Bab 6

470 120 126
                                    

"Rumah sejati bukanlah bangunan, tapi orang yang membuatmu merasa aman dan dicintai. Dan kini, rumahku telah tiada."
-Calia Ashana-

" -Calia Ashana-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__________

Seikat bunga Lily diletakkan di atas makam. Petak keramik membingkai makam itu dengan apik, memisahkan makam gadis itu dari rerumputan liar yang tumbuh di sekitarnya.

Setiap dia memandang ukiran nama Kalanie Iryssa di atas batu nisannya, hanya ada perih yang mengiris hatinya. Sudah lama sosoknya pergi, tetapi namanya masih terus diingat. Kematiannya memberikan pengaruh besar dalam hidupnya.

Pipinya memanas, menahan air mata yang sudah hampir tumpah, sekaligus menahan isak tangis agar tak merembes saat dia tengah memandangi makam kakak yang dicintainya.

"Kakak janji gak akan ninggalin adik kakak yang manis ini."

"Bohong ... Kakak bohongin Asha ....," gumam Asha dengan suara yang bergetar.

Kakaknya berjanji tidak akan meninggalkan dirinya, ternyata janji itu telah dia langgar. Kala pergi mencari kebebasan—bunuh diri.

Asha berdiri membeku, menatap makam di hadapannya dengan air mata yang terus menetes. Tangannya terkepal kuat.

Benci.

Dia benci dengan kehidupannya.

Dia benci dengan mamanya yang membuat mereka berdua tersiksa.

Dia benci dengan dirinya sendiri karena tak menyadari luka kakaknya.

Dan sekarang, dia benci kenyataan bahwa kakaknya telah pergi meninggalkannya sendirian.

Kenapa ... kenapa dia harus sendirian? Kenapa tidak pernah ada orang lain yang menjadi rumahnya selain kakaknya? Kalau rumahnya telah pergi, ke mana dia harus pulang saat dirinya tidak kuat lagi menjalani semuanya?

Langit malam tampak suram dan sunyi. Awan hitam menyelimuti bulan dan bintang-bintang, membuat malam terasa gelap gulita. Angin malam bertiup sepoi-sepoi, menciptakan suasana hampa dan sepi di sekitar. Lampu jalan yang redup hanya menyoroti bayang-bayang yang menakutkan di jalanan yang lengang.

"Tuhan, saya hanya mau kakak saya kembali. Kenapa saya harus menghadapi kehilangan seperti ini?" Asha mendongakkan kepala, menatap gelapnya langit malam dengan lelehan air mata yang bersatu dengan tetesan hujan.

Hujan yang tadinya gerimis, kini turun dengan deras. Berjam-jam dia berdiam diri di bawah guyuran hujan. Dia tidak peduli jika itu akan memperburuk kesehatannya. Dia hanya ingin melepaskan semua sesak di dadanya.

The Mother's Epiphany [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang