8 | nggak lagi punya wibawa

41.6K 4.9K 188
                                    

Harusnya ambil 1 orang, tapi karena ada 3 yang komennya banyak di updaten kamis lalu, jadi masing-masing dapet voucher 2k yaah: giftme5ndaaaaa_9ciVelan22, cek pesan.




8 | nggak lagi punya wibawa



"MORNING, Sayang."

Iis merasakan kasurnya bergerak saat pinggirannya diduduki, setelah beberapa saat sebelumnya terdengar pintu kamarnya terbuka dan tercium bau shampoo.

Iis sebenarnya sudah sempat bangun beberapa saat yang lalu untuk mematikan alarm, lalu tidur lagi karena masih kepagian. Tapi tidak cukup lelap untuk tidak bisa merasakan kehadiran Gusti di kamarnya.

Gusti semalam tidur di sofa bed ruang tamu, of course, nggak perlu ditanya—seperti setiap saat pria itu menginap di tempatnya.

Meski dulu saat masih kuliah bukan nggak pernah juga Iis tidur tumpuk-tumpukan kayak ikan pindang di satu ruangan yang sama dengan Gusti dan puluhan orang lain, cuma beralas karpet, di sekretariat BEM, saat sibuk kepanitiaan dan nggak sempat pulang. Tapi jika harus berduaan—biarpun statusnya otw suami-istri—dia akan pilih aman saja. Bukan cuma pisah ranjang, tapi pisah ruangan.

Kalau di situasi normal sih, jelas mereka berdua nggak perlu khawatir. But who knows? Malem-malem, sunyi, dingin, pas belum lelap-lelap amat, orang bisa memikirkan apa pun yang aneh-aneh, dan yang tadinya waras bisa jadi nggak waras.

"Is." Gusti memanggil lagi, menyentuh lengannya. "Mentang-mentang lagi nggak salat dan bisa tidur lagi abis matiin alarm. Tapi nggak bangun siang juga kali."

"Emang udah jam berapa?" Iis akhirnya menggumam.

"Jam enam."

Lalu Iis melek.

Well, kalau mandi kilat dan naik ojek motor, biasanya dia masih bisa tiba di kantor sebelum jam delapan kalau bangun jam segini.

Wanita itu memandang pria yang duduk di hadapannya.

Sudah cakep. Sudah segar. Cuma belum ganti baju aja.

"Udah mandi dari tadi?" tanyanya.

Gusti menggeleng.

"Barusan banget kelar," jawab pria itu singkat, lalu mesem.

Tapi disenyumi begitu, Iis malah jadi panik sendiri. "Kenapa ngelihatinnya gitu amat, sih? Gue nggak ngiler lagi, kan? Nggak belekan juga?"

"Enggak kok. Cantik."

Segera Iis meraih ponselnya di nakas untuk bercermin.

Tapi ternyata yang dikhawatirkannya memang tidak terjadi. Pagi ini mukanya bersih dari segala aib.

"Dih, dibilang cantik nggak percaya." Gusti mencubit pipinya.

Iis cemberut.

Pria itu lalu menangkupkan satu telapak tangan di pipi yang baru dia cubit itu. Mengelus-elusnya lembut. "Pake apa sih, bisa flawless gini pagi-pagi?"

Iis melengos. "Peres ih, Gus. Orang sama aja kayak biasanya."

"Masa?" Gusti berlagak bego. "Berarti kadar sayang gue yang udah makin nambah. Jadi ngelihat lo juga jadi makin cantik."

"Duuuh, please ya. Nggak pagi-pagi gini juga gombalnya."

Gusti ngakak.

Asli, dia juga jijik pada diri sendiri. Peres abis. Gara-gara mulutnya nggak terlatih ngegombal, nih!

"Apa lagi? Senyum mulu." Iis menegur.

Gusti meringis malu. "Kalau aja kita udah married, bangun pagi-pagi gini bisa cuddling rada lamaan ya, karena mandinya nggak perlu gantian. Jadi lebih hemat waktu. Atau kalau lagi nggak halangan elonya, bisa quickie dulu gitu, biar makin semangat berangkat kerja."

"Astagfirullah haladzim, Aguuus." Iis ganti mencubit keras-keras tangan yang masih menangkup pipinya itu. "Masih pagi loh ini. Bisa-bisanya ngayal jorok gitu. Ngomongnya terang-terangan di depan yang bersangkutan pula. Bener-bener nggak ada akhlak, ya!"

"Dih, mana ada jorok? Kan gue bayanginnya kalau udah halal. Orang udah nikah mah bebas mau ngapain aja."

"Ya bulan depan kek ngomongnya, jangan sekarang. Kalau sekarang mah jatuhnya masih dosa, biarpun cuma ngebayangin." Iis menarik selimut sampai menutupi kepala. Malu. Kesal. Gemas. "Ya Tuhaaan, gini amat nasib gue. Nggak ada harga dirinya di depan calon suami. Padahal dulu kan elo aja takut sama gue yang berwibawa ini."

Gusti ngakak. "Andai waktu itu gue udah ada feeling bakal jadi suami masa depan lo, nggak bakal tuh, gue kayak gitu. Ngapain juga jiper ama bocil yang cuma setinggi deodoran gini? Suara doang elo mah, yang nyaring, kelakuan gemesin banget kayak kucing. Dikit-dikit malu."

Iis mengeluarkan tangan dari dalam selimut untuk mencubit apa pun yang bisa dijangkaunya dari tubuh Gusti.

Rasanya pengen banget berkata kasar, mengingat dulu semua anak di BEM hormat padanya. Anak-anak di Relevent juga. Cuma Agus seorang nih yang berani kurang ajar—juga Zane, but in different way.

"Yuk ah, buruan bangun. Udah gue orderin sarapan." Gusti menarik kedua tangan mungil di depannya itu sampai bangkit duduk. Menarik selimut yang menutupi muka Iis. "Aduuuh, kalau merah banget gini muka lo, jadi makin gemes kan gue lihatnya." Gusti tertawa geli. "Elo gue adopsi jadi anak aja gimana? Takutnya gue nggak tega mau ngapa-ngapain lo nanti kalau udah jadi istri. Takut lecet."

Iis jelas cuma bisa istighfar banyak-banyak.



... to be continued

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang