Jika ada pengetikan, tanda baca, atau kata yang tidak sesuai bisa di koreksi. Saya nulis ini dalam keadaan agak nge fly, haha. Jadi agak ngawur dan singkat aja.
Enjoy!
Jennie POV
Pacarku memang dekat
Lima langkah dari rumah
Tak perlu kirim surat
SMS juga gak usah
Aku yang sedang menyapu halaman rumah hanya menggelengkan kepala mendengar musik yang terputar dari rumah tetangga yang tepat disebelah rumahku.
Biasanya dia memutar musik dangdut acak, namun seminggu ini dia konsisten memutar lagu yang sama.
Jika kalian mengira tetangga ku itu seorang bapak bapak atau seorang ibu ibu, kalian salah. Tetangga ku itu seorang wanita berusia dua puluh dua. Cantik, tinggi, menawan. Hanya saja selera musiknya memang agak lain.
Apa aku terganggu? Ya, pada awalnya aku sangat terganggu. Aku bahkan setiap hari mengomeli nya karena musiknya itu. Namun semenjak seminggu lalu, aku tidak merasa terganggu lagi.
Karena sejak seminggu yang lalu, dia resmi menjadi pacarku.
Semenjak hari pertama ia menjadi tetangga ku, dia gencar sekali mendekatiku. Dia selalu menggoda ku setiap kali ada kesempatan. Dia sangat menyebalkan, mulut manisnya itu membuatku gila.
Musik yang terputar tiba tiba berhenti. Oh, apakah dia sudah bosan mendengarkan lagu itu?
Suara pintu dibuka membuatku langsung menoleh, dia ada disana, berdiri di ambang pintu, melihatku dengan tangan mencengkram dadanya.
Huft, dia mulai lagi.
"Tuhan, sungguh pemurahnya engkau. Di pagi hari yang cerah ini, hamba telah diperlihatkan sesosok bidadari cantik tengah menyapu halaman. Ah... Tolong, tawan seluruh hati dan jiwa ku ini, nona."
Dia lalu turun dan berjalan menghampiri ku. Hatiku berdebar melihat sosoknya yang begitu menawan. Dia mulai bernyanyi mengitari ku. "Aku mau jadi bulu matamu, pelindung dari cahaya dan debu, aku mau jadi pemerah bibirmu, yang menambah, kecantikanmu..." Dia menyentuh lembut bibirku, aku langsung membuka mulutku dan menggigit jarinya yang nakal. Dia terpekik kesakitan dan lekas menarik jarinya.
"Ih, sayang, sakit tau." Dia kini merengek. Aku tertawa, siapa suruh jarinya itu begitu nakal menggodaku.
"Rasain!" Aku menjulurkan lidah mengejeknya. Dia hanya membalas ku dengan senyumnya yang manis sekaligus menyebalkan.
"Sayang, sayang! Mau dibantu gak nyapu nya?" Tanya nya semangat. Aku menggeleng mantap, "gak usah. Kamu balik lagi aja ke rumahmu yang full dangdut itu," kataku. Dia tertawa terbahak bahak.
"Ih, sayang. Gitu gitu juga nanti bakal jadi rumahmu, loh." Enteng sekali dia berucap, baru berpacaran seminggu sudah mengajakku berumah tangga rupanya.
"Aku gak mau tinggal disitu, rumah kamu itu aura biduannya kuat banget." Candaku. Dia lagi lagi tertawa.
"Ya kan nanti aku mau jadiin kamu biduan pribadi kalo nikah, hehe." Aku lantas menampar mulutnya yang sembarang itu, hey! Aku ini wanita elegant dengan selera musik estetik. Ah, kenapa pula aku berpacaran dengan jamet selera dangdut koplo serta DJ remix jedag jedug ini? Untung dia baik, humoris, cantik, lagi royal. Kalau tidak? Ck ck ck.
"Aku duduk disitu aja deh, aku mau liatin bidadari nyapu, kamu gak usah ya larang larang aku?! Pokoknya, pagi ini, aku mau liat bidadari nyapu halaman!" ujarnya dengan nada marah yang dibuat buat. Padahal aku tidak melarang, dasar dramatis.
Dia lalu duduk di ayunan yang tergantung dibawah pohon mangga milik ayahku. Dia mengayunkan kakinya seperti anak kecil, dia lucu jika begitu.
Aku berusaha mengabaikannya dan kembali melanjutkan kegiatan ku.
"Jennie... Hanyalah diriku, yang selalu... Mencintaimu..."
"Jennie... Kasihku, Jennie... Hoooo Jennie...."
Ya, dia mulai bernyanyi lagi. Aku sekuat mungkin mengabaikannya meski hatiku berteriak ingin menciumnya karena dia sangat manis, sial!
Yaa... Meskipun dengan nyanyian dangdut itu, jika itu adalah pacarku yang menyanyikan, aku tidak masalah, hehe. Lagipula suara pacarku cukup bagus dan enak didengar.
Oh, apakah aku harus mendaftarkannya ke kontes dangdut? Siapa tahu dia menang, hahahaha.
Aku sudah selesai menyapu seluruh halaman dan merenggangkan otot ototku sebentar lalu menghampiri pacarku yang sudah tidak lagi bernyanyi, dia sekarang asik bermain ayunan seperti anak kecil.
Melihatku yang berjalan menghampirinya, dia mengayunkan ayunan dengan kencang lalu melompat ke hadapanku.
"Ihh, sayang. Nanti jatoh loh, ish." Dia hanya menyengir tanpa rasa bersalah padaku.
"Calon mertua ku lagi gak ada ya dirumah?" Tanyanya dengan seringai nakal.
Aku mencubit kedua belah pipinya gemas. "Emang kenapa kalo ayah sama ibu gak ada? Kamu mau ngapain?"
"Ya... Gak ngapa-ngapain. Ngerasa bebas aja bisa berduaan sama kamu," jawabnya.
Inilah keuntungan punya pacar tetangga sendiri. Bisa bertemu kapan saja tanpa harus memakan waktu lama. Jika rindu, tinggal pergi ke rumah sebelah, ketuk pintu dan bilang 'halo sayang, aku kangen'
Jika salah satu ada yang merajuk, tinggal pergi ke rumah sebelah, ketuk pintu dan bilang 'sayang, jangan ngambek lagi dong, aku minta maaf.'
Kuota irit, ongkos jalan irit, akses mudah dan sangat terjangkau!
Maka dari itu, aku sangat merekomendasikan untuk berpacaran dengan tetangga sendiri. Tapi, jika tetangga mu tidak seperti pacarku ini, sih... Sebaiknya pikir pikir dulu.
"Waduh, pagi pagi udah gangguin anak orang aja lu Lis. Gue aduin ya ke om Wahyu," ucap Sutrisna yang lewat didepan kami. Pemuda itu seringkali berusaha mendekatiku sama seperti pacarku ini. Bedanya aku tidak tertarik menanggapinya.
"Idih, sok sok an si boti. Adu in aja sono, gue gak takut." Pacarku dengan berani menantang Sutrisna. Meskipun pacarku ini perempuan, dia sangat berani dan lebih gentle dari pria, lho.
"Jauh jauh lo dari Jennie, dasar lesbi!" Sutrisna berteriak. Nampaknya dia sangat putus asa, terlihat dari wajahnya.
Pacarku menertawakannya, "ya emang gue lesbi, buktinya gue pacaran sama Jennie," katanya penuh kesombongan.
Sutrisna menatap tak percaya padaku, lalu terkekeh. "Jen, sebaiknya lo jauhin dia, dia udah terlalu halu."
Aku mengerutkan keningku. "Hah? Masa gue disuruh jauhin pacar sendiri sih? Aneh lo, Tris."
Rahang pemuda itu jatuh, lalu menutup mulutnya. Dia nampaknya sangat syok. Kasihan sekali kau, Sutrisna. Terkadang kenyataan memang pahit.
Dia lalu melangkah mundur dan meninggalkan kami. Pacarku tertawa puas menertawakannya.
"Udah, ah. Kasian tau," ucapku. Dia menghentikan tawanya, menatapku tajam. "Kamu kasian sama dia? Yaudah sama dia aja sana."
Kini giliran aku yang menertawakannya yang merajuk. "Aku bercanda aja, sayang. Udah ah, ngapain juga bahas Sutrisna. Aku mau masuk ke rumah, mau bikin jus. Kamu mau ikut gak?" Dia langsung menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah ku masuk kedalam rumah.
"Yey yey yey. Dibikinin jus sama ayang Jennie, Sutrisna boti mana bisa? Hahahaha. Nangis dah lu sana di kamar. Gue minum jus buatan ayang Jennie, lu minum dah tuh air mata lu sendiri, hahahaha." Pacarku mengoceh dengan riangnya. Aku hanya membiarkannya.
Ah, aku lupa satu hal. Sedari tadi aku menceritakannya kekasihku tanpa menyebutkan namanya.
Nama pacarku Alisha Diandra, biasa dipanggil Lisa. Dia lebih tinggi dariku, punya poni dengan paras cantiknya. Hampir tiada celah dalam dirinya kecuali selera musiknya yang agak lain itu.
Ada yang bisa nebak siapa sosok Sutrisna?🤣 Kalo benar saya usahakan untuk part tambahan.
Bye,
-Jean🐟
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita [JenLisa Fanfiction] One Shoot
Cerita PendekGxG Area!! Mengandung unsur LGBT, mohon bijak dalam memilih bacaan. Kumpulan cerita pendek JenLisa.