Eight.

417 54 14
                                    

Happy reading.

'Buka seragamnya.'

'Rekam saja.'

'Hentikan! Kumohon, hentikan!'

Tapi, dua orang itu tak mendengarkan permintaan Prem. Hari itu, Prem hampir telanjang dan direkam oleh dua pria dengan seragam Khatiran.

'Jika kau tidak diam, aku akan mempostingnya!

'hahaha, lihat tubuhnya.'

Prem menangis ketakutan, memohon seribu kalipun tak didengar. Ia merasa sudah hancur sejak saat itu, dia pikir sudah sangat diam untuk tidak diganggu mereka, tapi rupanya diamnya dia adalah daya tarik untuk diganggu oleh mereka.

Prem melangkahkan kakinya masuk ke dalam gudang, ia tatap ruangan yang sempit oleh barang-barang tak terpakai itu, sembari membayangkan hari dimana dia mengunci Khaotung disana.
Rasanya belum cukup, bahkan dia merasa kecewa pada Pawin karena gagal melukai Khaotung dengan pisau lipat pemberiannya.
Khaotung harus mati jika memang menolak untuk pergi dari Kirin.

Prem sedang menunggu Khaotung dan First saat ini, ia meminta First membawa Khaotung ke gudang di jam  istirahat.
Seharusnya, First dan Khaotung sudah dalam perjalanan saat ini karena bel berbunyi sudah cukup lama.
Prem adalah gadis biasa, yang sebelumnya berada di Khatiran dan berada di kelas yang sama dengan Khaotung. Ia adalah gadis miskin yang beruntung mendapat beasiswa karena sangat pintar.
Hidupnya sudah hampir sempurna hingga akhirnya Khaotung dan gengnya tiba-tiba saja datang untuk menghancurkannya, dan kini? Dia telah hancur.

Prem menolehkan kepalanya pada bayangan dua pria yang sedang berjalan menuju pabrik.
Prem lalu mengikuti langkah kaki tersebut dengan tatapan marahnya.
Sejak hari itu, banyak sekali hal buruk yang menimpanya, namun tak ada seorangpun yang peduli dan Khaotung yang tiba-tiba saja melepaskannya dari daftar target Bully pun tak membuatnya merasa lebih baik.

Ceklek.

Kedatangan Khaotung ke Kirin adalah awal dari lukanya yang terbuka kembali.

"Kau sudah disini."

Prem tak merespon kalimat First, ia lebih sibuk menatap Khaotung yang kini terlihat sama sekali tak mengingatnya.
Mungkin karena Khaotung tidak menargetkannya terlalu lama, tapi tetap saja, itu membekas pada Prem seumur hidupnya.

"Siapa kau?" Tanya Khaotung, masih dengan intonasi suaranya yang penuh kesombongan.

"...."

"Aku tak pernah melihatmu di Khatiran, apa yang pernah aku lakukan padamu?"

First memperhatikan Prem, yang hanya diam menatap Khaotung.

"Apa kau suruhan Pawin?"

Prem lalu melangkahkan kakinya, mendekati Khaotung dengan tatapannya yang terhalang oleh rambut panjangnya.
Khaotung menoleh sekilas pada First, merasa aneh dengan tingkah laku Prem yang sedikit menakutinya.

"Katakan sesuatu," ucap Khaotung lagi.

"Itu tak mengejutkan, terlalu banyak orang yang kau hancurkan hidupnya untuk kesenangan sesaat."

"Apa?" Khaotung kemudian mengingat-ngingat wajah Prem saat ini.
Samar-samar dia melihat bayang-bayang seorang gadis yang memohon sembari menangis."

"Tidak mungkin-"

"Aku tak tahu siapa Jinam, aku tidak tahu kenapa dia memilih mati di sekolah."

Ini Prem, Khaotung mengingatnya sekarang.

"Tapi, aku hanya ingin kau menghilang dari pandanganku. Jika kau tidak mau mati seperti Jinam, bisakah kau pergi dari sini?"

Khaotung terdiam, ia tak pernah melihat tatapan marah yang penuh oleh airmata seperti ini dari orang lain.
Bahkan Pawin pun dia tak merasakan  apapun, tapi Prem terlihat sangat frustasi saat ini, dan itu cukup mengganggunya.

Be Nice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang