1 | prahara design undangan

88.7K 6.7K 189
                                    




1 | prahara design undangan




"GUS."

Iis menaikkan kacamata ke atas kepala. Mengalihkan pandangan dari layar X1 Carbon milik Gusti yang berada di atas pangkuannya. Menoel paha Gusti, yang lagi ngelingker seperti ulat bulu di sofabed di sebelahnya itu, dengan jempol kaki.

Yang ditoel, pria yang sejak dua bulan terakhir mendadak naik kasta dari sahabat menjadi calon suami, masih lanjut ngorok. Tapi mohon maklum. Doi baru pulang kerja beberapa jam lalu, dan ini adalah hari Jumat, di mana lelah dan jenuh sudah membuncah di kepala, khususon bagi para budak korporat macam Gusti. Yang kalau masih mau makan enak di akhir bulan, kudu ikhlas kerja delapan puluh jam per minggu.

"Gus!" Suara Iis naik satu oktaf, membuat yang dipanggil akhirnya berdehem pelan, meski belum juga tergerak untuk membuka mata.

Tadinya, selesai kerja, Gusti mau langsung pulang karena sudah mengantuk parah. Tapi mendadak ingat, sekarang dia sudah punya tunangan yang harus diapeli.

Yeah, well, cuma Iis doang, sih. Yang sudah sepuluh tahun lebih kenal dirinya dan jadi teman baik—kalau cewek itu mau mengakui—yang biarpun kalau nggak disamper atau diajak kencan bakal maklum semaklum-maklumnya. Tapi masalahnya, mereka sama sekali belum sempat ngomongin konsep pernikahan meski hari H sudah menghitung bulan, dan orang tua dari kedua belah pihak sudah riweuh bertanya-tanya.

Undangan kapan disebar? Udah dapet venue apa belum? Jadinya pakai adat Sunda apa Jawa? Dekornya bagus, kan? Menunya gimana? Pengisi acara, aman? Kain batik sama brukat buat dibagi-bagiin ke keluarga kapan dikasih? Dan lain-lain.

Jadi, meski malam ini dia sudah sangat lelah, kayaknya daripada pulang, mending dia nginep saja di apartemen Iis supaya bisa kerja rodi selama weekend—berhubung mereka berdua sudah sepakat nggak akan pakai WO biar hemat, sekalipun WO-nya itu paling mentok ya pakai Relevent juga, usaha kecil-kecilan milik mereka sendiri.

"Kalau nggak mau melek sekarang, gue tinggal bobo, nih!"

Diancam begitu, akhirnya Gusti terpaksa melek dengan susah payah.

"Apa sih, Is?" tanyanya dengan tampang sok merana. "Tega banget, laki abis banting tulang nyari nafkah diteriak-teriakin gitu. Manggilnya yang alusan dikit, kek. Istri yang berbakti jaminannya surga, loh!"

Iis mendengus pelan dan buang muka—paling males kalau sudah diingatkan tentang urusan berbakti-berbaktian gini. "Katanya mau lihat design undangan? Malah molor!"

"Ya kalau pakai jasa Mauka kayak klien lo biasanya, nggak perlu gue lihat, auto ACC, sih."

"Ck. Kemarin bilangnya Mauka kemahalan!"

"Ya pilih yang paling simple, Nduk. Yang paling murah."

"Ck. Lihat dulu napa!"

Iis mencubit lengan Gusti keras-keras, membuat sang pria tidak punya pilihan lain kecuali beringsut mendekat, menggeser laptopnya dari paha sang calon istri, supaya terlihat dari tempat di mana kepalanya berada.

"What is this?"

Alis Gusti bertaut penuh keheranan.

"Design undangan kita."

Iis menjawab sama herannya, seolah-olah pertanyaan Gusti tersebut sangat tolol.

"Mauka bikin kayak gini?" Gusti bertanya lagi.

Iis menggeleng. "Bukan bikinan Mauka. Gue design sendiri."

Sontak sepasang mata Gusti membulat sempurna oleh takjub.

"Astagfirullah haladzim Iis Jamilah, calon istriku yang hemat dan bersahaja. Nggak apa-apa deh kita pakai jasa Mauka aja. Nanti kalau budget-nya defisit, gue banting tulang lagi buat nambal."

"Kenapa? Jelek?" Jelas Iis langsung pasang wajah tersinggung, merasa kerja kerasnya sejak sore tadi tidak mendapat apresiasi.

Segera Gusti sadar telah salah bicara. Bangkit duduk dan berusaha membujuk. "Ya nggak gitu juga. Bagus sih, sebenernya."

"Tapi?"

Pria itu meringis. "Kurang pantas."

Iis melotot. "Udah lah, lo urus sendiri aja kalau nggak mau pakai jasa Relevent. Pusing gue. Di kantor ngurus nikahan orang, di rumah masih disuruh ngurus nikahan sendiri."

Gusti langsung lemas. Buru-buru mengeluarkan ponsel untuk mengecek saldo rekening.

"Kita perbaiki lagi besok pagi, gimana? Gue udah lama nggak main Corel ama Photoshop, sih. Tapi semoga bisa. Sayang atuh, duit segitu mau dikasih ke Relevent. Mending buat beli motor, biar elo nggak perlu ngojek tiap hari."

"Dikasih ke Relevent juga ntar akhir tahun balik ke elo lagi!"

Tapi Gusti tidak berniat mengubah pendirian.

Apaan, tahun kemarin aja dividen nggak dibagiin demi ekspansi! 



... to be continued


PS. Voucher untuk pembaca prolog dan chapter 1 akan diumumin hari Rabu saat update chapter 2.

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang