7 | terhimpit

45.2K 5K 354
                                    




7 | terhimpit



JANTUNG Iis serasa mau copot saat tiba-tiba mendengar pintu depan Relevent berderit terbuka.

Sekarang sudah jam sepuluh malam, dan tinggal dia tinggal seorang diri di kantor. Di pantry. Sedang membuat kopi karena kantuk mulai menyerang.

Masih untung, meski takut menyergap, sisa-sisa kesadaran sempat membawanya untuk bersembunyi di balik pintu.

Dia jarang lembur sendirian. Dan hari ini kebetulan ada project wedding, yang berarti sebagian besar karyawannya harus standby di venue acara, membuat kantor otomatis sepi sejak pagi.

Manusia terakhir yang menemaninya lembur adalah Brian, dan sudah pulang sejak sejam lebih yang lalu, tepat saat Gusti mengabari akan datang menjemput, namun sampai sekarang belum tiba juga meski gedung kantor pria itu hanya berlokasi di Sudirman, yang paling-paling hanya berjarak satu kilometeran dengan kantor Relevent.

"Is?"

Terdengar suara memanggil dari lobby.

Gusti!

Iis kontan menekan dadanya untuk menormalkan kembali denyut jantung.

Dengan kaki lemas karena efek kaget tadi, dia bergeser untuk membuka pintu pantry.

"Gue kira maling tau, Gus," gerutunya pelan.

Gusti meringis, nggak enak karena nyelonong masuk. "Ya kali maling jam segini, Is."

Iis tidak lagi menyahut.

Dia memang jadi suka parno sendiri kalau harus berada di kantor malam-malam begini. Soalnya, Rachel—owner coffee shop sebelah—pernah cerita, waktu kebetulan cewek itu jadi orang terakhir yang pulang dari coffee shop-nya belum lama ini, ada orang asing yang menunggunya duduk di teras, lalu sok-sokan bertanya-tanya padanya saat dia keluar dan sedang berusaha menggembok pintu, bahkan sang pria asing itu mengikutinya berjalan sampai ke mobil. Padahal mah Senopati jam sepuluhan kan masih ramai. Kalau mau teriak juga sekuriti ada di pos. Tapi tetap saja Iis jadi ikut merinding. Apalagi dengan badannya yang cuma dua pertiga badan Rachel. Kalau ada orang niat jahat, Iis tinggal dijinjing terus dibanting masuk mobil, kelar sudah.

Gusti menutup pintu dan berjalan menghampiri. "Sorry, I'm late. Mendadak dapet email 'please fix, thanks'," ujar pria itu dengan wajah penuh penyesalan.

Tadinya dia mau membatalkan saja janji untuk datang menjemput, tapi makin nggak enak hati juga. Jadilah dia putuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa, dan mengirim pesan bahwa dia akan sedikit terlambat—tapi sampai sekarang belum dibalas juga oleh Iis, mungkin karena wanita itu belum sempat melihat HP-nya lagi setelah terakhir kali dia menelepon tadi.

Iis mengangguk sambil mengulas senyum. "It's okay, Gus. Gue nggak perlu ikut-ikutan jadi banker buat tau gimana gilanya workload kalian."

Iis lalu menoleh ke pintu kaca yang sudah tertutup di belakang Gusti, ke teras coffee shop Rachel yang sudah kosong.

"Yaah, kopi sebelah udah tutup. Mau gue bikinin kopi sachet aja nggak? Kebetulan barusan gue juga baru bikin. Atau mau langsung pulang?" tanyanya kemudian.

Gusti menoleh ke tangga, ke arah lantai dua yang masih menyala lampunya. "Mau ke rooftop bentar boleh nggak? Kangen nih, udah lama banget nggak nongkrong di sana."

Iis jelas berdecak mendengar permintaan Gusti itu. "Pake basa-basi lagi. Ini kantor kan punya elo juga."

Saat Iis menyusul ke atas tidak lama kemudian, Gusti sudah rebahan di swing chair sambil merokok, tapi buru-buru mematikannya begitu melihat calon istrinya tiba.

"Nggak apa-apa kali, ngerokok depan gue." Iis meletakkan dua cangkir kopi mereka di meja.

Gusti menepuk tempat di sebelahnya, kemudian merentangkan lengan untuk dijadikan sandaran. "Biasanya juga nggak pernah, kan? Nggak sejahat itu gue, ngebiarin non smoker kena asep juga."

Iis lalu mendudukkan diri. Mencecap kopinya. Menikmati angin yang nggak seberapa kencang berhembus.

"How's work? Masih banyak klien baru?" Wanita itu menoleh, tapi cuma sekilas. Posisi duduk yang terlalu dekat membuatnya merasa agak canggung karena sekarang mereka tidak sedang berada di ruang tamu apartemennya.

Gusti mesem, tapi menggeleng. "Gue bahkan udah nggak inget tadi seharian ngapain aja. I left that memories on my ThinkPad. Kalau otak yang ini isinya tinggal konsep kawinan kita doang."

"Aduuuh, makin-makin aja ya, gombalan lo."

Gusti ikut geli sendiri mendengar ucapannya tadi, lalu segera teringat topik lain. "Btw, abis kita, kayaknya Jerry-Sabrina bakal cepet nyusul, deh. Udah kayak toa masjid aja tuh kabar di kantor."

"Official nggak nih, beritanya?" Iis coba memastikan.

"Nggak—belum. Keep aja dulu, takutnya hoaks." Gusti tertawa hambar.

Deja vu banget sih ini. Baru beberapa hari yang lalu dia kedatangan Zane yang kayaknya masih galau, lalu hari ini mendapat kabar bahagia dari wanita yang masih dicintai temannya itu—sayangnya, dengan pria lain yang juga teman baiknya.

Sama persis saat dulu bertemu Bimo yang baru balik ke Jakarta setelah lama ngumpet di NYC, dan setelahnya mendapat kabar bahwa wanita yang ingin diajak balikan oleh temannya itu tiba-tiba saja sudah menjalin hubungan dengan Zane. What a karma. Yang nikung pasti bakal kena tikung juga pada akhirnya.

"Pusing ya Gus, kalau ada di tengah-tengah gitu?" Iis mengusap-usap pelan punggung tangan yang melingkari pundaknya.

Gusti tidak menyahut karena jawabannya sudah jelas.

"Kita udah sama-sama tua, Gus. Nggak mungkin Sabrina nggak tau apa yang bener-bener dia mau. Dan nggak mungkin juga selamanya Zane gagal move on."

Gusti meringis.

Memang rada gila, sih. Di pengunjung kepala dua begini masih pada galau soal cinta. Mending juga kayak dirinya. Jomblo seumur hidup. Sekalinya dapet yang kayak bidadari surga di sebelahnya ini. Nggak banyak drama.

"Yuk, pulang, lah." Iis menepuk tangan Gusti sekali lagi. "Biar elo bisa cepet istirahat."

"Elo ngomong gini kayak kita udah tinggal serumah aja."

Iis memutar bola mata. "Pintu gue selalu terbuka lho, Gus. Nggak perlu ngode segala kalau mau nginep pas weekdays."

Gusti meringis lagi. "Ngabisin kopi lo dulu, ya. Sayang kalau nggak diminum."

"Hmm." Iis hanya menggumam lagi sebelum kembali menyandarkan diri ke lengan Gusti.

"Is."

"Hmm?"

"Buka mulut coba."

"Buat a—?"

Tapi sebelum Iis sempat mingkem, Gusti sudah lebih dulu menyapukan jarinya ke potongan kecil kulit cabai yang menempel di gigi depan calon istrinya itu.

"Baru banget kelar makan ya, pas gue dateng?" Gusti menunjukkan hasil temuannya itu di ujung jarinya sebelum meraih tissue di meja dan mengelapnya.

"Astaga, Gus." Iis langsung beringsut menjauh, menutup muka dengan kedua telapak tangan. "Kenapa gue mulu sih yang keliatan jelek di depan lo. Biasanya juga kan elo yang malu-maluin."

Gusti kelepasan tertawa dan langsung memeluknya. "Ya kan gue udah belajar dari pengalaman, biar nggak malu-maluin lo lagi."

Iis membuat suara seolah-olah dia sedang menangis.

"Cup, cup, cup. Sayang gue nggak bakal berkurang cuma karena ginian doang kok."



... to be continued

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang