Part 4

450 101 9
                                    

Hari-harinya terus berjalan, tidak ada yang spesial bagi seorang Xabiru. Bekerja, bekerja dan terus bekerja.

Dua minggu sejak menolong perempuan itu, tak jarang Biru memikirkannya. Gimana ya kondisi perempuan itu sekarang? Apakah dia sudah baik-baik saja? Apa kondisinya sudah pulih total?

Bagaimana ia mau tau, kenalan aja gak sempat. Cuma dikasih tau kalau perempuan itu namanya adalah Prilly, itu pun sepupunya yang bilang.

"Bang, kerja kok malah ngelamun terus?" Seseorang terlihat masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ruangan kerja yang cukup luas, terdapat banyak perlengkapan bekerjanya, kamar mandi, dan satu kamar yang Biru gunakan untuk beristirahat ketika ia lelah bekerja.

Biru menoleh, "Loh Pi? Kok papi disini?" Katanya kemudian bangun dari duduknya, berjalan menghampiri sang papi. Biru menyalami papinya itu.

"Kenapa emang? Gak boleh papi kesini?" Papinya justru terkekeh.

"Ya bolehhhh. Cuma kan papi bilang baru pulang besok dari luar kota. Ini tiba-tiba udah nongol aja,"

"Iya kerjaan papi udah selesai bang, syukur-syukur bisa lebih cepet itu." Kemudian papinya duduk di sebuah sofa yang memang tersedia di ruangan kerja Biru. "Gimana kantor kamu? Aman?"

Biru ikut terduduk di single sofa sebelah papi, "Aman pi. Lagi lumayan banyak kerjaan. Makanya abang pulang rada malem terus."

"Oh gitu. Pantes mami ngomel-ngomel terus. Katanya abang sibuk banget sih, gimana coba biar ada waktu buat cari jodoh." Kata Papi, selalu lucu ketika mendengar istri ngedumel ingin cepat mendapatkan menantu. Padahal anak lelakinya aja masih santui gak mau cari-cari jodohnya.

Biru menghela napasnya, "Mami setiap hari yang diributin emang itu-itu aja pi. Pusing abang dengernya,"

"Tapi bener bang yang dibilang mami. Janganlah terlalu sibu kerja. Luangin waktu buat pikirin hidup abang. Udah saatnya loh abang cari pasangan hidup."

"Sulit pi. Sulit banget nyari perempuan yang pas ke abang."

"Bang, berjuta-juta perempuan di dunia ini, masa gak ada satu pun yang nyangkut ke abang?" Papinya lagi-lagi terkekeh. "Apa mau papi jodohin sama anak teman papi?" Tawarnya kemudian.

Biru dengan cepat menggeleng. "Gak ya pi. Gak mau abang gitu-gitu. Sampe kapan pun gak ada yang namanya perjodohan. Abang mau pasangan abang atas pilihan abang sendiri."

Tangan papi terulur menepuk gemas bahu sang anak. "Yaudah cepet cari lah. Papi kasih waktu satu bulan, kalo gak nemu juga pilihan hati abang, mau gak mau harus setuju papi jodohin. Sama siapa pun itu pilihan papi mami, abang harus terima." Katanya. Sebenarnya cuma memberi gertakan aja si ke Biru. Kalau gak digituin, Papi Vano yakin kalau anaknya itu akan terlena terus oleh pekerjaannya.

"Apaaaaaaa?" Biru kaget banget ini mah. "Satu bulan? Please pi, ini cari jodoh loh. Bukan nyari mobil yang limited edition. Mana bisa dalam waktu satu bulan? Yang bener aja. Modelan kaya apa coba yang gue dapet? Ani-ani?" Cerocosnya. Biru harus banyak-banyak menghadapi kemauan papi maminya ini mah. Suka bikin serangan jantung tiba-tiba. Bikin keputusan sepihak.

"Husss sembarangan ani-ani. Ya pokoknya papi gak mau tau, harus nemu dalam waktu satu bulan." Papi Vano berdiri, "Papi balik ke kantor papi ya. Inget kata-kata papi barusan bang. Oiya satu lagi, jangan pulang lewat dari jam 7 okey nanti malem? Kita ada jadwal dinner bareng opa oma. See you, son." Katanya kemudian berlalu meninggalkan ruangan kerja Biru.

Biru yang masih shock cuma bisa diam aja.

Satu bulan,

Satu bulan,

XABIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang