Class Battles 03

148 33 1
                                    

Darah dari wajah Harum mengucur deras. Sampai-sampai tangan yang menutupi luka tersebut tak sanggup menahannya. Haris mendorong Wijaya karena menghalangi jalan. Buru-buru laki-laki itu membawa mamanya ke puskesmas terdekat.

Sebelum pergi, Haris menatap Wijaya untuk ikut bersama mereka. Pria itu pun menghela napas. Lalu, menurut meskipun rasanya agak terpaksa. Tidak ada rasa bersalah di hari Wijaya. Bahkan, ia berdoa secepatnya wanita di depannya ini pulang kepada sang Maha Kuasa. Jahat? Sudah melekat di jiwa Wijaya sejak pertama mereka bertemu.

Jika tidak paksaan dari keluarga. Mungkin pernikahan itu tak pernah terjadi. Sebetulnya, dari lubuk hati yang paling dalam. Wijaya masih mencintai almarhumah Laila. Harum ingin mengumpat ketika melihat wajah suaminya. Namun, ia tahan karena sadar dirinya hanyalah seorang istri. Harus sabar dan ikhlas menerima takdir.

Begitu terpukul Haris melihat wajah Harum diperban. Beruntungnya tidak sampai dijahit. Bertahun-tahun mereka menahan diri dari perlakuan kasar Wijaya. Namun, sebagai istri dan anak yang dilakukan hanya menurut dan bersabar. Harum berusaha dan berdoa semoga saja Wijaya berubah menjadi lebih baik.

"Mama," lirih Haris.

"Iya, Sayang. Kamu kenapa nangis?" Harum menyeka air mata Haris. "Mama tidak apa-apa, Sayang."

"Muka Mama pasti sakit banget," kata Haris terisak-isak. "Maafkan Haris, Ma."

"Bukan salah kamu, Sayang." Harum memeluk Haris begitu erat. Ia sangat menyayangi anak semata wayangnya. "Maafkan papa, ya, Nak. Papa sebenarnya sayang sama kita. Cuma caranya yang agak berbeda."

Haris terdiam lantas mengangguk.

"Tidak usah cengeng! Mau pulang nggak?" bentak Wijaya dari dalam mobil.

Haris melepaskan pelukannya pada sang mama. Lalu, menoleh Wijaya dengan tatapan dingin. Tidak seharusnya berkata seperti itu.

"Papa pulang saja! Haris sama Mama mau naik taksi," ujar Haris lantas mengandeng tangan Harum menjauh dari mobil Wijaya.

"Dasar istri dan anak kurang ajar," umpat Wijaya kemudian keluar. Lalu, membanting pintu mobil.

Wijaya melangkah cepat mengejar anak dan istrinya. Setelah berada dalam jangkauan, ia pun menarik Harum untuk ikut bersamanya.

"Lepasin Mama, Pa!" marah Haris.

"Diam kamu, Haris! Cepat sana kembali ke asrama!" seru Wijaya.

"Nggak mau! Haris nggak mau ke asmara! Haris mau sama Mama!" Haris bersikeras untuk tetap berada di samping Harum.

"Haris! Kalau kamu tidak menurut sama Papa. Luka yang kamu dan mamamu terima akan lebih dari ini!" ancam Wijaya.

Haris pun melepas genggaman tangannya dengan Harum. Jika diancam seperti itu ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena keselamatan mamanya lebih penting.

"Ma, maafin Haris," lirih Haris sambil membalas lambaian tangan Harum.

"Nak, mama akan selalu mengusahakan kebahagiaan untukmu. Bersabarlah sebentar, Haris," ucap Harum dalam hati.

*****

"Wih, ada Haris, nih," ujar Sekala yang baru masuk kamar.

"Dari mana aja kamu, Kal?" Juna bersedekap dada menatap tajam Sekala."Disuruh beli kuaci malah keluyuran nggak jelas."

"Maaf," balas Sekala cengengesan.

"Terus mana kuacinya?" Juna tidak melihat Sekala membawa kantong plastik.

"Cuma ada sebungkus." Sekala pun mengeluarkannya dari saku baju.

Class Battles Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang