1

20 4 0
                                    

Matahari terbenam tergantikan dengan bulan yang menandakan hari sudah malam.

Gavesha perlahan membuka matanya, gelap. Itulah yang pertama kali di tangkap indra penglihatannya.

Perlahan ia bangkit menuju saklar lampu yang berada di dinding kamar nya. Setelah menekan tombol hidup, barulah cahaya lampu menerangi kamarnya.

Gavesha tidak sengaja melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 20.13 wib.

"GILA." pekiknya tak tertahankan.

Dengan mata yang melotot ingin keluar dari tempatnya, Gavesha mengacak rambutnya frustasi.

Bisa-bisanya ia tidur begitu lama. Seinganya ia hanya memejamkan mata sejenak tadi sore untuk menghilangkan penat usai kembali dari kampus.

Ternyata ia kebablasan sampai membuka kembali matanya di malam hari.

Tidak ingin mengambil pusing, Gavesha melangkahkan kakinya memasuki kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Butuh sekitar tiga puluh menit Gavesha akhirnya keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih fresh. Gavesha hanya menggunakan kaos oversize dan hotpants, serta rambutnya yang di cepol tinggi memperlihatkan leher jenjangnya yang putih dan bersih.

Gavesha berjalan riang menuju ruang makan, ia beberapa kali bersenandung menyanyikan beberapa penggal lirik lagu favoritnya.

"Mbak Tika! Kok sepi? Yang lain pada kemana?" tanya Gavesha pada art yang kebetulan lewat.

Pasalnya keluarganya memiliki rutinitas berkumpul di ruang keluarga selesai makan malam. Tapi, Gavesha hanya mendapati kesunyian ketika melewati ruang keluarga.

"Den Rafka drop, bapak dan ibu membawanya ke Singapura tadi sore."

Gavesha menghentikan gerakan tangannya yang tengah mengambil lauk. "Drop?" tanyanya bingung.

Setaunya kondisi Rafka sudah bisa di bilang sangat baik usai menjalani beberapa perawatan. Kenapa penyakit adiknya itu tiba-tiba kembali kambuh.

"Iya Non." jawab mbak Tika seadanya.

"Kok aku gak di kasih tau ya, mbak?" tanya Gavesha usai mengecek ponselnya berharap ada satu pesan dari orangtuanya.

Tapi ia tidak mendapati satu notif pun dari keduanya.

"Mungkin tidak sempat Non, bapak sama ibu terlihat terburu-buru." jelas mbak Tika.

Gavesha berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk mengerti akan situasi sekarang.

"Yasudah mbak, mbak boleh pergi." ucap Gavesha.

Setelah kepergian mbak Tika, Gavesha memulai makan malamnya dengan pikiran yang entah melayang kemana. Mendapat kabar bahwa Rafka kembali kambuh membuat nafsu makannya lenyap begitu saja.

Makanannya yang baru sedikit ia sentuh terpaksa ia buang ke tempat sampah. Gavesha meneguk air dengan perlahan.

Ia kembali membuka ponselnya berharap ada kabar dari orangtuanya. Dua puluh menit menunggu, orang tuanya masih belum memberinya kabar.

Gavesha menimbang-nimbang apa dirinya bertanya saja kepada sang ibu bagaimana kabar Rafka. Sepertinya itu bukan sesuatu yang buruk.

Gavesha kembali membuka ponselnya dan menekan ikon memanggil pada nomor mamanya.

Panggilan pertama tidak di jawab, Gavesha tidak menyerah hingga panggilan ketiga barulah mamanya mengangkat panggilannya.

"Halo?" ucap Diva di seberang.

"Halo, Maa."

"Ada apa Vesha?"

"Gimana keadaan Rafka Maa?" tanya Gavesha.

Terdengar hembusan nafas berat dari seberang sana. Gavesha bahkan menahan nafasnya tidak siap mendengar kabar buruk.

"Rafka belum sadar" ujar Diva begitu lirih.

Gavesha meremas jemarinya takut. Takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan di hadapi keluarnya.

"Mama jangan putus asa ya Ma, kita doakan yang terbaik buat Rafka. Vesha yakin Tuhan pasti punya rencana indah untuk keluarga kita." ucap Gavesha mencoba menguatkan Diva.

"Iyaa, mama tutup dulu ya."

Sambungan telepon di putuskan begitu saja tanpa mendengar sepatah kata apapun lagi dari Gavesha.

Padahal gadis itu juga ingin mengetahui kondisi kedua orangtuanya. Apa mereka sudah makan, jika belum Gavesha akan menyuruh mereka untuk makan.

Tapi sepertinya Diva terlalu kacau untuk peduli pada kondisi dirinya sendiri. Terdengar jelas dari suara wanita itu bahwa keadaannya tidaklah baik-baik saja.

Mungkin semua orang tua juga akan seperti itu. Mana ada sih orang tua yang tidak khawatir jika anaknya sakit. Walaupun ada, mungkin saja mereka terlalu sakit untuk peduli dan akhirnya memilih abai.

Gavesha memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia teringat belum mengerjakan revisi pada lapraknya yang akan di kumpulkan besok.

"Ck, coba aja Gita gak bolos mulu, gue sama Anin kan gak bakal ribet kayak gini." gerutunya sambil membuka laptop.

Jari jemari lentiknya mulai menari di atas papan keyboard.

"Mana mata gue perih lagi. Ah tahan dulu dong. Dikit lagi kelar."

Tangan Gavesha terulur mengambil tissue. Ia mengelap air mata yang menghalau penglihatannya, hal itu sudah terbiasa jika Gavesha terlalu lama menatap layar monitor.

Dua puluh menit kemudian akhirnya Gavesha selesai merevisi lapraknya. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya yang pegal akibat terlalu lama duduk. "Akhirnya kelar juga."

Gavesha menutup kembali laptopnya dan membereskan beberapa barang yang terlihat berantakan di atas meja belajarnya. "Waktunya tidur!!!"

Ketika akan memejamkan matanya, Gavesha teringat akan adiknya, Rafka. Semoga adiknya cepat sembuh dan kembali ke rumah dalam kondisi yang sehat.

Sisa Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang