Cp 11 : Ini Bukan Tentang Kita

296 56 12
                                    

Pulang sekolah kali ini Maika pergi kerumah Brian. Bukan karena ia kabur lagi dari Kakak-Kakaknya. Namun karena mereka memang berniat untuk belajar bersama teman-teman sekalasnya yang lain juga, karena sebentar lagi ujian kenaikan kelas.

Tahun ini kedua Kakak kembarnya lulus. Dan mungkin untuk pertama kalinya Hiro dan Hitto akan berpisah meski tidak terlalu jauh. Hiro berencana untuk berkuliah di ITB. Ia sedang menunggu pengumuman SNMPTN. Sedangkan Hitto memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya dan mulai serius dalam pekerjaan modelingnya.

Awalnya kedua orang tuanya menentang keputusan Hitto. Maika masih ingat ketika ia sampai terbangun karena mendengar keributan dilantai bawah. Namun bukan orang tuanya yang menenyang keras, itu adalah Hiro.

Seumur hidupnya Hiro tidak pernah jauh dari Hitto. Jadi keputusan Hitto memang membuatnya emosi. Namun Hitto mampu menenangkan kembarannya itu dengan dalih kalau ia tak sepintar Hiro. Ia tidak akan pernah bisa menjadi Hiro.

Namun yang pasti ada di pikiran Maika saat ini. Ia harus memperjelas semuanya, sebelum Kakak-Kakaknya ini keluar dari rumah. Karena entah bagaimana, Maika merasa mereka semua begitu aneh semenjak kematian Jema. Tak terkecuali Raja.

"Mai." Suara Brian mengintrupsi. Maika yang sedang melamun sambil menatap buku tulis dihadapannya itu pun akhirnya mendongakan kepala. Diliatnya Brian yang sedang membereskan cangkir-cangkir bekas teman mereka yang saat ini sudah pulang, tersisa Maika dan Brian saja dikamar itu.

"Pendiem banget lu hari ini." Seru Brian lagi.

Maika mengubah posisi tengkurapnya, berbalik menjadi terlentang memandangi langit-langit kamar Brian.

"Bentar lagi kita kelas sebelas." Gumam Maika. "Kalo Jema masih hidup bentar lagi dia kelas dua belas."

Brian meletakan nampan berisi cangkir bekas itu keatas meja belajarnya sebelum akhirnya ikut berbaring disamping Maika. "Lo kangen Jema?"

Maika tersenyum gusar, "Mau dibilang kangen tuh aneh banget. Karena gue gak inget apapun soal dia. Tapi tuh selalu sesek kalo gue inget dia."

Teringat sesuatu, Brian pun tiba-tiba terduduk dari tidurnya, "Lo kan gak pernah ke mahkam Jema. Mending kita kesana."

"Lo tau dimana?"

Brian menganggukan kepalanya. "Kemaren gue dipanggil ke kantor polisi juga dan ketemu nyokapnya disana. Pulang dari sana gue dianter ke pemakamannya."

Maika pun bangkit dari atas karpet berbulu tebal itu, menyusul Brian yang sedang membuka lemari dan mengenakan hoodie abu-abu untuk menutupi kaus putihnya.

"Gimana kondisi Mamanya?" Tanya Maika ragu-ragu dengan wajah tertunduk dan tangan yang mengelus belakang lehernya. Ada rasa tak nyaman saat ia bertanya. Entah rasa tidak enak, entah rasa khawatir, entah apa rasa itu, Maika sendiri tidak bisa menjelaskan perasaan tidak enak itu.

"Ya gimana ya. Masih keliatan sedih sih, cuman berusaha tegar aja. Mungkin karena kasusnya di tutup, jadi sekarang berusaha lebih ikhlas aja." Tutur Brian membuat Maika terkejut.

"Hah? Di tutup?" Brian menganggukan kepalanya sebelum akhirnya menutup pintu lemari pakaiannya. Lelaki itu berjalan menuju meja belajar dan mengambil kunci mobilnya.

"Udah ketauan alasan dia bunuh diri?"

Brian menggelengkan kepala dengan senyum getirnya, "Polisi akhirnya narik kesimpulan sendiri karena ketauan Jema pernah ke Psikiater dan emang rutin minum obat. Jadi dianggep emang karena masalah kejiwaan aja. Dan untuk faktor apa yang mentrigger itu gak ada yang spesifik. Cuma dari instagram Jema, keliatan dia sering dapet Kata-kata gak enak dari orang-orang."

You Better Not RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang