Bella's POV
Pantatku mendarat dengan sempurna di atas rerumputan di depan rumah Justin. Hari sudah semakin sore dan aku masih bersamanya dari tadi pagi. Dan tentunya aku sudah menghubungi Ibuku dan memberitahunya kalau aku pergi bersama Justin.
Beliau langsung memperbolehkanku. Lucu sekali, Ibu bahkan baru mengenal Justin kemarin. Tapi suaranya terdengar begitu semangat ketika aku bilang aku akan pergi dengan Justin.
"Ini, maaf tidak ada yang lain." Justin duduk di sampingku lalu menyodorkan sekaleng cola padaku dan langsung kuterima.
"Tidak apa, ini sudah cukup." kataku, lalu membuka kaleng itu dan meneguknya. Di sebelahku Justin juga melakukan hal yang sama.
"Apa kita bisa melihat sunset di sini?" tanyaku.
"Kau mau melihatnya? Arah matahari tenggelam tepat berada di belakang rumahku. Jadi kita pindah ke sana saja." Justin berdiri, lalu mengulurkan tangannya padaku.
Aku tersenyum dan menerima uluran tangannya. Lalu kami berjalan bersisian menuju belakang rumah Justin.
Ketika kami di sana, aku baru tahu kalau rumah ini memiliki pintu belakang yang juga terbuat dari kaca dan bisa digeser seperti pintu depan. Menarik.
"Duduk di sini," Justin menepuk tempat di sebelahnya yang hanya ada rerumputan hijau dan tampak segar. Aku segera menurutinya. Tapi Justin malah memindahkan posisi duduknya mendekat padaku.
"Kau mau apa?" tanyaku, aku segera menjaga jarak.
Justin terkekeh, "Tenang saja. Aku sudah berjanji tidak akan memperkosamu, kan? Kecuali kalau kau sendiri mau."
"Tiada hari tanpa otak mesummu ya?" tanyaku. Akhirnya aku mendekat ke arah Justin.
"Maaf, tapi setiap melihatmu otakku selalu berfantasi." jawabannya yang gila itu membuatku melotot ke arahnya. "Jangan pernah imajinasikan diriku."
"Ups, sudah terjadi." katanya, ia menyeringai. Aku segera memukul tangannya berkali-kali hingga tangannya menaham kedua tanganku.
Ia menatapku dengan tatapan yang sama anehnya dengan yang pernah ia lakukan ketika kami berdua di dapur kemarin.
Suasana berubah menjadi tidak nyaman dan aku segera melepaskan tanganku darinya. Aku segera meminum colaku hingga habis.
"Apa kau masih punya ini lagi?" tanyaku pada Justin. Dia mengangguk, "Ambil saja di kulkas."
Aku segera berdiri dan masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang yang langsung menghubungkanku dengan dapur. Aku melangkahkan kakiku ke kulkas lalu membukanya.
"Oh, hanya ada cola, ya?" gumamku. Aku menyeringai, lalu mengambil sebotol cairan yang sewarna dengan teh itu. Lalu aku menutup pintu kulkas dan berjalan keluar.
Aku kembali duduk di samping Justin. Kemudian membuka tutup botol itu dan meneguknya. Mataku melihat kedua mata Justin yang tiba-tiba terbuka lebar.
"Kau? Kau meminumnya?" tanyanya.
"Ah, enaknya." kataku. Lalu aku menatapnya jahil, "Tidak ada yang lain ya? Hanya ada cola?"
"Ku kira, kau tidak minum yang seperti itu." ucapnya, lalu ia tersenyum miring dan merebut botol itu dari tanganku. Ia membuka tutupnya lalu meneguknya hingga tinggal setengah.
"Dasar lelaki gila,"
Justin tertawa, sepertinya ia mendengar gumamanku. "Aku sudah biasa minum ini."
"Berikan padaku," aku merebut kembali botol itu. "Carilah yang lebih berat. Jangan meremehkanku."
Seringaian di wajahnya muncul kembali, dia segera berdiri dan masuk ke dalam rumah. Aku tertawa sendiri, "Kenapa Justin begitu serius? Aku bahkan sudah tidak tahan dengan minuman ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ladies and Racing
Teen FictionKarena pekerjaan yang menuntut, keluarga kecil Hye Ra pindah ke San Fransisco. Awalnya memang terasa lebih baik ketika memilih untuk pindah ke San Francisco dibanding dengan tinggal di Korea. Tapi siapa sangka ia akan bertemu dengan seorang lelaki b...