5: conversations

396 61 2
                                    

"Jadi gimana, Ver?"

"I bought her to my apartment." jawab River santai

"LO GILA YAAA."

Benjamin berteriak sambil menunjuk-nunjuk pria itu menggunakan jari telunjuknya. Sementara, yang dimaki-maki hanya terdiam.

"Bruh, she has a trauma. I can't leave her alone. She doesn't trust anybody."

Sekarang, giliran Benjamin yang terdiam. Pria itu menghela napasnya berat,

"Lo tau, Ver. We're agent, inget tujuan utama lo ngejalanin misi ini. Menurut gue, terlalu beresiko buat bawa dia ke apartment lo." ujar Benjamin panjang lebar, nada bicaranya terdengar lebih serius kali ini.

River tak mau mengalah, "That's my private space, justru menurut gue itu tempat teraman buat dia. Lo bakalan ngerti Ben kalo lo jadi gue, dan ngeliat sendiri gimana gilanya keadaan dia."

Wow. Ini pertama kalinya... River terlihat sekhawatir ini. Benjamin pun tak bisa mengelak lagi, sekeras apapun Ia membujuk River, pada akhirnya pria itulah yang memegang kendali atas misinya sendiri.

Akhirnya, Benjamin hanya bisa memberikan dukungan kepada teman akrabnya itu.

Setelah perbincangan selesai, River pun segera pamit untuk pulang terlebih dahulu. Dengan alasan, Ia takut kalau Katherine sudah menunggunya terlalu lama.

Benjamin terkekeh, "Sekarang ada istri yang harus diurus di rumah ya."

Sayangnya, River tak dapat mendengar godaan dari temannya itu.


Pintu apartment terbuka menampilkan River yang rapih dengan setelannya. Katherine pun segera bergegas pergi ke depan pintu, Ia menyambut pria itu dengan senyum simpulnya.

"I bought you something." seru River, lalu menyodorkan satu buah paperbag yang berisi beberapa croissant.

Katherine terlihat sangat antusias, Ia kemudian menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada River.

Sepergian wanita itu untuk menyantap croissant-nya. River tiba-tiba terpikirkan akan sesuatu, dan Ia baru saja menyadari hal ini.

Bagaimana bisa Katherine memahami perkataannya dengan baik? Walau lebih banyak membalas dengan gerakan wajah, tapi sepertinya wanita itu cukup mengerti dengan apapun yang River katakan.

Bukankah wanita itu dikurung sejak usia 2 tahun, otomatis Ia belum cukup umur untuk memasuki bidang sekolah, bahkan yang paling dasar. Lantas dari manakah Ia mempelajari hal itu?

River ingin sekali bertanya. Namun, Ia tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat. Mungkin beberapa saat lagi, ketika kondisi wanita itu sudah jauh lebih stabil.

Lagipula itu memang sudah ada di daftar misi miliknya, 'mewawancarai korban'. Menurut River, hal ini pasti akan sangat berguna untuk keperluannya di masa yang akan datang. Oleh karena itu, River akan bersabar lebih lama lagi menunggu waktu yang tepat untuk menginterogasi Katherine.

•••

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam. Katherine terbangun dari tidurnya, seluruh tubuhnya sudah dibasahi oleh keringat. Sepertinya Ia mimpi buruk lagi.

Wanita itu mengusap wajah, menyeka keringatnya. Kemudian meringkuk. Sial, sial, sial

Napasnya terasa sesak. Ia takut... lampu ruangan yang dimatikan berhasil mencekik lehernya seperti ruangan gelap tempat Ia dikurung dahulu.

Katherine perlahan-lahan mulai terisak. Perasaan tak nyaman ini kembali lagi... Rasanya seperti Ia akan ditelan oleh kegelapan, dan mati membusuk di dalam sana.

Di mana River? Ia sangat takut.

Akhirnya, dengan sisa keberanian yang Ia punya, Katherine beranjak dari tempat tidurnya dan mulai menyusuri apartment pria itu.

5 menit Katherine butuhkan untuk menemukan River yang tengah merokok di balkon. Ia pun segera menghampiri pria tersebut.

Alangkah terkejutnya ketika River membalikkan tubuhnya, dan menemukan Katherine yang sudah berlinangan air mata di sana. Wanita itu masih terisak kecil,

Dengan sigap, River segera mematikan rokoknya dan menyemprotkan cairan khusus agar seluruh asapnya menghilang. Setelah itu, Ia menghampiri Katherine.

"What's wrong? Mimpi buruk lagi ya?" tanya River, yang mendapatkan anggukan dari wanita tersebut.

"Kamu belum tidur?"

River menggeleng, "Not yet."

"Aku takut ruangan gelap."

"Maaf, Katherine. Aku lupa banget, my bad."

Mendengar permintaan maaf keluar dari bibir pria itu, Katherine menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tak sudi mendengar kata maaf dari pria yang telah menyelamatkan hidupnya. Tak boleh, justru Katherine-lah yang harus bersujud di hadapannya selama mungkin.

Setelah memastikan bahwa semua lampu ruangan sudah dalam keadaan menyala, River mengantar Katherine untuk kembali ke tempat tidurnya. Dan Ia pun merebahkan diri di sofa. Semenjak kemarin, Ia memang memutuskan untuk tidur di tempat yang berbeda. Ia tak mau membuat wanita itu merasa tak nyaman, walau sebenernya Katherine pun tak keberatan untuk tidur seranjang dengan River. Karena Ia merasa aman bersamanya,

Tak lama sesudahnya, River pun terlelap.

•••

Samar-samar River dapat mendengar bunyi hujan yang turun dengan sangat deras. Pukul berapa ini?

Ia mengernyitkan kedua alisnya dan memijat-mijat pelipisnya pelan. Kepalanya sakit.

"River..."

Pria itu sontak membuka kedua matanya, terkejut. Ketika Ia menoleh, ternyata Katherine sudah ada di sebelahnya dengan raut wajah yang ketakutan. Wanita itu menarik bagian ujung kaosnya.

'Sial.' batin River, kepalanya sakit sekali. Ia bahkan tak mampu membuka kedua matanya terlalu lama, semuanya terasa berputar.

"Sini..."

Dengan mata yang masih terpejam, River menyodorkan tangannya.

Awalnya, Katherine sempat merasa bingung. Namun, di detik selanjutnya, Ia menyambut sodoran tangan pria itu dengan hangat.

Lantas, River pun menarik tubuh mungil Katherine dan membawanya menuju dada bidangnya. Dengan posisi yang hanya bersandarkan pada lengan sofa, pria itu membiarkan Katherine tertidur di pelukannya.

Tangan kiri River Ia pakai untuk memeluk tubuh Katherine, sementara tangan kanannya Ia pakai untuk mengusap-usap punggung wanita itu agar merasa lebih baik.

Segala perasaan buruk Katherine seakan menghilang begitu saja. Ia menghela napasnya, berusaha menghirup aroma River yang mampu menenangkannya dengan sangat baik.

Sejak pertemuan pertama mereka, memang selalu begitu. River memiliki aroma manly yang mampu menenangkannya, juga memabukkannya pada saat yang bersamaan. Rasanya seperti, Katherine ingin melahap habis aroma itu.

Entah pukul berapa sekarang. Intinya, tak lama setelah itu... mereka berdua pun terlelap.


















•••

The Agent - jenrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang