Selama tinggal di Bandung dan mengarungi kehidupannya sebagai seorang pelajar, Aldo cukup percaya diri meyakinkan diri bahwa ialah satu-satunya pemuda yang dengan gamblang menyatakan isi hatinya terhadap sosok gebetan. Terlepas dari fakta bahwa berapa kali pun ia mencoba melesatkan panah asmara, maka sebanyak itu pula panahnya patah. Lagi dan lagi. Setidaknya dua kali.
Nyatanya Aldo tidak sendirian. Tidak harus meratapi nasibnya seorang diri. Tidak harus kesusahan menyusun amunisi dan strategi baru. Memberanikan diri berulang kali.
Seorang manusia bernama Bian ternyata punya nasib yang tidak jauh berbeda dengannya. Hanya satu derajat lebih ngenes dibandingkan dirinya.
“ Bagaimana kemarin ?! Berhasil nggak ?!”
Itu Alvaro. Di tengah jam istirahat penuh kedamaian yang hampir habis sesinya, si pemuda yang memasang dasi saja tidak pernah benar itu, dengan gaya sok flamboyan menghampiri Aldo. Menembus kerumunan siswa dan siswi yang memenuhi ruang kelas dengan tidak beraturan. Sementara Aldo sendiri masih sibuk termenung sambil mengenang penolakan frontal Aninda dua hari yang lalu. Keduanya tangannya terlipat dan bertautan, menjadi alas untuk menopang kepalanya sendiri. Kursi yang ia duduki setengah menjungkit, dua kaki depannya telak melayang di udara. Sedangkan sepasang kaki si pemuda masih terpatri dengan pasti di atas lantai.
“ Berhasil apanya ?” Tanya balik Aldo masih dengan mempertahankan posisinya yang nyaman.
Alvaro mendengus bosan. Satu tangannya masuk ke dalam saku. Kendati demikian, ia tetap memendam rasa penasaran dan antisipasi yang tinggi.
“ Kemarin kan kamu pergi ke rumah Aninda....”
Oh....yang itu ! Seketika suasana hati Aldo meluncur dahsyat karenanya. Apa bocah tengil itu buta ? Apakah ia tidak memerhatikan bagaimana Aninda terlihat semakin berjarak dengan Aldo. Bahkan, Aninda bisa dibilang secara sadar menjauhi Aldo di berbagai kesempatan.
Atau, apakah Alvaro memang sengaja hanya untuk memanaskan suasana saja ? Lagipula, siapa yang tidak gemar dengan drama khas roman picisan yang tebal akan konflik, dan wangi oleh rempah yang bernama desas-desus dan gunjing ? Pasti akan sangat seru nanti, Aldo pikir, jika Alvaro menyebarluaskan perihal patah hatinya Aldo dan penolakan Aninda bagaikan reporter yang mewarta dan bersiar kesana-kemari. Apalagi, di situasinya sekarang, Alvaro dengan tebal muka bertanya di tengah keramaian seperti ini. Tepat di momen-momen dimana para murid akan berbondong-bondong kembali ke kelas sebelum jam istirahat benar-benar habis. Pastinya semua manusia ini akan mendengar kenyataan hubungannya dengan Aninda.
Aldo akhirnya beranjak. Tangannya spontan maju ke depan untuk mendorong tubuhnya turut ke depan juga. Bersamaan dengan kursi yang tidak lagi beralih fungsi menjadi kursi goyang. Keempat kakinya sudah kembali menggesek lantai.
“ Ya begitu deh,” Ujarnya datar.
“ Begitu gimana ?” Alvaro tersenyum jahil. Dan dengan kejahilannya itu pula, ia menoleh tajam ke Aninda, lantas menyeru nama si gadis. “ EH NIN ? ALDO NGAPAIN SIH KEMAREN ITU ? NGASIH HADIAH YA ?”
Alvaro si anak kurang ajar !
Dari seberang kelas, di antara kerumunan perempuan yang sama-sama membulatkan mata dan menganga mulutnya, Aninda tertunduk tipis. Si gadis mendadak menjadi agak kaku, wajahnya sedikit memerah.
“ Iya.” Jawabnya singkat sekali.
“ Eeeh ngasih apa sih Dia ???”
“ Kasih tahu Niiin !!!”
“ Seriusan, Nin ?”
“ Boneka nggak siiih ?”
Aninda tersenyum tipis saja merespons mereka. “ Iya. Disimpen Abang.”
Sekelas langsung kompak bersorak menggoda Aninda dan Aldo. Aninda ikut tertawa malu. Aldo turut tertawa meringis.
Jujur saja, jika sebelumnya Aninda tidak menolaknya, mungkin ia tidak akan merasa kepalang bersedih ketika namanya dielu-elukan seperti saat ini. Sekelas hanya tahu dan percaya bahwa Aldo sudah semakin dekat dengan Aninda, atau mungkin lebih dari itu. Mereka pastinya tidak mengetahui perihal kenyataan hubungan Aninda dan dirinya.
Tapi kita temenan aja.
Panas rasanya mendengar rekan-rekan sekelasnya ini berbahagia atas hubungannya dengan Aninda. Atas hubungan seorang teman dengan teman.
Aldo sigap berdiri. Wajahnya yang semula ikut tertarik dan tertawa dibuat sedatar-datarnya selagi melangkah meninggalkan Alvaro yang khidmat sekali memerhatikan gerak-geriknya. Tidak dapat disangkal lagi si pemuda sudah tahu apa yang terjadi di antara Aldo dan Aninda.
Waktu istirahat memang tinggal lima menit lagi. Kalau di jadwal sih memang seperti itu. Tapi bukankah jadwal tersebut sangat sukar terealisasikan dengan seratus persen ? Lagian, Bian sang penabuh gendang butuh diingatkan secara langsung bahwasanya jam istirahat memang akan segera berakhir.
Saat ini, di otak Aldo yang masih mendidih itu, hanya sosok Bian yang terasa dingin. Penampakan Aninda di sudut entah berantah di benaknya bahkan tetap diliputi tabir kelabu. Semakin cepat ia melangkah, maka semakin tergeser Aninda di ruang kepalanya, tergusur ke dalam memori. Menyisakan perawakan Bian yang tengah duduk santai di kantin bersama dengan semangkuk bakso yang sudah kelewat kering kuahnya.
Dan....tinggal menaiki dua anak tangga remeh ini–
Bian rupanya juga tengah terdiam di bangku panjang di deretan meja pembeli. Wajahnya tertekuk, matanya kosong dan menerawang seolah-olah tengah menyusuri dimensi ke lima.
“ Yan !”
Bian berjingkat kaget mendengar namanya diserukan. Namun, tatkala menyadari dari siapa teriakan itu berasal, Bian refleks memasang wajah lega. Seakan-akan Aldo adalah satu-satunya suaka yang ia tunggu-tunggu.
“ Do !” Ia berdiri tegap. Mengambil langkah seribu untuk menghampiri Aldo yang hanya berjarak beberapa meter darinya. “ Do !”
Aneh. Pikir Aldo sambil bersusah payah untuk tidak menunjukkan ekspresi dengan meledek seperti ini ; “ Kenapa sih ? Duitnya ilang ?”. Jujur saja, Aldo sampai benar-benar tertegun melihat perilaku temannya hari ini.
“ Do, aku boleh minta tolong gak ?”
Bahkan, cara berbicaranya terdengar putus asa sekali.
“ Minta tolong apaan ?”
Si lawan bicara meneguk ludahnya sekali. Matanya melesat menatap lantai, terdiam di sana, sambil menahan senyum lebar yang justru terlihat selayaknya sedang meringis. Atas dasar insting, tangannya lantas bergerak mengusap tengkuk.
“ Jadi, aku teh lagi suka sama cewek,”
Wow. Ternyata pemuda yang begitu cinta dengan gendang itu bisa juga merasakan perasaan suka. Tak tanggung-tanggung, bahasa tubuhnya yang biasanya tidak menunjukkan ekspresi canggung itu–lagian siapa sih yang bakal menyangka bahwasanya seorang Bian yang tidak tahu waktu dan tempat akan terus bersemangat menabuh gendang itu juga bisa tersipu dan tertunduk lantaran rasa suka ?–sampai terlihat menciut dengan signifikan.
Matanya kembali naik. Menatap Aldo dengan penuh harap. “ Tapi da bisa apa. Minta tolong bilangin ke dia kalo aku suka sama dia.”
“ Bilangin ? Emang siapa gitu ?”
Bian langsung menoleh sebelum akhirnya melangkah mendekati pintu raksasa kantin yang selalu terbuka lebar. Aldo menurutinya dari belakang. Dan tepat di garis kusen pintu, kedua pemuda itu kompak berhenti dan memandang isi kantin yang sudah mulai ditinggal oleh para pembeli setianya. Hanya terdapat beberapa murid di dalamnya, yang terlanjur tenggelam dalam obrolan mereka masing-masing.
Menarik napas sejenak, Bian dengan sangat hati-hati mengulurkan tangannya. Dengan sikap mengepal kecuali untuk jari telunjuknya. Kawannya Aldo itu sangat mengantisipasi agar gestur tangannya tidak terlihat begitu kentara dan frontal.
Itu Nadia. Jika Aldo tidak salah ingat, lagi. Beberapa kunjungan sudah cukup membuat Aldo mengenali siapa-siapa saja sosok yang juga berkontribusi besar di dalam kehidupan Bian.
“ Oke, aku usahain.”
Melupakan kegagalannya dengan Aninda, Aldo langsung pasang raut mukanya yang percaya diri, menghampiri sosok yang diam-diam sudah menjelma menjadi pujaan hati Bian si penabuh gendang.
“ Nad,”
Awalnya Aldo cukup ragu mengucapkan nama si gadis. Takut-takut jika ternyata ‘Nadia’ bukanlah panggilan yang tepat bagi gadis yang satu itu. Untungnya, perempuan tersebut menengadah dan mengalihkan atensinya dari sekelompok siswi lain yang duduk menyebar di kiri dan kanannya.
“ Ya ?”
Kendati bingung dengan kedatangan Aldo yang terkesan sangat mendadak, ia tetap merespons.
Aldo menoleh cepat menghadap Bian yang masih setia berdiri di pintu. Diikuti oleh Nadia yang juga meniru ke mana Aldo menatap.
Lantas ia buru-buru balik menghadap Nadia. Dengan senyum tipisnya yang tiba-tiba merekah dengan cemerlang. Aldo menyatakan ini; “ Bian suka sama kamu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
cinta pertama aldo
Roman d'amourSetelah pindah ke sekolah baru, Aldo, seorang pemuda kelas 8 SMP, berusaha menyesuaikan diri. Di tengah kebingungan itu, ia bertemu Aninda, gadis ceria dan pintar yang membantunya beradaptasi. Persahabatan mereka berkembang, namun Aldo harus menghad...