Bab 4

446 103 90
                                    

“Pada akhirnya, kata maaf hanya menjadi bayangan di relung hati yang terluka, mengingatkan akan ketidakmampuan kita untuk mengubah takdir yang telah tertulis.”

___________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___________

Menerima kenyataan yang menyakitkan adalah hal yang berat untuk dijalankan. Ashana sudah berkali-kali mencoba, tetapi pikirannya tentang kematian kakaknya terus melekat. Dia masih percaya bahwa kakaknya akan kembali dan menemaninya. Ashana masih menunggu kakaknya pulang ke rumah. Tidak peduli berbagai macam kenyataan yang menamparnya.

Langkah kakinya berhenti pada sebuah kaca yang menampilkan sosok dirinya. Dia menatap dirinya lekat, wajahnya hampa tanpa senyuman, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Jangan sedih. Asha harus terus senyum biar kuat."

Begitu mengingat ucapan kakaknya, Ashana tersenyum. Perasaannya kosong. Rasanya tersenyum berat sekali. Setelah kematian kakaknya, bagaimana caranya tersenyum kembali? Sosok yang selalu menguatkannya telah tiada.

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Tanpa membalikkan badannya, Ashana sudah tahu siapa yang datang. Pantulan sosok itu terlihat di cermin. Ashana menunggu sampai dia bicara dan menyampaikan tujuannya.

“Maaf ....,” ucap Elara dengan nada lembut yang tidak seperti biasanya. Dia menatap putrinya dengan perasaan bersalah. Dia sadar bahwa kematian Kala adalah salahnya. Dia juga sadar akan perbuatan kejamnya kepada Ashana selama ini.

Satu kata yang saat ini Ashana tidak mau dengar sedikit pun. Untuk apa minta maaf kalau semuanya sudah terjadi? Toh, mamanya tidak akan bisa mengembalikan Kala ke sisinya jika permintaan maaf itu diterima. Selama ini Kala sudah sangat menderita, sampai akhirnya memilih untuk bunuh diri.

“Maaf karena kak Kala udah pergi?”

“Berikan mama kesempatan sekali lagi. Mama bayar semuanya pakai usaha untuk jadi ibu yang lebih baik untuk Asha. Sungguh, mama minta maaf.” Elara menyatukan kedua tangannya sebagai permintaan maaf kepada putrinya.

Ashana hanya menatapnya datar.

“Asha ....? Maafkan mama, tolong ....” Nada suaranya terdengar frustasi. Dia takut kalau putrinya tidak bisa memaafkannya. Dia tidak mau kehilangan putrinya lagi. Jangan sampai hubungan mereka makin memburuk.

“Kalau Mama pikir Mama yang paling hancur ... itu salah. Selama ini Mama memperlakukan aku dan kak Kala seperti monster.” Ashana menggertakkan giginya. “Kami manusia, punya rasa sakit, punya perasaan. Aku nerima aja karena aku pikir aku  memang pantas untuk dihukum. ‘Aku anak nakal, nilaiku jelek, memalukan, jadi Mama pantas menghukum aku.’ Itu yang aku pikirkan selama ini,” lirih Ashana. “Sakit. Aku terus menahannya selama ini. Mama juga nggak tahu, ‘kan, sakitnya kak Kala dan Asha seperti apa?”

The Mother's Epiphany [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang