Cp1 : Mulai dari Awal

621 92 5
                                    

Rumah dua lantai itu begitu berisik bahkan di pagi hari. Ada wanita paruh baya yang sibuk memasak, di bantu oleh anaknya—atau bisa Maika sebut, Kakak ketiganya, Hiro. Lebih banyak Hiro yang memasak dan Bundanya memberikan intruksi.

Di saat yang bersamaan, dari lantai atas juga terdengar musik rock yang begitu kencang berasal dari kamar kakak keduanya, Yosi. Yang lantas membuat lelaki yang menelepon di sampingnya berteriak agar kakaknya mematikan musik tersebut. Itu Hito, kakak keempatnya sekaligus kembarannya Hiro. Dan di susul dengan teriakan Ayah tiri mereka yang biasa hanya di panggil 'Om' yang pada akhirnya berhasil membuat Yosi mematikan musiknya.

Maika mendesah. Mencoba menghafal nama kakak-kakaknya saja sudah membuat pusing. Ditambah dengan situasi rumah yang seperti ini. Anak itupun mengelus pangkal hidungnya. Hingga sebuah sentuhan di bahunya mengintrupsi. Maika pun mendongakan kepalanya, memandang kearah sentuhan tersebut.

"Lo gak apa-apa?" Serentak semuanya menghening mendengar Iyori bertanya seperti itu. Bahkan Yosi yang baru menuruni tangga langsung terdiam dianak tangga terakhir.

"Santai." Jawab Maika singkat, berusaha tersenyum.

Bunda pun langsung mendekat kearahnya dan mengelus puncak kepala Maika lembut, "Maaf ya Sayang, kaya gini kondisi rumah tiap hari. Bunda susah bilangin abang-abang kamu ini." Ucapan bundanya diakhiri dengan tatapan tajam pada anak-anaknya yang lain.

"Gak apa-apa Bun. Jangan berubah gara-gara Mai, nanti Maika malah terus-terusan gak inget apa-apa." Maika tak tau apa yang salah dari ucapannya, namun ia merasa keheningan itu tambah mencekam. Satu-satunya yang masih terasa hangat adalah senyuman Bundanya.

"Iya, tapi kepala bunda mau pecah kalo tiap hari kaya gini." Jawab Bundanya diakhiri dengan tawa.

"Sabar ya sayang, kata dokter bakalan susah buat inget lagi. Tapi mudah-mudahan bisa." Usapan lembut di kepala Maika tidak pernah berhenti, membuatnya melupakan atmosfer dingin yang berada di sekitarnya. Pada akhirny, Maika hanya tersenyum.

Di detik berikutnya setelah Bundanya kembali ke dapur, semua kembali berjalan. Yosi langsung menarik bangku di hadapan Hito. Kedua bola mata cokelatnya sempat bertabrakan dengan milik Maika hingga ia mengulas senyuman kikuk. Hito yang duduk di samping Maika pun kembali berbicara dengan seseorang di balik telepon.

Tak lama kemudian Hiro dan Bunda kembali ke meja makan dengan membawakan hasil masakan mereka. Tanpa banyak suara, keempat kakak dan Ayah tirinya itupun langsung menyantap makanan tersebut.

"Dek, kamu masih mau terapi buat saraf motorik kamu?" Tanya Bunda memecah keheningan.

Maika pun menggelengkan kepalanya, "Udah bisa jalan kok Bun, cuma masih suka keram tiba-tiba aja."

"Tapi masih harus check up ya Dek." Kali ini Maika menganggukan kepalanya.

"Om daftarin kamu les private. Besok gurunya dateng kerumah. Cuma buat review pelajaran dan ngajarin beberapa yang kamu ketinggalan aja. Minggu depan, kalo kondisi kamu bagus, kamu boleh sekolah." Kali ini Ayah tirinya yang berbicara.

"Kenapa gak Hiro aja yang ngajarin?." Ujar Hito setelah mematikan sambungan teleponnya.

"Gue mau olimpiade." Hiro menjawab dengan wajah datarnya. Membuat Hito menyengir lebar sambil menggaruk kepalanya, "Oiya, lupa."

Satu hal yang Maika tangkap dari kakak kembarnya. Mereka sangat berbeda. Hiro cenderung lebih pendiam, sedangkan Hito lebih aktif. Hiro lebih datar, sedangkan Hito lebih ekspresif.

"Tapi kalo kamu mau homeschooling, Om juga gak masalah." Ujar Ayah tirinya kembali membuat seluruh mata memandang kearah Maika.

"Mendingan homeschooling aja." Iyori berujar tanpa memandang kearah Maika sama sekali. Lelaki itu bahkan masih terfokus pada nasi goreng di hadapannya dan memasukan sesendok nasi kedalam mulutnya dengan santai.

You Better Not RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang