Bab 25 : Telah Berubah

378 37 12
                                    

Ini adalah tengah malam. Malam yang tiba setelah ia menjenguk putranya yang ada di rumah sakit. Malam setelah ia meminta seseorang untuk menjaga putranya.

Veron membersihkan diri dan duduk di pinggir ranjang di kamarnya dan kamar istrinya itu. Kini hanya ia seorang pemilik kamar ini karena satu orang lainnya telah meninggalkannya untuk selamanya.

Sedikit merasa rindu akan kenangan yang pernah ada. Diraihnya bingkai foto yang terdapat tiga orang di sana. Ia, istri dan anaknya ada dalam bingkai foto yang sedikit berdebu.

Tangannya mengusap permukaan kaca bingkai itu, wajah Rossa yang tersenyum terlihat jelas bersama dengan bayi yang ada di gendongannya. Senyum tulus pun tampak terpatri di wajahnya yang ada di bingkai coklat itu.

Masa itu adalah yang terindah. Masanya ia menaruh perasaan dan perhatian pada Rossa yang sekarang sudah tidak ada. Hatinya terasa pedih mengingat semua hal yang mereka lakukan dulu, dirinya tengah terjebak dalam kenangan masa lalu. Pedih, indah dan berakhir pedih kembali.

Suara tawa lembut milik istrinya mengalun dengan indah di ingatannya. Beribu kali sudah dicoba nya untuk melupa akan suara indah yang membuatnya tersiksa.

Di luar sana hujan turun membasahi permukaan bumi. Suara merdu rintik air yang jatuh di atas dedaunan menggantikan suara jangkrik yang sebelumnya mengalun dengan bersemangat. Turunnya hujan itu, bersamaan dengan air mata pertama pria yang tengah terjebak akan perasaannya sendiri.

Untuk yang pertama kali di hidupnya Willian Veron Dentara meneteskan air mata. Telah dilanggar dan ingkar semua didikan dari mendiang orang tuanya. Laki-laki tidak boleh menangis. Laki-laki tidak boleh lemah. Laki-laki tidak boleh menunjukkan betapa rapuhnya mereka.

Semua itu telah pergi meninggalkannya. Tangis diiringi isak yang membaur dengan suara hujan yang semakin deras. Petir menyambar dengan cahaya kilatnya yang menggelegar. Namun pria itu tidak bergeming dan tetap mempertahankan tangisnya.

Telah menyesal ia menyia-nyiakan istrinya. Telah menyesal ia tidak mencoba mengerti bagaimana perasaan istrinya yang hanya menginginkan perhatian darinya. Sekarang semua telah terlambat,

Zendaya Rossa Frederick telah tiada.

Veron tersiksa, namun dirinya sadar jika putranya lebih merasakan sakit. Sedari kecil tak pernah putranya itu mendapat belaian kasih sayang darinya dan istrinya. Rossa saat itu tengah dalam keadaan paling rapuh di hidupnya, dan itu semua karena dirinya.

Didikan yang ia berikan sangat ketat. Didikan dari orang tuanya digunakan juga untuk mendidik Narajia yang masih kecil. Dipukul jika tidak mau menurut. Dihukum jika melanggar peraturan. Dimarahi jika melakukan kesalahan. Dan yang paling utama dilarang untuk menangis. Dan jangan harap Narajia akan diberi kebebasan saat itu.

Memang saat itu adalah masa yang berbahaya karena para musuhnya tengah mengincar anak kecil itu hanya untuk sekedar ancaman dan demi keuntungan mereka sendiri. Veron tidak mau itu. Tak sudi ia merelakan anak semata wayangnya dijadikan bahan politisasi. Namun, tak sanggup juga ia tunjukkan kasih sayang itu dengan benar.

Pernah ia berikan sebuah ruang rahasia untuk putranya yang murung dahulu. Karena penasaran apa jadinya ruangan itu sekarang, ia memutuskan untuk memeriksanya.

Langkah kaki terdengar kala ia berjalan keluar dari kamarnya, perlahan masuk ke ruangan milik putranya yang kini tengah berada di rumah sakit.

Rapi, harum dan bersih. Pemandangan ini tak banyak berubah. Entah itu bayangannya atau apa, ia seperti melihat dirinya yang dulu bersama istrinya tengah menenangkan Narajia kecil yang menangis karena tak rela ia tinggal pergi.

Veron tersenyum getir, ingin rasanya kembali ke masa-masa itu. Setelah beberapa detik memandangi bayangan itu, ia perlahan berjalan ke rak buku. Mendorong rak buku itu hingga terlihat sebuah pintu putih yang tampak berdebu seakan tak pernah dibuka lagi.

Tentang Kita: Sederhana {✔}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang