Bab 21

249 23 0
                                    

“Ketika kita mengalami perpisahan, jangan melihatnya sebagai akhir, tapi sebagai awal dari lembar baru yang menanti.”

-Elara Callista-

-Elara Callista-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___________


Setelah kejadian kemarin, keadaan Elara memburuk. Bukan hanya karena penyakitnya, tetapi faktor pikiran juga menjadi dampak yang besar. Dia stress memikirkan tentang anak-anaknya yang sangat dia sayangi.

Hampir sebulan dia tidak bisa tidur nyenyak. Terkadang dia bermimpi buruk, atau penyakitnya kembali menyerang. Hal itu membuatnya makin sedih, karena dia ingin sekali penyakitnya bisa disembuhkan. Anak-anaknya juga sangat mengkhawatirkannya. Kala dan Asha merawatnya yang sedang sakit. Elara merasa bersalah karena merepotkan anak-anaknya. Padahal, mereka juga punya prioritas sekolah, tapi karena lebih mengutamakan Elara, mereka menggunakan waktu luangnya untuk mengurus Elara yang sedang sakit.

Sampai bosan karena Elara terus-menerus pergi ke rumah sakit, untuk cuci darah. Biasanya dia membuat alasan pada anak-anaknya kalau dia ingin konsultasi dengan dokter atau cek kondisinya. Elara masih tidak memberitahu soal penyakitnya. Bagaimanapun, dia merasa lebih baik menyembunyikannya.

Semenjak Elara tahu bahwa dia dinyatakan terkena gagal ginjal stadium lima, semangatnya menghilang. Dia selalu berbaring di kasurnya, karena tubuhnya terasa lemas. Elara masih memikirkan banyak hal. Isi kepalanya berantakan, kacau, sama seperti hatinya yang terus gelisah tanpa sebab.

Dia terus melamun. Suasana kamar menjadi hening karenanya. Padahal, dari tadi Asha dan Kala sedang berada di kamarnya. Asha menceritakan tentang keseruannya di sekolah. Niatnya bercerita agar bisa menghibur mamanya, tapi wanita itu sepertinya larut dalam pikirannya sendiri alih-alih mendengarkan.

“Mama? Mama kok diem aja?” Lamunannya membuyar mendengar pertanyaan Asha.

“Ah, maaf ... mama gak fokus.”

“Mama semalam nggak tidur, ya?” tanya Asha dengan raut wajah khawatir. Pandangannya tidak lepas pada kantong hitam di bawah mata mamanya.

“Mama tidurlah. Memangnya kenapa? Semalam Asha gak bisa tidur? Asha ketakutan semalam?” Ada tawa kecil pada kalimat terakhir.

Asha menggeleng cepat. “Asha tidur, kok. Asha berani tidur sendirian. ‘Kan, Asha anak hebat.” Dia tersenyum membanggakan dirinya.

Tawa Elara terdengar. Merubah suasana menjadi lebih hangat. "Iya, anak mama memang hebat."

“Terus, sekarang Asha sama Kala gak ada kegiatan? Tugas dari sekolah misalnya?” tanyanya.

Dua-duanya menggeleng. “Aku udah kerjain semua tugas lebih awal.” Kala yang lebih dulu menjawab.

“Bu guru nggak kasih Asha PR.” Giliran si bungsu yang menjawab.

“Kalian gak bosan di kamar mama terus?” Pandangannya menatap ke arah Asha dan Kala bergantian.

The Mother's Epiphany [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang