Bab 9

358 71 19
                                    

“Keajaiban itu datang dan memberiku secercah harapan.”
-Elara Callista-

” -Elara Callista-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___________


Tak terasa sudah sebulan semenjak kepergian Kala dan Asha. Elara masih tidak bisa melupakan kesalahannya begitu saja. Perasaan benci terhadap diri sendiri makin menumpuk seiring berjalannya waktu. Dia tidak tahu, bagaimana caranya melepaskan? Bagaimana caranya memaafkan perbuatan buruknya? Bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu?

Semuanya terdengar mudah, tapi jauh lebih sulit untuk dilakukan. Dia sudah muak terus membenci dirinya. Dia lelah dan tidak punya tujuan hidup lagi. Dia juga kesepian karena tidak ada siapa pun di sisinya sekarang.

Pandangannya tertuju ke lukisan miliknya. Setelah dihadapi kehilangan, hanya melukis satu-satunya cara menyampaikan emosi negatifnya.  Seharusnya waktu itu dia tidak menghancurkan lukisan Kala, karena dia tahu betul rasa sakit saat lukisannya tidak diakui. Elara mengambil cutter, lalu merobek lukisannya itu.

Napasnya memburu. Dia berusaha mengontrol napasnya. Pemikiran untuk menyakiti diri mulai muncul, entah sejak kapan. Dia melukis untuk menahan diri agar tidak menyakiti diri sendiri. Dia melempar cutter itu ke sembarang arah. Tubuhnya membeku saat melihat bayangan Kala. Ilusinya muncul lagi.
***

Langit cerah seperti kanvas putih yang diselimuti warna biru. Tidak ada gumpalan awan yang menghalangi cahaya matahari yang terang dan hangat menyinari bumi. Warna biru langit yang intens menawarkan kontras yang indah dengan warna-warna alam di sekitarnya.

Elara berjalan dengan hati-hati di antara gang-gang sempit yang tersembunyi. Langit yang cerah memberikan sedikit bantuan dalam menemukan arah. Namun, jalan-jalan yang sempit dan berliku membuatnya bingung.

Langkahnya berhenti ketika ia mencapai persimpangan, tidak yakin harus berbelok ke mana. Dia menatap cemas, mencari-cari petunjuk di sekitarnya, tetapi gang-gang kecil itu terlihat serupa dan tidak memberikan petunjuk yang jelas.

Dia mendengar bunyi lonceng yang berdenting dengan ritme yang selaras. Dia merasa seperti dipanggil oleh suara tersebut, mengundangnya untuk pergi ke asal suara. Dengan langkah yang cepat, dia mengikuti suara itu, melewati gang-gang sempit dan jalan-jalan yang sepi.

Saat dia mendekati sumber suara, dia menemukan sebuah kafe dengan papan nama Epiphany Cafe yang terpajang. Tangannya mendorong pintu kafe, hingga terbuka lebar.

“Welcome to Epiphany Cafe.” Seorang lelaki—barista kafe—menyapa dengan sopan. Senyum tersungging di wajahnya.

Dinding putih bersih yang menyala dipercantik dengan sentuhan aksen kayu alami, menciptakan kontras yang memikat. Kursi-kursi yang nyaman hingga meja-meja yang elegan, menambah kesan kafe ini.

Di tengah-tengah ruangan, lampu gantung yang misterius menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Suara lembut dari alunan musik, menciptakan latar belakang yang menyenangkan dan menenangkan.

The Mother's Epiphany [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang