CHAPTER 7

12 0 0
                                    

Oh Iya, Do. Abis pulang sekolah sibuk gak?”
Bian bertanya tiba-tiba setelah Aldo rampung mengumpulkan buku tugasnya ke guru. Tidak menyangka akan mendadak diajak seperti itu–ia juga sebetulnya tidak terlalu yakin dengan apa yang ia dengar dari rekan yang menjelma menjadi teman dekat itu–Aldo pun balik bertanya. Singkat dan padat.
“ Hah ?!”
“ Nanti abis pulang sekolah Kamu sibuk ga ?”
“ Pulang sekolah ?”
Bian menghela napas saja mendengarnya. Mentang-mentang bimbang lantaran urusan coklat buat Dira, Aldo jadi susah fokus seperti itu. Tapi, kalau Bian pikir-pikir lagi, wajar juga sih Aldo sampai agak linglung begitu. Selain oleh Aninda yang sukses besar memorak-porandakan hatinya, ada masalah Dira yang harus diberi coklat juga. Dijamin menambah rentet problem baru buat Aldo yang masih tertatih-tatih menegarkan hati.
Tidak tahu saja Bian kalau Aldo hanya sekedar tidak terlalu mendengar ajakannya tadi. Sesimpel itu.
“ Iya Dooo....” Bian membalas dengan sedikit berlebihan. “ Aku mau ngajak Kamu ke rumah Aku ntar siang. Abis pulang sekolah. Sibuk ga ?”
Aldo merengut heran dibuatnya. Merasa asing serta aneh dengan ajakan Bian yang muncul begitu saja. “ Nggak sibuk sih. “ Ia menjawab dengan agak ragu-ragu. Rupanya mencerna ucapan Bian membutuhkan waktu yang lebih lama dari perkiraan. “ Emang buat apa ke rumah Kamu ?”
“ Ini....Mamaku ngajak makan bareng. Mau ya ?”
“ Makan bareng ?–“
“ Ya Allah iyaaa, Dooo....”
Aldo sontak mendengus sebal. Merasa dituduh tuli oleh Bian. Rasanya ingin menghardik temannya yang tidak tahu kalau otaknya sedang mumet sekali itu. Namun urung sebab....makan siang bareng ? Gratis ? siapa sih yang tidak gelagapan mendengarnya. Aldo yang otaknya sudah sebelas dua belas gumpalan benang terlilit saja refleks tergiur mendengar tawaran Bian.
“ Oke deh !” Tentunya ia menjawab dengan riang. Wajahnya langsung sumringah diiringi senyum lebar yang memampangkan deret gigi-giginya.
“ Berarti ntar abis pulang sekolah langsung ke rumah Kamu kan, Yan ?–eh iya, kok mendadak ngajaknya ? “
“ Ga tau juga. Pokoknya Mama yang nyuruh. “ Bian menjawab sembari tubuhnya mengikuti kemana Aldo bergerak. Sampai-sampai ia harus balik arah menghadap ke belakang kelas demi melanjutkan konversasi dengan Aldo yang duduk tepat di belakangnya. “ dan soal ke rumahku nanti, itu kita mampir dulu ke warung. Mama nitip kecap tadi pagi.”
“ Oke. Berarti ke warung, terus baru ke rumah Kamu. Siiip.”
Dan sesuai rencana, kedua pemuda itu mampir dulu ke warung terdekat yang rupanya berlokasi tidak jauh dari rumah Bian. Tidak sekedar membeli kecap, mereka akhirnya kompak membeli teh instan dingin sebab terlanjur merasa kepanasan. Apa lagi bagi Aldo yang belum cukup terbiasa untuk berjalan kaki – naik angkot – dan jalan kaki lagi itu.
Merasa haus telah dientaskan, keduanya melanjutkan perjalanan lagi. Berjalan kaki untuk memasuki gang yang Aldo sendiri sudah merasa familiar dan hafal. Khusyuk sekali dengan berjalan sambil menunduk memandangi bongkahan kerikil yang tersebar di tepi jalan, Aldo jadi tidak menyadari sama sekali bahwa ia telah sampai di destinasi tujuannya siang itu.
Rumah Bian.
“ Assalamualaikum !”
“ Waalaikumsalam,” Balasannya terdengar teredam dan jauh. Derap langkah kaki yang dibalut sendal pun terdengar tidak lama setelahnya.
“ Wah ! udah pulang !” Ibunya Bian–Mama Bian sih lebih tepatnya–tampil dengan celemek yang masih menggantung di lehernya. Benar-benar terlihat sibuk dengan apapun yang ia masak di dapur. Senyumnya merekah tatkala mendapati sosok putranya sudah datang dengan kecap pesanan yang dititip sejak tadi pagi. Matanya pun ikut berbinar saat menyadari keberadaan Aldo yang masih memasang jarak di belakang Bian. “ Eh, Aldo ya ?” Tanya Mama Bian cukup lantang. Lalu mendadak balik menghadap putranya. “ Bener kan ‘Aldo’ namanya ?”
“ Iya Ma,” Jawab Bian halus. Lantas menyerahkan satu kantung plastik hitam yang pastinya sudah mamanya itu tunggu-tunggu.
“ Nah ini dia–Eh udah ayuk masuk !” Menyadari keberadaan dua remaja yang masih setia berdiri di luar rumah itu membuat Mama Aldo langsung gelagapan meninggalkan pintu. Bian, sebagai tuan rumah, masuk terlebih dahulu setelah melepaskan sepatu dan setengah melemparnya di teras. Disusul oleh Aldo yang masih cukup canggung untuk kembali masuk ke rumah sang kawan.
“ Permisi....”
Suasana rumah Bian rupanya sangat berbanding terbalik dengan kondisinya di waktu kunjungan pertama Aldo beberapa hari yang lalu. Seluruh tirai tersibak sempurna. Kainnya diikat dengan simpul sederhana dan diselipkan ke atas. Jendelanya terbuka lebar, memberi celah yang luas buat udara segar untuk berlalu lalang ke luar masuk rumah Bian. Dan sebab jendela yang terbuka lebar itu pula, rumah Bian terasa begitu terang. Yang jika Aldo letakkan dalam perumpamaan, maka rumah Bian saat ini adalah sebongkah cahaya jika disandingkan dengan penampakan rumah temannya itu tempo hari yang bagaikan lorong kebiruan nan dingin.
Bian tahu-tahunya sudah berdiri di samping meja makan, tepat di belakang kursi kosong yang sepertinya akan menjadi tempat duduknya nanti. Sejenak memperhatikan isi meja makan sebelum akhirnya melenggang jauh ke dalam rumah. Ke area lain yang Aldo tebak adalah dapur.
“ Ma, ini Aku angkat ya ?”
“ Nah iya–sekalian itu juga, Yan.”
Sayup-sayup konversasi antara ibu dan anak itu terdengar dari seberang sana. Yang kemudian diiringi dengan kembalinya Bian bersama dua piring berisi lauk yang masih mengepul di atasnya.
“  Tasnya taroh di situ aja, Do.” Bian menunjuk dengan mulut selagi tangannya masih penuh akan piring-piring. “ Langsung duduk aja sini. Aku cuma mau nyusun piring aja bentar.”
Lantas ia menghilang lagi ke dapur. Cukup lama di sana sebelum akhirnya balik ke meja makan bersama sosok mama yang agak terlambat sebab ingin menanggalkan celemek terlebih dahulu.
“ Oke, jadi Aldo ini yang waktu itu pergi sama Bian kan ya ?” Mama Aldo memulai konversasi setelah ikut bergabung ke meja makan. Mengambil tiga gelas untuk kemudian diisi air. Sedangkan putranya masih sibuk menyendok nasi ke piringnya sendiri.
“ Iya Tante. “ Aldo menjawab singkat. Bingung harus memperpanjang kalimatnya dengan apa.
“ Gimana waktu itu ?” Sambung Mama Bian lanjut bertanya. Bersamaan dengan Bian yang sudah menggeser bakul rotan berisi nasi yang rupanya sudah berkurang seperempat bagian ke sosok pemuda di sebelahnya. Mengindikasikan untuk Aldo agar mengisi piringnya juga dengan nasi.
“ Yang waktu ke rumah Aninda, Tante ?”
“ Nah iya ! Aduuh, Tante kadang lupa nama temennya Bian itu–eeeh, nasinya dibanyakin dong, Do. Dikit banget itu.”
Aldo pandangi piringnya sekilas. Menimbang apakah memang se-sedikit itu porsi nasi yang ia ambil. Tidak, ia bermonolog, udah pas ini.
“ Saya gampang kenyang, Tante.” Ia membalas dengan senyum simpul. Lalu lanjut menjawab pertanyaan Mama Aldo yang sempat terlewat begitu saja. Namun, si pemuda ragu apakah ia paham dengan maksud pertanyaan mamanya Bian tadi.
“ Tadi Tante tanya apa ? Saya lupa, “ Ujarnya malu-malu.
“ Waktu itu gimana waktu Kamu ke rumahnya Aninda sama Bian ?”
Yep. Aldo tidak mengerti jua.
“ Gimana apanya, Tante ?”
“ Ya kayak kamu ngapain aja disana. “ Papar Mama Aldo sembari meletakkan lagi bakul nasi yang kosong ke sisi tepi meja makan. Mengangkat satu piring berisi lauk yang ia isinya ia letakkan ke masing-masing piring Aldo, Bian, dan terakhir dirinya sendiri. “ Terus emang Aninda ini siapanya kamu, Do ?” Satu piring berisi lauk lain pun diperlakukan dengan cara serupa. “ Teman deket, Do ? Atau....pacar Kamu yaaa ?....”
Spontan wajah Aldo memerah mendengarnya. Tidak di rumah Bian ataupun di kelas, orang-orang rupanya sepakat untuk berpikiran bahwa ia dan Aninda telah menjalin hubungan dekat yang levelnya lebih tinggi daripada sekedar teman–yang tentunya terbukti tidak benar, satu hal yang masih sulit untuk tersebar luas di antara mereka semua.
Alhasil, Aldo menjadi agak tergagap karenanya. Menjawab dengan canggung.“ Bu-bukan lah Tante,” Kemudian dengan nyali yang menciut, si pemuda menambahkan lagi. “ Saya masih belum punya pacar.”
Si pemuda dengan penuh antisipasi memandang wajah Mama Bian. Takut-takut jika sampai mamanya Bian turut tertawa selayaknya teman-temannya di kelas. Namun, reaksi demikian tidak kunjung timbul. Bahkan, senyum jahil pun tidak merekah di wajahnya. Hanya seulas senyum tipis yang menghiasi wajah mamanya Bian. Matanya fokus menatap piringnya sendiri sehingga terlihat seolah-olah terkatup.
“ Oh gitu, “ Pun jawabannya sederhana saja “ Gampang nggak kemarin cari rumahnya? Kata Bian itu pertama kalinya kalian ke sana.”
Segampang itu. Segampang itu Mama Bian menggeser topik pembicaraan. Sesaat, Aldo sampai lupa kalau ia sempat memikirkan kisahnya dengan Aninda hanya satu–dua–detik yang lalu. Saat ini, yang terbayang di otaknya adalah bagaimana ia mengayuh sepeda ke teritori asing bersama sang kawan dan menghadapi petualangan kecilnya bersama-sama di siang menjelang sore hari itu.
“ Ooh kalo soal cari rumah sih gampang Tante. Tinggal muter-muter doang ketemu !” Aldo tidak bisa memungkiri bahwa ada seberkas rasa bangga di kalbunya saat menjawab pertanyaan Mama Bian tadi. Si pemuda jadi teringat bagaimana ia sungguh berdedikasi pada perjalanannya waktu itu sehingga berhasil dan tanpa canggung sama sekali bertanya kepada sosok asing yang baru ia temui seketika. Bayangkan ! Rasa segan Aldo langsung sirna waktu itu ! Tentang perjalanan pulangnya menyingsing sore sembari memikirkan taktik apa yang harus dipraktikkan agar dapat terhindar sepenuhnya dari potensi amarah mamanya.
“ Muter berapa jauh itu ?”
Lalu ada Bian. Yang juga menariknya jauh-jauh dari masalah ‘Aninda’ yang membuat kusut kepala. Pemuda yang mulutnya masih setengah berisi itu menyahut dengan begitu enteng dan sederhana. Matanya tidak lepas dari piring yang sudah duluan ia lahap dengan khidmat.
Bicara soal muter-muter. Waktu itu sampe tiga kali salah belok bukan ya ?
Ah, Aldo balik menjadi malu lagi karena bocah jahil itu.
“ Ya.. agak jauh sih.. tapi Saya senang bisa ketemu sama Aninda. Hehe....”
Kompak mereka bertiga tertawa renyah. Dan untuk kali pertama, Aldo tidak merasa terpaksa untuk ikut tertawa bersama orang lain. Ia justru merasa ikut terhanyut dalam arus dan tidak bisa menahan diri untuk menertawai dirinya sendiri. Menyebut nama Aninda pun rasanya tidak begitu berat dan pedih karenanya.
Makan siang Aldo sampai terasa kepalang sedap hari itu.
*******



cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang