Bab 1 : Aku, Dia dan Hujan

829 58 0
                                    

Pemuda manis itu menghela napas, menggerutu pada sang mentari yang mengganggu tidur nya yang bahkan tidak nyenyak, bahkan bunga tidur pun enggan menghampiri nya.

Rasanya aneh, tidak biasanya suasana rumahnya sepi seperti ini. Tak ada lagi teriakan dari kamar di sebelahnya.

Ada sedikit rasa senang di sudut terdalam hatinya, mungkin ini adalah pagi paling tenang yang ia dapatkan.

Hampir saja ia berpikir seperti itu sebelum suara berisik itu kembali menyapa telinganya dengan tidak ramah.

"Kamu tuh ya, gak bisa apa sekali aja nurut sama aku!"

"Nurut apa mas? Nurut apa!? Diem doang di rumah aja sementara kamu main-main sama sekretarismu yang murahan itu? iya!?"

"Lancang kamu!"

Tak lama, terdengar suara tamparan yang sangat keras. Ia bisa menebak jika itu adalah papa nya yang menampar mama nya.

Tiada suara yang terdengar lagi, sebelum suara pintu yang ditutup keras mampu menggetarkan sedikit rumah besar itu dan disusul dengan suara mobil sport yang melaju dengan kecepatan penuh.

Narajia sudah menduga ini, selama tujuh belas tahun pernikahan mereka, sama sekali tak ada percikan cinta antara keduanya.

Ini bukanlah sebuah drama yang isinya dua insan yang dipaksa menikah dan tak lama akan tenggelam dalam cinta.

Itu tidak berlaku di dunianya, di dunia Narajia.

Seperti biasa ia akan melamun, membiarkan kepalanya itu berbisik-bisik tentang hal yang tidak berguna.

"Nar, kok bisa lo gak nangis sih?"

Ah, ia jadi teringat dengan perkataan sahabatnya.

Tak ada jawaban dari pertanyaan itu.

Mengapa Narajia tidak menangis? Entahlah, mungkin..

Hatinya sudah mati.

***

"Nara pulang," Ucapnya.

Kakinya ia langkahkan masuk ke dalam rumah besar yang dingin tanpa ada siapapun yang menyambut, sudah terbiasa.

Hela napas pelan keluar dari mulutnya. Bohong jika ia tak ingin menjadi seperti keluarga pada umumnya. Menerima kasih sayang dan perhatian, semua itu rasanya seperti angan-angan yang hampir seperti fantasi.

Ia rebahkan tubuhnya karena kelelahan. Hari ini sekolah pulang lebih lama dari biasanya karena ada acara bakti sosial.

Melelahkan, sama sekali Narajia tidak menyukai keramaian. Beruntung sahabatnya, Cale selalu ada di sampingnya meskipun banyak teman lainnya ada dimana-mana.

Merasa sudah cukup istirahat, ia bawa tubuhnya yang pegal-pegal ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Matanya mengarah ke cermin di atas wastafel yang menempel di dinding.

Jari jemari lentiknya ia sentuh di kedua pipinya, tersenyum miris. "Segitu gak pantes nya kah gue nerima kasih sayang?"

Ia menepuk kedua pipinya dan menggeleng kuat. Lebih baik segera mandi karena tubuhnya sudah lengket karena keringat.

Hari sudah malam dan perutnya sudah keroncongan. Ia memilih untuk makan di luar karena ia malas memasak. Lagipula di rumah hanya ada mie instan dan telur, lama kelamaan ia bisa muntah jika makan itu setiap hari.

Tentang Kita: Sederhana {✔}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang