja Aldo akan memanggil sang gebetan ! Mana mungkin ia sampai rela mengayuh sepeda jauh-jauh jika bukan untuk menemui si gadis di anak tangga jika bukan untuk bertemu dengannya langsung.
“ Assalamualaikum !”
Pintu tidak terbuka seketika. Begitu pula satu menit kemudian. Selayaknya rumah itu tidak berpenghuni. Terpancing oleh insting, Aldo balik badan menghadap Bian yang baru rampung merapikan posisi sepeda mereka di area pekarangan.
Kretek !
“ Loh Aldo ?”
Aninda terlihat bersinar ketika muncul dari balik pintu. Remang-remang di antara temaram rumahnya yang hening. Tapi, wajah rupawannya tidak terlihat se-ayu yang biasa. Pun beningnya tidak se-mengkilau yang Aldo ingat.
Aninda tampak....pucat.
“ Bian ?” Si gadis melongok dari balik kusen pintu. Hanya jari-jemarinya yang memutih saja yang terlihat selain wajah.
“ Kok tahu rumahku ?” Si gadis balik bertanya ke Aldo.
“ Eh iya, aku tahu dari Bian. Kita nemu di daftar absen, hehe....”
“ Oh, ayo–“ Si gadis mendehem sejenak. “ Ayo duduk dulu. “
Pucat sekali, pikir Aldo dengan prihatin selagi membuntuti Aninda yang berjalan tanpa tenaga yang cukup. Si gadis lalu duduk agak jauh dari mereka.
“ Sekarang gimana ?”
Aninda tersenyum tipis. Sebuah ekspresi yang Aldo rindukan hari ini.
“ Ya udah mendingan, walau masih ga enak.”
“ Ahh iya-iya....”
Seingat Aldo, baru saja beberapa detik ia benar-benar duduk di atas sofa Aninda yang empuknya bukan main itu–serius, Aldo merasa tubuhnya sampai memendek beberapa senti lantaran tenggelam–sebelum Bian menyikut sikunya berkali-kali.
“ Duh, maaf kita gangguin Kamu, Aninda. “
Dan ia dengan tanpa aba-aba berujar mendadak begitu saja sambil mengisyaratkan kepada Aldo untuk segera pulang. Aldo tentunya tidak langsung menurut begitu saja. Namun, tampaknya ia sudah mengantisipasi reaksi Aldo yang terduga tidak ingin kembali secepat itu. Tolehan cepat dari Aldo bahkan tidak digubris oleh si pemuda sedikit pun.
Tapi....Aldo menimbang juga kondisi Aninda yang tampak lemah itu. Bersandar dengan lesu pada sofa yang empuk itu, sampai-sampai pipinya terlihat tembam karenanya.
“ Kita pulang dulu ya ?” Ujarnya ramah. Tangannya bergerak menyerahkan bingkisan yang sempat ia pilih bersama Aldo di minimarket terdekat. “ Ini, kita bawain sesuatu buat Kamu.”
Aninda butuh istirahat. Aldo menurut dan patuh mengikuti kemana Bian mengarahkan aksinya. “ Cepat sembuh ya ?”
Aninda mengangguk lesu, masih dengan wajah yang ia usahakan untuk tersenyum ramah. “ Oh iya. Makasih, Do, Yan.”
Dan ini dia momennya. Selain berkunjung, Aldo juga telah berencana, untuk membawa ‘hadiah’ buat Aninda yang sejujurnya sudah ia siapkan tempo hari. Namun batal tersampaikan sebab ketidakhadiran si gadis di sekolah.
“ Ini Nin, Aku bawa hadiah buat Kamu....” Tangannya terdorong untuk mengulurkan satu totebag plastik berwarna biru pastel. Ia menghirup napas dalam-dalam. Menatap kedua bola mata Aninda yang terlihat bertanya-tanya. Bibir si gadis bahkan sampai tidak terkatup dengan sempurna.
“ Aku suka sama Kamu.”
Jika Bian sudah renta, atau setidaknya mampu berakting dengan dramatis tingkat dewa, maka ia akan terjungkal dan meremat permukaan dadanya. Sakit jantung ia melihat Aldo yang bisa-bisanya mengutarakan isi hatinya secepat itu.
Si gadis tidak mampu untuk menyembunyikan rona merah yang berkias di pipinya yang pucat. Matanya yang semula terpatri menatap Aldo mendadak turun dan berganti menatap lantai hingga ujung kakinya. Kakak bakal denger ! Serunya dalam hati sambil menelan rasa segan bulat-bulat.
Totebag tersebut buru-buru si gadis terima. Aninda bahkan tidak sadar bahwasanya hadiah tersebut masih menggantung di ujung tangan Aldo, tergenggam talinya di genggaman si pemuda.
“ Aku terima hadiahnya ya Do....” Katanya pelan dan agak tercekat.
“ Tapi kita temenan aja.”
Dan begitulah. Aninda tidak lagi sekedar menertawai curahan isi hatinya di sekolah. Atau telak menerimanya setelah hadiah tersebut resmi berpindah tangan.
Aninda menolak Aldo.
Dan siapa pun yang berada di sekitar sepasang manusia itu sudah mendengarnya dengan sangat jelas.
Aninda menolak Aldo.
Aldo merasa hancur seketika. Remuk hatinya oleh penolakan frontal Aninda. Untuk berkata maupun berucap pamit pun ia tidak sanggup.
Aninda menolak Aldo.
Dan sekarang ia di sini. Di depan pagar rumah sang gebetan yang perlahan-lahan ditutup oleh Bian.
Aku ditolak Aninda.
“ Yuk....pulang....”
Tapi Aninda bersedia menjadikannya teman.
Teman.
“ Cie-cie...HAHAHAHAHA!!!” Seketika tawa histeris menguar dari rumah Aninda yang sudah terkatup rapat. Lengkingnya terasa berat–bariton–namun mengudara tanpa beban. Rasanya tidak mungkin orang tua Aninda meledak anak perempuannya setelah menolak perasaan seseorang. Sebab, sepengetahuan Aldo, umumnya sosok ayah itu begitu protektif terhadap anak gadisnya, terlebih lagi untuk urusan pasangan. Tidak mungkin ayahnya Aninda sampai tertawa begitu lantang setelah mengetahui seorang pemuda asing baru saja menyatakan perasaan terhadap anaknya.
Itu pasti Kakaknya Aninda !
“ Eh-eh....denger nggak tadi !”
“ Denger apaan ?” Bian menukas selagi menggeret sepedanya ke pinggir jalan.
“ Tadi kakaknya Aninda bilang cie-cie.”
Bian berdecak sekali. “ Ah kamu mah saking senengnya sampe ngehalu gitu.” Kepalanya mengangguk tajam sekali. Sementara tangannya sudah mantap menggenggam grip sepeda.
“ Udah sore nih, Do !”
Bicara soal sore, Aldo yakin betul ini sudah melewati jam pulang yang seharusnya. Benar saja, ketika ia menengadah guna mengintip kondisi langit, ronanya sudah menjadi jingga kemerahan, dengan tepi horizon yang membiru gelap.
Sudah ditolak, Aldo juga harus siap dimarahi ibunya ketika pulang nanti lantara kelewat terlambat.
“ Ayuk !”
“ Ishh–iya-iya–astaga....”
Ponsel si pemuda berdering. Tepat sasaran sekali.
Dengan mendengus, Aldo keluarkan ponselnya itu dengan sigap. Takut-takut jika durasi panggilan tersebut duluan berakhir sebelum ia sempat menerima panggilan. Bisa semakin runyam situasinya nantinya.
Angkat-jawab-minta maaf. “ Halo, Ma ?”
“ Do ? Kamu di mana ??? Ini udah malem loh !”
Sekalipun lebih lantang dari biasanya, Aldo langsung bisa menemukan kelebat khawatir dari nada bicara sang mama. Imaji akan amarah orang tuanya itu langsung lenyap dalam sekejap.
“ Kamu kok ga bilang ke Mama kalau keluar sampai jam segini ?”
Yah, pertama, Aldo yakin sekali bahwasanya waktu belum memasuki jam ‘malam’ yang dimaksud ini. Kobaran oranye di ujung kota sudah cukup memverifikasi fakta yang satu itu.
Kedua, Aldo juga tidak bisa memastikan apakah ia memang akan menghabiskan waktu hingga ‘malam’ sebagaimana yang Mamanya ucapkan. Sebetulnya sih, Aldo bisa menciptakan praduga, atau setidaknya hitung-hitungan cepat di kepala perihal kemungkinan durasi yang ia pakai untuk mengunjungi Aninda.
Ketiga, mendukung alasan kedua, Aldo benar-benar tidak menyangka bakal kesasar. Rute menuju rumah Aninda yang kelihatan gampang di Google Maps malah bikin dia bingung. Setelah beberapa kali memutar balik dan salah jalan, akhirnya dia sampai juga, meski terlambat.
Sebelum sampai, mereka sempat mampir ke minimarket untuk beli minum. Aldo memilih air mineral sementara Bian lebih cepat sudah di kasir. Setelah membayar, mereka langsung melanjutkan perjalanan, berharap Aninda belum terlalu lama menunggu.
“ Iya....maaf, Ma.”
“ Ya udah, sekarang Kamu langsung pulang. “
“ Iya Ma.”
“ Cepet. Nanti keburu gelap.”
Nah, ini mengonfirmasi alibi pertamanya.
Kedua pemuda tersebut kemudian memulai perjalanan pulang. Bian terlihat kalem dengan lintasan jalan di depan mata sebagai fokus utamanya. Sementara Aldo sudah kelimpungan membenarkan hatinya yang sendu dan sedih sekali di sore menjelang maghrib itu.
Jangan diinget dulu. Jangan diinget dulu. Jangandiingetdulu. Ia yakin sekali mengulang-ulangnya di dalam hati. Namun, seribut apapun ia mengalihkan perhatiannya, meniru Bian yang sibuk membiarkan matanya terpatri ke jalan, sampai mengenang amarah Mama yang baru saja tandas via telepon, Aldo tetap tidak mampu mengurangi kadar kekecewaannya.
Tapi kan masih ada kesempatan lain, Ia bersikeras. Setidaknya Aldo masih bisa menemui Aninda setiap hari di sekolah. Ia juga percaya bahwa Aninda akan tetap berperilaku ramah terhadapnya. Menebar senyum anggun. Menjawabnya dengan tenang. Kembali menjadi teman satu timnya di lain kesempatan.
Aninda akan tetap menjadi temannya.
Tapi kita temenan aja.
Aninda hanya akan menjadi teman Aldo.
Sungguh sial sekali dia.
*******

KAMU SEDANG MEMBACA
cinta pertama aldo
RomanceSetelah pindah ke sekolah baru, Aldo, seorang pemuda kelas 8 SMP, berusaha menyesuaikan diri. Di tengah kebingungan itu, ia bertemu Aninda, gadis ceria dan pintar yang membantunya beradaptasi. Persahabatan mereka berkembang, namun Aldo harus menghad...