Bab 13 : 8th Month

17.3K 812 2
                                    

Sejak kejadian malam itu, Audrey jarang bicara banyak dengan Dyo. Mereka saling diam, jika tidak sengaja berpapasan, mereka hanya berkata hai atau menanyakan hal yang tidak terlalu penting hanya untuk berbasa basi saja. Jadwal praktek yang berbeda membuat mereka juga jarang bertemu di rumah sakit. Sekali bertemu, terkadang mereka saling memalingkan pandangan. Jika harus di pertemukan di delivery room, Audrey memilih untuk pura-pura sibuk menangani pasiennya, belakangan bahkan Dyo memilih menunggu di living room dan baru muncul saat bayi nya sudah lahir dan Dyo diminta untuk memeriksa.
Mereka saling menghindar satu sama lain. Bukan karena saling membenci, namun mereka sama-sama bingung atas apa yang terjadi, tidak tahu apa yang akan di lakukan selanjutnya. Dyo bingung akan menampilkan sikap seperti apa pada Audrey, Dyo tidak mampu bersikap seperti biasanya sebelum perasaan cintanya pada Audrey muncul menyelinap masuk tanpa permisi ke hati Dyo. Audrey pun  bingung karena merasa telah menyakiti Dyo dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menginginkan Dyo. Mereka pun sama-sama takut, takut perasaannya semakin dalam jika tidak saling membatasi sikap. Hal ini membuat mereka terasa kaku jika bertemu.
Audrey selalu berharap Dyo sudah berada di kamarnya saat dirinya pulang, Dyo pun selalu berharap Audrey sudah pergi ke rumah sakit saat dirinya pulang. Sejujurnya, mereka saling menyiksa perasaannya sendiri, berusaha membunuh cinta yang tumbuh tak terkendali di hati mereka. Ini akan menjadi hal sulit. Dyo telah memutuskan hubungannya dengan Rachel dengan alasan Rachel telah mengkambing hitamkan dirinya untuk membohongi Audrey, membuat Audrey membenci dirinya. Dyo sangat marah pada Rachel. Tak disangka, Rachel melakukan cara sepicik ini untuk membuat Dyo kembali padanya, untuk membuat Audrey menceraikan Dyo. Mengarang cerita dan menarik kepercayaan Audrey.
Audrey sampai detik ini belum mendaftarkan gugatan cerainya pada Dyo karena Audrey belum sempat mendatangi pengacara manapun. Ternyata mengurusi gugatan cerai itu tidak mudah. Maka dari itu, Audrey terus menundanya hingga 2 minggu peristiwa malam itu, Audrey masih belum mendaftarkan gugatannya. Audrey berniat menunggu hingga bulan ke 9 pernikahannya, sesuai perjanjian di awal sebelum pernikahan mereka..
***
"Mama minta kita untuk ikut ke Paris, Drey" Dyo bicara di telepon malam itu. Audrey berpikir sejenak. Bukan ide bagus sepertinya.
"sambil menjemput Elena" Dyo menambahkan. Audrey masih bingung. Bagaimana bisa menolak jika itu permintaan Mama. Audrey masih diam.
"Drey?"
"ya...kapan?" Audrey menjawab gugup sambil menutup pintu mobilnya. Audrey mengapit ponsel diantara bahu dan pipinya lalu berjalan menuju lift. Audrey baru saja sampai di basement rumah sakit malam itu.
"minggu depan, kita akan disana sekitar 3 minggu"
"oh....." hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Audrey. Sesungguhnya Audrey ingin menolak namun merasa tak enak hati pada Mama.
"kalau kamu ga bisa ikut, aku bisa carikan alasan" Dyo berkata pelan. Dyo selalu mau bertanggung jawab atas Audrey, bahkan selalu mau mencarikan alasan.
"aku akan atur jadwal aku agar aku bisa ikut"
"oke, thanks Drey"
"you're welcome Dyo" Audrey tertegun sesaat setelah menutup sambungan teleponnya. Ya, hubungan mereka kini terasa sangat kaku dan membingungkan.
Audrey berpikir, dirinya tidak sanggup lagi jika harus berpura-pura mesra dengan Dyo di hadapan orang tuanya. Ini akan menjadi 3 minggu yang sulit untuk Audrey jika Audrey ikut. Audrey melihat kalendar, di ponselnya, ada 3 jadwal operasi caesar pasien nya di minggu itu. Audrey bernafas lega. Ini bisa menjadi alasan kuat, meskipun bukan hal yang tidak mungkin Mama mau memundurkan jadwal keberangkatannya demi Audrey bisa ikut. Huh !
"dokter Audrey"
"dokter Soni" Audrey mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan dokter Soni saat tidak sengaja bertemu di lift.
"apa hari ini dokter Indah tidak praktek?"
"iya dok, beliau sedang ada urusan mendadak hingga harus keluar kota. Saya yang menggantikan"
"oh begitu" dokter Soni mengangguk, Audrey tersenyum canggung. Akhirnya mereka sampai dan Audrey berpamitan pada dokter Soni. Dokter Soni adalah Papa Nadine, mengingat ini membuat dada Audrey sesak.
"akan ada 5 pasien dokter Indah hari ini dok, dan sisanya pasien dokter Audrey"
"oke, thank you Nancy" Audrey melengos ke ruangannya. Duduk dan merapikan penampilannya sebelum berjumpa dengan pasien-pasiennya. Audrey duduk dan siap mendengarkan keluhan pasiennya yang rata-rata seorang ibu muda yang berumur 23 sampai 27 tahun. Sampai akhirnya...
"dok, ada satu pasien lagi"
"oke" Audrey sebenarnya sudah kelelahan karena belum sempat istirahat sejak kemarin malam karena harus menangani pasien dokter Indah juga.
"selamat malam....." Audrey menunduk membaca rekam medis pasien dokter Indah ini.
"malam dokter"
"silahkan......"Audrey terperanjat melihat wanita yang masuk ke ruangannya. Audrey rasanya ingin pensiun dini menjadi dokter obgyn jika wanita ini yang menjadi pasiennya. Wanita ini datang bersama suaminya. Audrey memaku pandangan pada mereka.
"ibu Nadine dan bapak Radie....ka?" Audrey berdiri lalu mengulurkan tangannya dan berjabatan tangan dengan Nadine dan Radie. Audrey mencoba profesional, tersenyum pada mereka meskipun hatinya teriris perih. Kenapa harus merekaaa????
"dokter Indah sedang cuti, jadi saya yang menggantikan. Saya sudah membaca rekam medis ibu Nadine, mari saya periksa" Audrey mempersilahkan Nadine untuk berbaring. Radie terdiam seribu bahasa, sangat salah tingkah. Radie tak menyangka bahwa pengganti dokter Indah adalah Audrey. Audrey yang 9 bulan yang lalu mengatakan bahwa dirinya hamil. Namun Radie melihat tubuh Audrey masih tetap slim. Apa kini anak Radie sudah lahir? Jika iya, apa dia laki-laki atau perempuan? Siapa namanya? Pertanyaan itu berkelebatan di pikiran Radie. Belakangan, semenjak Nadine Hamil, Radie terus memikirkan Audrey yang juga hamil anaknya. Radie harus menanyakan ini. Harus !!
"kita berpindah ke ruang USG" suster membantu Nadine berdiri. Nadine di baringkan di ranjang sebelah ruang pemeriksaan. Suster menyiapkan alat USG. Audrey kembali ke meja nya untuk mencatat hasil pemeriksaannya pada Nadine. Radie memegang tangan Audrey, membuat Audrey berhenti menulis.
"Radie !!" Audrey mempelototi Radie, Radie masih memegang tangannya.
"apa anak kita sudah lahir? Dia laki-laki atau perempuan?"
"itu bukan urusan kamu, oke? Sekarang lepaskan tangan aku sebelum aku teriak !" Audrey berusaha menelan tangisnya, menatap tajam Radie.
"Audrey, aku minta maaf atas semua kesalahan aku sama kamu"
"apa dengan kamu minta maaf bisa mengubah hidup aku? No Radie !! Ingat, kamu sudah menghancurkan hidup aku, jangan harap aku bisa memaafkan pengecut seperti kamu !!"
"oke Drey, oke !! Beri tahu aku, anak kita laki-laki atau perempuan? Dia sudah berapa bulan usianya?"
"anak kita? Hey, wake up Radie, jangan mimpi !! Dia hanya anak aku, bukan anak kamu. Seandainya dia lahir pun, aku tidak mau mengatakan bahwa kamu Ayah biologisnya karena aku yakin, dia tidak mau memiliki Ayah pengecut dan bajingan seperti kamu" Audrey berkata penuh penekanan sambil menatap tajam Radie. Audrey menyeringai sambil berjalan melengos, Radie menarik tangan Audrey.
"aku akan cari tahu tentang ini"
"what....e...ver" Audrey melepaskan kasar tangan Radie. Rasanya ingin menangis saat ini juga. Audrey berjalan menuju ruang USG, kembali berkonsentrasi pada tugasnya.
"sudah 12 minggu, beratnya 20 gram, tingginya sekitar 9,5 centimeter" Audrey berkata sambil tersenyum pada Nadine. Radie memegang tangan Nadine dan mengecupnya. Radie terlihat sangat excited melihat bayinya yang bergerak-gerak di monitor. Hati Audrey berdesir, betapa bahagianya Nadine, hamil anak Radie dan Radie dengan jelas mau mengakuinya dan merasa bangga. Oh sialan si pengecut ini, sudah membuang aku seperti sampah tadi dia malah menanyakan anak kita? What??? Anak kita?? aku bersumpah tidak akan memaafkan dia, bisik Audrey dalam hati.
Setelah semua pemeriksaan selesai dan Audrey menjawab semua pertanyaan Nadine dengan sabar, mereka berpamitan.
"apa bulan depan saya bisa di periksa oleh dokter Audrey lagi?" Nadine berkata senang, tampaknya Nadine tertarik pada Audrey.
"ya, tentu saja. Saya praktek hari senin hingga jumat pukul 7 hingga 9 malam" Audrey sama sekali tidak mau menatap Radie yang sedari tadi memandanginya dengan seksama.
"oke, terimakasih dok" Nadine lalu mengulurkan tangannya pada Audrey, Radie pun demikian. Audrey memandang punggung mereka. Audrey tertegun. Menutup wajah dengan kedua tangannya. Bersandar di kursinya, menangis sesegukan. Mengapa hidup Audrey begitu terasa kacau. Mengapa Audrey terus di hadapkan pada kesakitan-kesakitan semacam ini. Mengapa dirinya terus dilukai, disakiti, lalu diabaikan. Tidak ada lagi yang bisa mengerti Audrey, tidak ada lagi orang yang bisa menjadi sandarannya. Disaat seperti ini, Audrey sangat butuh Dyo yang selalu bisa menghiburnya, memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi bahkan kini Dyo tidak peduli lagi padanya. Bahu Audrey bergetar, mengeluarkan semua tangisannya. Tuhan...kapan semua ini berakhir? Aku bahkan tidak sanggup lagi menghadapi ini.
                                                                              ***
Audrey duduk disamping Dyo. Mereka dalam perjalanan menuju Paris. Mama, Papa, Daffa dan Zidane sudah pergi lebih dulu 1 minggu yang lalu. Audrey dan Dyo diminta untuk menyusul. Sampai 8 jam perjalanan, mereka belum saling bicara. Audrey asik mendengarkan lagu dari ipodnya sementara Dyo asik dengan bukunya. Audrey melirik Dyo sekilas. Hatinya sangat ingin meminta maaf atas perkataannya malam itu, bahkan ingin menarik kata-katanya. Tapi apa masih mungkin? Sepertinya sekarang Dyo tidak lagi menginginkan Audrey menjadi istrinya bahkan sahabatnya lagi. Dyo mungkin sekarang hanya sedang menunggu surat gugatan cerai dari Audrey. Audrey menghela nafasnya, mengalihkan pandangan ke jendela pesawat. Menggigit bibirnya menahan kepedihan. Matanya berkaca-kaca. Audrey sangat benci jika sikap seseorang berubah begitu drastis. Hal ini snagat menyakitkan bagi Audrey !
Audrey tidak bisa tidur karena kepalanya terasa tidak nyaman. Kepala Audrey agak pusing. Audrey mengurut keningnya sambil sesekali meringis. Audrey memang selalu insomnia jika di pesawat. Sementara Dyo sudah tertidur pulas dengan neck pillow nya dan selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Audrey memeluk neck pillow sambil menyedekapkan kedua tangannya. Audrey memandangi Dyo yang sedang tertidur pulas disampingnya. Audrey tersenyum kecil, hey I miss you Frazdyo, can you feel it? Ucapnya dalam hati. Tiba-tiba Dyo membuka matanya. Audrey yang terkejut langsung memalingkan pandangannya. Dyo tiba-tiba membuka lengan kanannya dan membawa kepala Audrey ke bahunya. Audrey agak terkejut melihat sikap Dyo. Dyo lalu mengusap kepala Audrey.
"let's sleep Audrey, perjalanan kita masih panjang" Dyo berbisik di telinga Audrey. Audrey hanya mengangguk. Dyo melebarkan selimutnya dan menyelimuti Audrey. Audrey merasa hatinya begitu berbunga-bunga di perlakukan seperti ini oleh Dyo. Audrey menghirup aroma parfume Dyo yang menenangkannya. Audrey melingkarkan tangannya di atas perut Dyo. Dyo mengusap lengan Audrey. Mereka lalu tertidur pulas. Ini tidur ternyenyak Audrey selama 3 minggu belakangan ini. Good night...
                                                                                   ***
"Dyo akan tidur dengan Daffa"
Dyo berkata pada Mama saat tahu hanya di sediakan satu kamar untuknya dengan Audrey. Mama dan Papa menyewa sebuah cottage. Audrey hanya duduk diam, tidak mau berkomentar apa-apa.
"kenapa? Daffa kan tidur dengan Zidane"
"Dyo bisa tidur bertiga dengan Daffa dan Zidane" Daffa saling lirik dengan Zidane. Mereka mengangkat bahunya.
"atau Zidane tidur dengan Audrey"
"aduh, jangan mas, bahaya. Nanti aku malah ga bisa tidur" Zidane terkekeh saling  menyenggol tangannya dengan Daffa. Siapa yang bisa tidur dengan kakak ipar yang sangat cantik seperti Audrey ini.
"kamu ini ngaco !! " Mama mempelototi Dyo dengan kesal. Dyo duudk di tepi ranjang smabil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dyo tidak mau tidur satu kamar dengan Audrey.
"atau Mama tidur dengan Audrey, Dyo tidur dengan Papa?" Dyo masih melakukan penawaran pada Mama nya. Mama menggeleng.
"kalian ada apa? Apa kalian sedang bertengkar??"
"no..." Dyo langsung menyangkal. Daffa dan Zidane terkekeh.
"Mama...ga mungkin Mas Dyo mengaku sedang bertengkar dengan ka Audrey" Daffa melengos diikuti Zidane keluar dari kamar mereka. Sesungguhnya Audrey mendengar pembicaraan antara Dyo, Mama, Daffa serta Zidane dari ruang tengah. Audrey tidak suka dengan pembicaraan ini. Jika Dyo tidak mau bersama dengan Audrey atau bahkan tidak mau satu kamar, untuk apa Audrey diajak?? Detik ini Audrey merasa benar-benar tidak diinginkan. Dyo membuatnya bahagia saat dipesawat, kini membuatnya kesal setengah mati. Audrey berjalan menuju kamar, terlihat Dyo masih bicara dengan Mama.
"Audrey bisa tidur di sofa" Audrey tersenyum pada Mama. Mama menggelengkan kepalanya tidak setuju.
"tidak bisa Audrey !!"
"Mama sudah ya, Audrey ga suka ada perdebatan seperti ini" Audrey berbisik sambil merangkul Mama mertuanya ini. Mama tampak sangat marah pada Dyo. Mama lalu segera keluar kamar mereka. Bersisa Dyo dan Audrey di dalam kamar. Audrey melengos ke toilet untuk mandi.
Setelah mandi, Audrey membawa bantalnya keluar kamar. Audrey berbaring di sofa tanpa selimut !! Bagus !! Audrey sangat kesal malam itu. Jika tahu akan seperti ini, Audrey tidak mau ikut berlibur.
Audrey benar-benar merasa sangat kedinginan hingga Audrey tidak bisa tidur. Audrey beranjak ingin mengetuk kamar Dyo namun mengurungkan niatnya karena Audrey malas berdebat. Audrey memutusjan duduk sambil memeluk bantalnya. Audrey berdoa dalam hati, semoga Dyo keluar kamar sekedar mengambil minum atau melakukan sesuatu. Please Dyo ! Bisik Audrey dalam hati. Audrey menunggu hingga 1 jam, Dyo tak juga keluar kamarnya. Audrey hampir menangis meraung-raung karena giginya mulai gemertak kedinginan.
Audrey mendengar suara pintu di buka. Audrey langsung menengokkan kepalanya ke asal suara. Ternyata dari kamar Daffa dan Zidane.
"ka Audrey???? Kenapa tidur disini?" Zidane tampak terkejut melihat Audrey duduk smabil memeluk bantal di sofa ruang tengah. Audrey menempelkan telunjuk di bibirnya, memberi kode pada Zidane agar tidak berisik.
"Dane, kamu ada mantel atau selimut? Kakak kedinginan" Audrey sangat memohon pada Zidane. Audrey sudah hampir beku.
"ya ampun Ka....tunggu" Zidane masuk ke dalam kamar mengambil selimutnya. Zidane segera menghampiri Audrey lagi.
"kakak mau tidur di kamar? Kakak bisa tidur dengan Daffa, biar Zidane yang tidur disini" Zidane terlihat khawatir. Hati Audrey berdesir. Kenapa malah Zidane yang mengkhawatirkannya?
"thanks Dane, kakak bisa tidur disini. By the way kamu masih ada selimut kan didalam?"
"masih, aku bisa pakai berdua dengan Daffa"
"oke" Audrey lega bisa memakai selimut Zidane. Audrey baru bernafas lega. Audrey kini bisa memejamkan matanya. Baru satu hari, Dyo sudah membuatnya terluka hanya karena tidak mau satu kamar dengan Audrey. Kenapa Dyo seperti ini, padahal sebaiknya Dyo menyembunyikan ini dari Mama, Papa, Daffa dan Zidane.
                                                                                   ***
"Audrey....bangun sayang...Audrey?"
Mama menepuk pipi Audrey pelan. Audrey mengumpulkan nyawanya. Badannya terasa membeku.
"morning Ma" Audrey menggeliat lalu terduduk. Sungguh badannya terasa remuk.
"morning, maaf sayang, gara-gara Dyo kamu tidur disini. Papa bilang nanti malam biar Papa yang tidur di sofa"
"no problem Ma, Audrey tidak masalah tidur di sofa" Audrey mengusap lengan Mama sambil tersenyum simpul. Audrey melirik ke pintu kamar Dyo, ternyata Dyo mengeluarkan koper Audrey. Oh bagus Dyo, terimakasih.
"apa Audrey boleh pinjam toilet Mama? Audrey ingin mandi"
"sure sayang" Mama beranjak membuka pintu kamarnya. Audrey berlutut di depan pintu kamar Dyo. Membuka kopernya untuk mengambil baju. Audrey sebenarnya sangat ingin menangis. Kenapa Dyo memperlakukannya seperti ini??? Air mata Audrey menetes. Audrey segera mengusapnya. Saat Audrey berdiri, Dyo membuka pintunya dna melirik Audrey.
"Drey, cottage ini masih luas, kenapa kamu buka koper kamu disini?" Dyo berkata pelan, namun hal itu sangat melukai Audrey. Audrey tersenyum pada Dyo.
"ya Dyo, maaf aku menghalangi jalan kamu" Audrey membawa kopernya ke ruang tengah. Audrey segera masuk kamar Mama. Dyo memandangi punggung Audrey. Dyo melakukan ini hanya ingin melihat reaksi Audrey. Jika Audrey tidak menginginkannya, dia tidak akan keberatan diperlakukan seperti ini oleh Dyo, terlebih lagi Dyo juga ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah tidak menginginkan Audrey lagi.
Selesai mandi, Audrey menyiapkan sarapan bersama Mama, sementara Dyo, Papa, Daffa dan Zidane berkeliling naik sepeda.
"Dyo sekarang suka menu sarapan apa?" Mama bertanya sambil mengoleskan selai cokelat untuk roti Papa.
"Dyo lebih suka sarapan cereal Ma. Dyo bilang lebih praktis" Audrey meraih 2 mangkuk di kitchen set. Audrey menuangkan cereal buah favorit Dyo ke mangkuk, sedangkan Audrey menuangkan cereal jagung favoritnya. Mama tersenyum melihat menantunya yang selain cantik dan cerdas, Audrey juga sangat perhatian pada anak sulungnya. Setelah Audrey menyiapkan meja makan dan Mama membuatkan capuccino untuk Papa, terlihat mereka sudah menyimpan sepeda nya di depan cottage.
"ayo sarapan, Pa...Dyo..Daffa...Zidane" Mama setengah berteriak dari dapur. Mereka berkumpul duduk di meja makan. Dyo yang masih mendiamkan Audrey, duduk di samping nya. Audrey menuangkan susu vanilla pada mangkuk Dyo dan mangkuk miliknya. Dyo langsung melirik Audrey tajam.
"aku kan ga suka sarapan cereal" Dyo berkata dingin sambil melirik sinis Audrey. Audrey terperanjat mendengar kata-kata Dyo dan memandanginya seolah tak percaya Dyo mengatakan ini. Seketika Mama, Papa, Daffa dan Zidane memandangi Dyo dan Audrey bergantian. Mama yang paling heran melihat ini. Tadi Audrey dengan mantap mengatakan bahwa Dyo suka sarapan cereal, kenapa kini Dyo menolaknya? Sepertinya ada yang tidak beres diantara Dyo dan Audrey.
"Audrey bilang kamu suka sarapan cereal akhir-akhir ini?"
"hah? Dyo sama sekali ga suka sarapan cereal, Ma. Audrey memang ga tahu. Audrey kan jarang siapkan sarapan untuk Dyo" Dyo berkata datar namun mengundnag lirikan heran dari Mama, Papa, Daffa dan Zidane. Dyo sangat jahat !! Dia berhasil mempermalukan Audrey dihadapan keluarganya. Audrey sangat ingin menangis, seketika selera makannya hilang. Perkataan Dyo saja sudah membuatnya kenyang. Audrey hanya menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Sabar Audrey, bisiknya dalam hati.
"sudah-sudah, ya kamu lebih baik ambil sarapan kamu sendiri, sudah untung Audrey mau menyiapkan" Papa berkata dengan suara beratnya sambil menatap Audrey. Audrey hanya tersenyum canggung pada Papa.
"sarapannya untuk Daffa aja mas, mas mau roti Daffa?"
"boleh" Dyo menukar mangkuk nya dengan sepiring roti milik Daffa. Audrey hanya diam sambil mengocek sarapannya. Sungguh, Dyo sukses membuatnya merasa malu. Audrey merasa ingin kembali ke keluarganya. Audrey merasa sangat tidak dihargai oleh Dyo. Lalu untuk apa dirinya disini? Atau memang ini tujuan Dyo mengajaknya liburan? Mempermalukan Audrey dihadapan keluarganya !
"Papa dan Mama akan ke rumah tante Eva"
"Mama ga ikut kita?"
"no Daff, kalian jalan berempat saja ya" Daffa mengangkat bahunya tak peduli.
Selesai sarapan, Mama dan Papa berpamitan ke rumah tante Eva yang Audrey tidak tahu dia itu siapa. Audrey duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Dyo tampak asik berbincang dengan Daffa dan Zidane di teras cottage. Audrey sangat kesal, namun Audrey terlanjur nyaman melihat senyum Dyo. Audrey asik memandangi wajah Dyo dari kejauhan.
"aku, Daffa dan Zidane akan pergi"
"kemana?"
"hanya jalan-jalan" Dyo berkata dingin. Audrey tidak menangkap signal Dyo akan mengajaknya. Dyo tampak bersiap membawa mantel nya lalu melengos di hadapan Audrey. Audrey mengernyitkan keningnya. Ada apa dengan Dyo sebenarnya??? Apa maksud Dyo memperlakukan Audrey seperti ini? Audrey mengangkat bahunya.
"ka Audrey ga ikut?" Daffa tampak bingung melihat Audrey yang masih diam.
"boleh?" Audrey melirik Daffa dan Dyo bergantian.
"ya boleh lah ka" Daffa berkata excited, sementara Dyo terlihat begitu malas mengajak Audrey.
"oke, kakak ambil mantel dulu"
"Audrey kurang sehat. Lebih baik dia istirahat. Ayo Daff" Dyo langsung menarik Daffa dan mengatakan sesuatu pada Daffa diluar. Daffa hanya terlihat mengangguk. Audrey terpaku memandangi punggung Dyo, Daffa, dan Zidane. Audrey sunguh kesal dan marah, namun Audrey entah harus bagaimana melampiaskan amarahnya. What do you want, Frazdyo?????
                                                                                 ***
Pukul 9 malam, terdengar suara Mama dan Papa di luar. Audrey lega, setidaknya dia tidak sendirian lagi di cottage.
"Audrey? Kamu tidak ikut Dyo jalan-jalan?"
"ngga Ma" Audrey tersenyum pada Mamanya. Mama lalu duduk di samping Audrey.
"apa Dyo tidak mengajak kamu?" Papa sepertinya mulai keheranan melihat anak dan menantunya yang seperti tidak akur.
"Dyo ajak Audrey ko, Pa" Audrey mencoba membela Dyo, padahal Dyo sama sekali tidak mengajaknya bahkan tidak ingin Audrey ikut.
"kamu sudah makan malam?"
"sudah Ma"
"oke" Mama dan Papa beranjak ke kamar, tak lama Papa keluar dan menghampiri Audrey.
"Audrey?"
"iya Pa?"
"kamu tidur dengan Mama ya? Biar Papa yang tidur di sofa"
"emmm ga perlu Pa, Audrey ga masalah tidur disini. Lagi pula Audrey nyaman disini"
"tidak baik wanita tidur di luar kamar, ayo jangan bantah Papa. Sekarang kamu masuk kamar Mama. Sudah malam. Besok pagi-pagi sekali kita akan berkeliling kota Paris"
"iya....makasih Pa"
"kamu tidak perlu berkata sekaku itu sama Papa" Papa tersenyum pada Audrey. Audrey mengangguk lalu masuk ke kamar Mama. Ternyata Mama sudah menunggu Audrey untuk tidur.
"Audrey, maafkan sikap Dyo ya sayang" Mama bicara dengan lembut sambil menatap Audrey dan mengusap kepalanya.
"ga ada yang perlu dimaafkan Ma, Audrey mencoba memahami Dyo"
"Dyo memang seperti itu jika sedang merasa tidak nyaman akan sesuatu hal, kamu tahu itu kan? Sifat Dyo persis seperti Papa nya. Mama harap kamu bisa lebih bersabar menghadapi Dyo"
"sure Ma" Audrey mencoba tersenyum sambil menatap Mama. Mama terlihat begitu merasa bersalah pada Audrey.
"ayo tidur, besok kita harus bangun pagi sekali"
"iya Ma, selamat tidur"
"selamat tidur sayang" Audrey mengecup pipi Mama. Mama mengusap kepala Audrey hingga Audrey merasa sangat mengantuk. Dulu, Bunda selalu melakukan ini pada Audrey. Audrey menggigit bibirnya menahan tangis. Audrey merindukan Bundanya dan ingin pulang ke rumahnya.
Audrey tertidur lelap malam itu dalam dekapan Mama. Mama sangat menganggapnya seperti anak, bukan seorang menantu. Salah satu alasan berat Audrey meninggalkan Dyo adalah Mama. Mama yang selalu baik dan perhatian. Mama yang selalu memperlakukan Audrey dengan istimewa. Love you Ma, bisik Audrey dalam hati
                                                                                    ***
"jadi beberapa hari ini kamu biarkan Papa tidur di sofa sementara kamu tidur di kamar Mama?" Dyo berkata datar namun ini sangat membuat Audrey terkejut. Malam itu, Mama, Papa, Daffa dan Zidane pergi menghadiri acara makan malam di rumah tante Eva, sementara Dyo dan Audrey memutuskan untuk tidak ikut. "Papa yang minta, aku sudah menolak, tapi Papa memaksa" "kamu tahu kan Papa itu kemarin sakit?" "iya Dyo aku tahu, tapi Papa yang meminta aku tidur dengan Mama" Dyo menatap Audrey tajam. Audrey menatapnya nanar. Audrey menghela nafasnya panjang, dadanya begitu sesak menahan tangis. Audrey sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap Dyo 5 hari ini. Audrey mencoba untuk mengikuti alur yang Dyo buat, tapi Dyo semakin menyakitinya. Audrey menenangkan diri dan mencoba bertanya pada Dyo tentang sikapnya selama beberapa hari ini. "Dyo sebenarnya apa yang terjadi?" "ehm? nothing" "kalau kamu tidak menginginkan aku disini, kenapa kamu mengajak aku?" "Mama yang menginginkan kamu untuk ikut" "dan kamu tidak menginginkan aku ada disini?" "I don't know" Dyo berkata cuek, mengabaikan Audrey yang susah payah berusaha menahan tangisnya. "why?" "apa aku harus mengatakan ini secara terang-terangan?" Audrey menghela nafasnya. Menatap Dyo yang meliriknya sinis. "oke, fine !"Audrey melangkah ke kamar Mama. Dengan cepat Audrey membereskan semua bajunya di lemari ke koper. Audrey terisak. Dyo sangat jahat ! Kenapa sikap Dyo seperti itu. Memperlakukan Audrey like a shit ! Sama sekali tidak menghargai Audrey sedikitpun bahkan mempermalukan Audrey di hadapan Mama dan Papa beberapa hari yang lalu di meja makan. "aku mau pulang, katakan sama Mama dan Papa" "Drey...." "aku lelah Dyo, aku tidak bisa menerima perlakuan kamu yang seperti ini. Aku memang sampah dan mungkin aku pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Tapi aku pikir, lebih baik aku kembali ke keluarga aku. Aku butuh mereka" Audrey menghapus air matanya. Tenggorokannya begitu sakit menelan tangis. "kamu tidak membutuhkan aku?" "no more" "jangan bohongi diri kamu sendiri Audrey !!" "it's real" "tatap mata aku saat aku bicara !!" Dyo menggeram saat melihat Audrey yang tidak mau menatap matanya. Audrey mengalah lalu menatap mata Dyo. Dyo melihat air mata menggenang di pelupuk mata Audrey. Dyo melihat kesedihan mendalam disana. Apa Dyo terlalu keras memperlakukan Audrey? Air mata Audrey peelahan menetes. "apa ini semua karena aku belum menggugat cerai kamu? Maaf, aku memang terlalu sibuk hingga belum sempat mengunjungi pengacara. Jika itu yang benar-benar kamu inginkan dari aku, aku janji akan lakukan itu setelah kita pulang nanti. Tapi tolong selama kita disini, jangan memperlakukan like a shit di hadapan Mama, Papa, Daffa dan Zidane" Audrey berkata pelan sambil menunduk. Emosi Dyo semakin tersulut mendengar perkataan Audrey. Dyo merasa semakin kacau. "apa kamu tidak pernah menginginkan aku??? Jawab Drey !!" Dyo menatap Audrey dalam-dalam. Audrey terdiam. Tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Mulut Audrey mendadak bisu. Hanya air mata yang mengalir dari ujung mata Audrey. "Drey......jawab" Dyo berkata lembut memegang pipi Audrey. Mata Audrey terpejam. Audrey menyerap segala sentuhan dari tangan Dyo. Audrey sangat rindu di sentuh Dyo seperti ini. Air mata Audrey semakin deras, bahu Audrey bergetar. Audrey mundur satu langkah, menjauhi Dyo. Audrey menutup wajah dengan kedua tangannya. Dyo langsung memeluk Audrey. Audrey menangis sesegukan di pelukan Dyo. "it's okay Drey....kamu tidak perlu menjawab ini. It's okay" Dyo mengusap kepala Audrey. Oh my God !! Dyo sudah melukai Audrey. Detik ini Dyo merasa sangat bodoh, seharusnya dia tidak memperlakukan Audrey seperti ini. Ini sangat melukai Audrey. Bahkan sikap Dyo selama 3 minggu kemarin mungkin saja sudah sangat melukai Audrey. Seketika Dyo di hantam penyesalan yang dalam. "sorry Drey, maafkan segala kesalahan aku. Maaf atas sikap aku akhir-akhir ini. Maaf aku sudah bersikap tidak dewasa" "kenapa kamu lakukan ini sama aku Dyo? At least, kalau kamu meyakini aku tidak pernah menginginkan kamu, kenapa kamu tidak membuat aku menginginkan kamu? Kenapa kamu memilih bersikap seperti ini?" Audrey berkata pelan di balik pelukan Dyo. Audrey mengangkat tubuhnya dari pelukan Dyo. Menghapus air matanya. "aku pernah terluka, aku pernah di kecewakan, aku pernah di buang, aku pernah di perlakukan like a shit. Aku pikir, kamu bisa membahagiakan aku, membuat aku melupakan semuanya, tapi sekarang....kamu membuat aku merasakan itu lagi. Terimakasih Dyo, kamu sudah memberikan aku alasan untuk mengakhiri semuanya" "Audrey....please, stay with me" "no Dyo, aku tidak bisa hidup bersama dengan orang yang....treat me like a shit" Audrey berkata penuh penekanan sambil air matanya kembali menetes. Tetesan air mata Audrey sangat menyiksa Dyo saat ini. "aku tahu, pada akhirnya kamu juga akan meninggalkan aku, membuang aku seperti sampah. Aku pikir kamu beda dengan Radie, ternyata kamu sama..." Dyo terdiam mendengar kata-kata Audrey. Dyo menunduk. Dyo merasa sangat bersalah. "kamu tahu? Kamu selalu ada disini, di hati aku Dyo. Itu semua sudah lebih dari cukup untuk aku, apa aku salah kalau aku berharap lebih dari kamu??" Dyo mencoba meraih Audrey namun Audrey melangkah mundur. "sekarang, biarkan aku sendiri Dyo. Aku ingin pulang" Audrey meraih kopernya. Dyo terpaku mencerna kata-kata Audrey. Oh my God !! Aku akan kehilangan Audrey?? Kehilangan orang yang paling dicintainya sekarang? Dyo keluar kamar mengejar Audrey. Dyo mendekap Audrey. Audrey meronta minta di lepaskan. "lepas Dyo" "Drey, please...." "cukup Dyo, jangan menambah luka aku...just enough" "aku janji, aku akan bahagiakan kamu, aku tidak akan mengulangi ini lagi Drey, lupakan masalah perceraian kita, aku...." "aku ga tahu siapa orang yang bisa aku percaya sekarang" Audrey berbisik memegang tangan Dyo yang melingkar di pinggangnya. Audrey mencoba melepaskan. Membalikkan tubuhnya menghadap Dyo. "kamu baik, sangat baik, kamu mengorbankan semuanya untuk aku. Aku tidak pernah bermimpi untuk bisa bersama kamu Dyo, you're too perfect for me. Aku tidak pantas untuk kamu, kamu tidak perlu mempertahankan aku seperti ini" Audrey berkata lembut pada Dyo, matanya berkaca-kaca. Dyo melihat Audrey begitu sedih dan sangat rapuh. Dyo masih diam terpaku. Dyo meraih tangan Audrey dan menggenggamnya erat. "aku akan ikut Drey, aku akan jaga kamu" "ga perlu Dyo, aku bisa menjaga diri aku sendiri" "aku akan menjaga kamu sebagai sahabat, Drey" Dyo berkata cepat. Audrey langsung menatap Dyo. Audrey agak terkejut. Sahabat?? Masih bisa kah Dyo mengatakan itu setelah semua yang dilewatinya dengan Audrey?? "sepertinya kita tidak bisa lagi menjadi sahabat, Dyo" Audrey berkata serak. Dyo melepas tangan Audrey yang di genggamnya erat. Dyo mengangguk. "oke fine, setidaknya kamu bertahan disini untuk Mama, bukan untuk aku" Dyo berkata lemas. Dyo sangat terpukul dengan kata-kata Audrey, bahkan Dyo akan kehilangan Audrey sebagai sahabatnya juga. Dyo meringis mengingat 21 tahun persahabatan mereka, terlalu lucu jika harus di akhiri seperti ini. Audrey diam, Dyo membawa koper Audrey ke kamarnya. Audrey mengikuti Dyo dari belakang. Dyo duduk di pinggiran ranjang, Audrey bersandar di meja dekat jendela. "apa kita akan benar-benar mengakhiri semuanya?" Dyo melirik Audrey ragu. Audrey melipat kedua tangannya di depan dada. "ya.....aku akan urus perceraian kita setelah kita pulang" Audrey berkata pelan. Dyo tertegun. Dyo cukup mengenali Audrey yang memang sulit diubah keputusannya. "apa kamu yakin?" "jangan tanyakan itu lagi Dyo, please" Audrey menghela nafas sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Dyo beranjak mendekati Audrey. Menempelkan keningnya pada kening Audrey. Dyo membuka tangan Audrey yang menutupi wajah cantiknya. Audrey memejamkan matanya. Enggan menatap Dyo yang kini hanya 1 centimeter di hadapannya. "I love you, I love you, I love you more than you know, Audrey" Dyo berbisik dan bisikannya melelehkan air mata Audrey lagi. Audrey kembali terisak. "kenapa kamu menangis setiap kali aku mengatakan ini? Ehm?" Dyo mengusap pipi Audrey. Audrey menggeleng pelan. "aku hanya ingin kamu tahu tentang ini, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku rela mengorbankan apapun yang aku miliki demi berada di samping kamu. Maaf, kemarin aku hanya bingung harus bersikap seperti apa di hadapan kamu. Please maafkan aku sayang" Dyo mengecup kening Audrey, menahannya beberapa detik. Audrey kembali merasakan kehangatan yang telah lama dia rindukan. Dyo mengecup pangkal hidung Audrey lalu bibir Audrey. "apa kamu mau memaafkan aku?" "I don't know" Dyo kembali mengecup bibir Audrey. Audrey menutup bibir Dyo dengan jemarinya saat Dyo ingin mencium bibirnya lebih dalam. Dyo menurunkan tangan Audrey lalu melumat bibir Audrey. Audrey berpegangan pada meja, menahan diri agar tidak mengerang menerima serangan Dyo yang tiba-tiba. Audrey mendorong tubuh Dyo perlahan, namun tidak mampu membuat Dyo bergerak mundur karena tubuh Dyo 2 kali dari tubuh Audrey. Lutut Audrey sudah lemas. Audrey sudah kehilangan oksigen yang di serap Dyo. Audrey memegang pipi Dyo sambil melepaskan perlahan bibirnya. "enough Dyo....." Audrey menundukkan kepalanya, Dyo lalu memeluk Audrey erat. Mengusap kepalanya dan mengecupnya. "thanks Audrey, thanks for everything" Audrey mengangguk. Dyo merasa lebih baik setelah 1 bulan ini menahan diri untuk tidak menyentuh Audrey. Kehangatan kembali menyelimuti hati Dyo. "let's sleep, Drey. Sepertinya Mama dan Papa sudah pulang. Aku tidak mau mereka lihat kamu dalam keadaan seperti ini. Please, bertahan disini untuk Mama" "ya...." Audrey menjawab pelan. Dyo melepaskan pelukannya dan beranjak keluar kamar. Mama menghampiri Dyo, setelah terlihat celingukan di sekitar cottage. Mama memang seperti kebakaran jenggot jika Audrey tidak ada. Mama sangat adore pada Audrey. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Mama jika mereka bercerai nanti. "Audrey mana Dyo?" "tidur Ma" "dimana? Mama tidak lihat Audrey di kamar?" "Audrey tidur dengan aku"  Mama seketika mengulum senyumnya. Mengusap lengan Dyo, meliriknya penuh makna. "sudah selesai marahnya? Lain kali jangan perlakukan Audrey seperti itu. Mama tidak suka. Audrey istri yang baik, dia sampai mau mengalah tidur di sofa karena tidak mau mendebat kamu" "seperti Mama, kalau Papa marah, Mama selalu mengalah untuk tidur di sofa atau di kamar lain. Sejujurnya, Papa malu setiap Mama melakukan itu. Mama kamu ini luar biasa sabar, sepertinya Tuhan mencetak Audrey seperti Mama agar bisa menghadapi keturunan Papa" Papa menimpali sambil merangkul Mama. Dyo terdiam sambil menyunggingkan senyum nya. Padahal, hati Dyo sangat pedih mendengar ini. Ma, Pa, kami akan bercerai, bisik Dyo dalam hati. Mama dan Papa tidak pernah se adore ini pada pacar-pacar Dyo. Mereka hanya adore pada Audrey yang bukan pacar Dyo. "son, sayangi istri kamu. Jangan sia-siakan dia. Jangan berlebihan saat marah jika kamu tidak mau kehilangan dia. Bersikap lah lebih mature. Kamu sekarang seorang pemimpin keluarga yang harus selalu menghadapi masalah dengan kepala dingin dan kedewasaan" "sure Pa" "sesekali manjakan Audrey, buat dia merasa nyaman bersama kamu. Mama lihat sampai 9 bulan kalian menikah, kalian belum pernah pergi honeymoon" Mama dan Papa memandangi Dyo dengan seksama. Dyo hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. "Dyo tidak perlu honeymoon juga sudah bisa dengan cepat memberi kita calon cucu Ma" "hampir Pa" Dyo terkekeh mendengar celotehan Papa. Mereka tertawa bersama. "by the way, kapan kalian beri Mama dan Papa cucu lagi? Mama dan Papa sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Mama ingin cucu perempuan" "Papa juga, tapi sebaiknya kamu harus memiliki anak pertama laki-laki" "Pa, Mama bosan merawat anak laki-laki, Mama ingin cucu perempuan" "ya, oke whatever Ma. Yang jelas doakan agar Audrey sehat dan lebih siap untuk hamil agar bisa secepatnya memberi Mama dan Papa cucu" "pasti" Mama tersenyum lalu mencium pipi Dyo. Dyo sebenarnya menyukai pembicaraan semacam ini, tetapi ini seperti sebuah pembicaraan semu. Toh semua ini tidak akan pernah terjadi. Sebentar lagi, dirinya dan Audrey akan meneruskan hidup mereka masing-masing. Dyo berpikir, apa Dyo masih bisa membuat Audrey mencintainya di saat-saat terakhir seperti sekarang? Dyo menggelengkan kepalanya. Dirinya telah menghancurkan Audrey bahkan menggoreskan luka baru pada Audrey. Hati Dyo berdesir, God, please help me !! Dan tanpa mereka sadari, Audrey mendengarkan pembicaraan mereka dari balik pintu. Audrey kembali terisak, menangis tersedu-sedu. Oh God, what should I do?? Bisik Audrey dalam hati. ***

My Real HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang