04

281 50 3
                                    

"Hah... hidup miskin itu menyusahkan ya?" tanya seorang siswi yang lebih tepatnya dibilang pernyataan.

Siswi yang mengeluh itu mendapatkan jawaban dari teman di sebelahnya. "Hidup kaya juga tidak terlalu bagus tuh."

"Apa maksudmu? Jelas-jelas jadi kaya itu yang terbaik," balasnya tidak terima.

Sambil terkekeh ia menjawab, arah lirikan matanya tertuju pada siluet merah muda yang sedang sibuk memainkan alat musik. "Memangnya kau mau hidup seperti dia?"

Seolah paham, perempuan itu memberi tawa yang terdengar jelas mengejek. "Benar juga, dia nampak menyedihkan padahal putri satu-satunya ibu kepala sekolah."

"Ya, 'kan? harusnya kau bersyukur tidak menjadi seperti dirinya."

Lagi-lagi tertawa, kali ini disertai anggukkan setuju yang mantap.





Brak!




"Akh!" perempuan itu memekik kaget. Sebuah benda melayang dan hampir mengenai dirinya. Tawanya hilang detik itu juga.

Bisa ia lihat perempuan yang ia ejek menatapnya garang. Tanpa takut ia juga membalas. Tangan perempuan itu mengambil bow yang melayang tadi. Ia juga balas melempar.

Namun meleset jauh.

Dari sana Sakura memberi senyum remeh yang semakin membuat perempuan itu geram. Dan tanpa aba-aba langsung menghampiri Sakura, menjambak dengan keras surai merah muda itu.

Sakura tidak diam, ia juga ikut membalas, menjambak lebih keras hingga gadis itu berteriak. Tidak ada yang memisahkan mereka, semua perempuan di kelas malah menyoraki mereka untuk lebih saling menyakiti.

Hingga guru melerai mereka berdua.


Di sinilah Sakura sekarang, berada di ruang kepala sekolah. Harusnya bertemu guru bimbingan dan konseling sudah cukup, buat apa repot-repot bertemu kepala sekolah.

Sakura mendesis geram saat melihat wanita paruh baya itu malah menyalahkannya. Perempuan di sebelahnya itu seolah-olah merasa menang, tapi Sakura tidak peduli. Tak lama perempuan itu diizinkan pergi, meninggalkan dirinya lebih lama di ruang memuakkan ini.

"Sifatmu buruk sekali. Aku sudah berusaha mendidikmu dengan benar, tapi sifat bawaan itu memang tidak bisa diubah."

Sakura memutar bola matanya bosan, ia muak sekali. "Kalau tidak ada yang perlu dibahas mengenai kejadian ini lagi, aku pergi sekarang."

Wanita itu melipat tangan di depan dada. "Tunjukan sopan santunmu pada kepala sekolah dan ibumu ini."

Sebelum benar-benar pergi Sakura sempatkan menoleh, memberi tatapan tidak percaya dramatisasi. "Hanya karena namamu tepat di bawah nama ayah dalam kartu keluarga bukan berarti kau jadi ibuku. Lagi pula kau dan ayah tidak pernah melaksanakan pesta pernikahan."

Wajah wanita itu memerah, ia marah, sangat marah. "Kau!" bentaknya keras. Sakura tidak takut dan ikut sama-sama memberi tatapan tajam.

Jari telunjuk wanita itu terangkat ke arah jendela, dimana lapangan yang menjadi batas dengan sekolah sebelah. "Lari mengelilingi lapangan di sana sebanyak sepuluh kali. Jangan harap kabur kalau kau tidak ingin memperparah keadaan."

Sakura mendecak, ia melangkahkan kaki dengan cepat dan menutup pintu ruang dengan keras. Sungguh hari-hari yang memuakkan. Namun ia harus bertahan.


***



Sakura berlari mengelilingi lapangan, beruntung cuaca saat ini tidak panas. Ya, setidaknya hanya itu keberuntungan yang dimilikinya. Sekarang ia sudah dapat satu putaran, tersisa sembilan lagi.

Dari jarak yang sangat jauh, sepasang onyx menatapnya. Laki-laki itu, Sasuke menatap pujaan hatinya dengan penuh tanda tanya. Apa yang sedang dilakukan gadis itu? Kelihatannya bukan kegiatan olahraga kelas, melihat hanya gadis bersurai merah muda itu seorang diri.


"Bagaimana ini??"

Sasuke sampai lupa kalau sahabatnya tengah membuat masalah saat ini. Perhatiannya teralihkan sejenak. "Kau mengaku saja sudah berbuat salah."

"Aku bisa mati! Aku tidak punya uang untuk menggantinya."

Sahabatnya, Naruto itu pucat pasi sambil berpikir mencari jalan keluar. Otaknya yang dibuat panik tidak dapat menghasilkan solusi apapun. Ia merengek minta tolong sambil berguling di paving dekat patung yang baru ia rusakkan.

Benar, Naruto yang merusak patung itu. Pemuda dengan rambut jabrik itu bermain bola basket di taman, tanpa sengaja terkena salah satu patung yang menjadi kebanggaan guru-guru. Sudah jelas masalahnya tidak sepele.

"Uang tabunganku pasti habis untuk mengganti patung jelek itu. Lalu bukan itu saja, aku pasti dapat hukuman lain." Naruto meracau tidak jelas sambil tiduran di bawah. "Seperti mengelilingi lapangan, membersihkan toilet dan banyak lain supaya aku merasa jera."

"Apa tadi kau bilang?" Sasuke menunduk melihat netra biru sahabatnya itu. Naruto balas menatap, sebelah alisnya terangkat.

"Uang tabunganku habis."

"Bukan itu."

"Aku mati."

Sasuke menggeram, otak sahabatnya itu memang sudah parah sisi idiotnya. "Bukan. Tadi kau bilang hukuman mengelilingi lapangan, 'kan?"

Naruto mengangguk lesu, rambutnya bergesekan dengan paving yang belum di sapu. "Lapangan yang lebar di sebelah sana." Jari Naruto menunjuk tanpa melepaskan pandangan matanya dari Sasuke.

Sedangkan Sasuke bereskpresi yang tidak dapat diartikan oleh Naruto. Namun sekilas Naruto lihat Sasuke hampir menyunggingkan senyum, ah pasti salah lihat. Tidak ada alasan Sasuke bersuka cita di atas penderitaan temannya.

"Hei bilang saja pada guru kalau aku yang merusaknya."

Sontak Naruto bangkit dari tidurnya berganti posisi duduk, matanya melebar kaget. "Yang benar?"

Sasuke mengangguk mantap. "Aku pasti tidak akan diminta biaya ganti rugi. Jadi tidak masalah lalu—"

"Ah benar! Kau 'kan anak yang mensponsori sekolah ini. Kau juga pasti tidak dapat hukuman—"

"Tidak," potong Sasuke cepat. "Aku harus dapat hukuman."

Naruto mengernyitkan dahi, merasa heran. "Kenapa?"

"Guru harus memperlakukan adil setiap murid-muridnya. Jadi bilang pada guru untuk memberiku hukuman lari di lapangan saja."

Naruto bersujud syukur, sangat dramatis sekali sampai kepalanya terbentur dengan kerasnya lantai saat ini. "Terima kasih! Hamba akan selalu setia pada tuan muda," ucapnya formal yang berlebihan.

Dalam pikiran Naruto, ia senang sekali dapat teman baik seperti Sasuke. Walau sikapnya menyebalkan tapi Sasuke tetap teman yang baik. Naruto melirik sekilas dalam sujudnya dan mendapati wajah bahagia Sasuke.

Apakah Sasuke sesenang itu untuk membantunya?


***

she looks just like a dream | sasusakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang