64 | ibu iis jamilah prawirodiprodjo selalu benar

11.9K 1.2K 24
                                    




64 | ibu iis jamilah prawirodiprodjo selalu benar



"NYESEL nggak sih, udah ngeluarin ratusan juta buat ke St Lucia, padahal nggak jauh beda sama Bali?" Iis menggumam saat sore harinya dia dan Gusti sudah ngadem di plunge pool mereka di Apurva, ngerumpi sambil melihat laut. Agak pasrah perut buncitnya dielus-elus di dalam air. Pasrah juga bahu dan lehernya yang akhir-akhir ini terasa makin tebal berlemak itu diendus-endus dan dicium-cium oleh suaminya.

"Nggak dong. Kalau waktu itu nggak jadi pergi, mungkin sampai sekarang masih penasaran pengen ke sana." Gusti yang tengah memeluk istrinya dari belakang menyahut sombong. "Lagian, nggak jauh beda gimana, sih? Wong Bali macetnya nggak karuan gini. Terus, tiap lima langkah ketemu sama orang yang dikenal mulu. St Lucia kemarin sih bakal perfect seandainya Onta dkk nggak nyusul kita ke sana."

Mengabaikan kalimat-kalimat penjelas suaminya, Iis berdecih sinis. "Mahal banget harga buat ngobatin penasaran Bapak, ya?"

Gemas, Gusti tertawa heboh, lalu menggigit telinga istrinya.

Iis ini belum melahirkan tapi kelakuannya sudah kayak ibu-ibu sejati. Hobi mengungkit-ungkit pemborosan yang dilakukan suami—sekalipun tujuan pemborosannya adalah untuk nyenengin dia juga. Beda kalau Gusti ngasih mentahannya ke dia, kemudian dia sendiri yang membayarkan billnya. Padahal, mau Gusti atau Iis yang bayar, nominal yang dikeluarkan juga sama aja! Sama-sama borosnya!

"Anyway, receh banget nggak sih, kerjaan kita gini-gini doang tiap weekend?" Pria itu mendadak merenung, membuat sang istri yang lagi nggak mau diajak mikir serius itu jadi menoleh dan memelototkan mata.

"Jangan mulai deh Gus. Ini tinggal menghitung bulan sebelum anak kamu brojol. Setelah itu, rasain deh tuh, nggak sempet ngerasa receh begini lagi. Lagian, enak banget kamu bilang hidupku receh? Kamu aja kali, aku mah enggak! Bahkan weekend gini, saat kamu bisa santai-santai, badanku masih harus terus kerja keras mencukupi nutrisi buat anak kamu dalem perut!"

Gusti menggigit pelan daun telinga istrinya sekali lagi. "Ya, ya, ya. Kalau yang satu itu, memang cuma ibu yang bisa."

Iis menggeliat karena geli. Dia berhasil menjauh dan sudah akan menimpali lagi ketika mendadak perutnya keroncongan—untuk kesekian kalinya dalam beberapa jam terakhir. "Udah, yuk, Gus. Laper lagi. Takut masuk angin juga lama-lama berendam gini."

"Astaga, Buuu ...." Gusti menggeleng-gelengkan kepala, takjub. "Kasihan yang bolak-balik nganter makanan ke sini."

"Dih. Yang nganter malah seneng dapet tip."

Gusti menghela napas panjang. "Emang mau order apaan lagi? Udah mau maghrib gini, nanggung banget, sebentar lagi dinner."

"Apa, kek. Cemilan. Buah juga nggak apa-apa. Nunggu dinner, aku keburu pingsan."

Lebay.

Gusti mendesah, tapi nggak bisa nolak.

Kalau Iis bilang sudah lapar lagi, masa dia mau nggak percaya? Kan bukan dia yang ngerasain.

"Ibunya makan mulu. Bapaknya mau bulking juga, lah." Gusti bersiap keluar dari pool.

Tapi, belum sempat dia beranjak, Iis sudah duluan menahan tangannya, kemudian menusuk-nusuk perutnya pakai telunjuk dengan bertubi-tubi, sampai Gusti berteriak karena geli. "Awas kalau males ngegym. Pokoknya Bapak nggak boleh ikut buncit. Nanti Ibu eneg ngelihatnya. Emangnya, yang makhluk visual laki doang? Ibu-ibu juga, kali!"

Dan kemudian, meninggalkan Gusti yang masih mengaduh-aduh, wanita itu keluar duluan. Cuek-cuek saja mengeringkan badan di depan suami, lalu melenggang masuk ke dalam kamar. Sok seksi.

Gusti menggerutu, "Enam bulan lalu aja, malu-malu banget. Sekarang, dua hari ke Bali nggak bawa baju."

"Oh, jelas. Waktu itu masih perawan. Kalau ada buluk-buluknya, itu salahku karena nggak bisa ngerawat diri. Sekarang kan, kalau perut buncit, banyak stretch mark, ada yang bisa disalahin." Dan kemudian Iis memperlirih suaranya. "Bapak sih, pull out gitu aja nggak becus."

Gusti melotot, merasa ditantang banget. Jadilah segera dia menyusul keluar dari kolam, berjalan cepat menghampiri istrinya, menarik handuk yang dipakai wanita itu, dan menjatuhkan istrinya ke tempat tidur. "Bilang apa tadi?"

"Duuuh, basah, Guuus!"

"Bilang apa tadi?"

"Pull out gitu aja nggak becus."

"Bilang sekali lagi."

Iis tidak bisa menjawab karena pinggangnya digelitik. Gelinya berlipat-lipat kali lebih menyiksa karena dia nggak bisa kabur ke mana-mana.

Beberapa saat kemudian, sambil terengah-engah menghalau tangan sang suami, dia mengingatkan, "Bapak, inget, nggak boleh barbar, okay?"

Belum sempat mulut Iis terkatup, bibirnya sudah keburu disambar duluan.

Damn it. Agaknya, bobo nyenyak Saad dalam perut harus terganggu lagi sore ini.



... to be continued



WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang