3

9 4 0
                                    

Seperti kata dokter Irfan kemarin sore, siang ini Gavesha kembali ke rumah sakit setelah berpuasa setengah hari.

"Kamu siap?" tanya dokter Irfan.

Gavesha mengangguk sebagai jawaban. Ia di persilahkan untuk mengganti pakaian dengan baju khusus yang sudah di siapkan.

Setelah itu, Gavesha terlebih dahulu mendapatkan suntikan kontras intravena pada tubuhnya.

Kemudian Gavesha di bimbing oleh salah satu perawat untuk memasuki ruangan yang terdapat alat Ct Scan.

"Silahkan berbaring." ucap perawat itu.

Dengan patuh Gavesha membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang nantinya akan di masukkan ke dalam alat Ct Scan.

"Apa ini akan lama?" tanya Gavesha pelan.

Suster itu menggeleng. "Hanya beberapa menit."

Baiklah. Hanya beberapa menit, bukan? Gavesha pasti bisa melewatinya.

"Jangan tegang Gavesha, kamu harus rileks." ucap dokter Irfan.

Sebisa mungkin Gavesha merilekskan tubuhnya yang menegang takut. Ia berdoa agar semuanya berjalan lancar.

"Kita mulai." ucap dokter Irfan.

Dokter Irfan mendorong tempat tidur Gavesha memasuki alat yang berbentuk seperti donat itu.

Donat? Yah, hanya itu yang terlintas di benak Gavesha ketika melihat alat Ct Scan.

Setelah sepuluh menit, Gavesha di keluarkan dari dalam alat Ct Scan.
Ia di minta untuk beristirahat di ruang rawat selama satu jam.

Tujuannya untuk memastikan zat kontras tidak menimbulkan reaksi pada tubuh usai mendapatkan suntikan.

"Apa yang kamu rasakan?" tanya dokter Irfan.

"Em, sedikit panas dan lemas."

Dokter Irfan menggangguk mengerti. Beliau menyerahkan sebotol air mineral yang di sambut pelan oleh Gavesha.

"Minum! Puasamu sudah cukup." ucap dokter Irfan.

"Kapan hasil nya akan keluar?" tanya Gavesha.

"Mungkin dua hari lagi. Saya akan menghubungimu begitu hasilnya keluar."

"Apa....." Gavesha terdiam ragu untuk melanjutkan pertanyaan yang ingin ia keluarkan.

"Apa ada kemungkinan hasil yang buruk?" lirihnya dengan tangan meremas kuat botol air di tangannya.

Dokter Irfan yang mengetahui bahwa pasiennya tengah merasa takut pun menyahuti. "Apapun hasilnya nanti, mari berdoa agar itu bukan sesuatu yang buruk."

                               *****

Pukul lima sore Gavesha baru tiba di rumahnya. Ia merasa kelelahan, energinya seperti di tarik habis setelah keluar dari alat Ct Scan.

Dengan lesuh Gavesha memasuki rumahnya. Ia terus berjalan, tujuannya hanya kamar. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Ketika ingin mencapai anak tangga, pandangan Gavesha memburam, kakinya lemas.

Diva yang baru selesai memasak untuk makan malam buru-buru menghampiri Gavesha yang terlihat hampir tumbang di undakan tangga.

Bisa Diva lihat putrinya itu terlihat pucat dan tak bertenaga. Diva membawa putrinya ke kamar.

"Kamu sakit?"

Nada khawatir dari Diva membuat Gavesha tersadar. Ia menggeleng pelan. "Enggak Maa, Vesha cuma kelelahan."

"Ya ampun Vesha. Kamu harus menjaga kesehatanmu. Mama gak mau kalau kamu ikutan sakit, Mama gak bisa ngerawat kamu."

"Kenapa?" tanya Gavesha.

Diva tidak paham kemana arah pertanyaan putrinya. "Apa yang kenapa?"

"Kenapa mama gak bisa ngerawat Vesha?"

"Kamu kan tau kalo Rafka itu sakit parah. Mama enggak bisa lepas kontrol dari Rafka, dia butuh Mama. Jadi Mama mohon kamu sebisa mungkin tetap sehat ya,"

"Jadi kalo semisal Vesha sakit Mama gak bakal peduli?" tanya Gavesha.

"Bukan gitu. Intinya kamu gak boleh sakit."

"Iya Maa, Vesha usahain. Vesha mau istirahat tolong tutup pintunya." ucap Gavesha. Gadis itu memejamkan matanya setelah berhasil berbaring di atas kasur.

Ia memikirkan ucapan mama nya tadi. Apa bener mamanya tidak akan merawat nya jika ia sakit? Apa Diva akan lepas tanggung jawabnya sebagai seorang ibu untuk Gavesha? Apa keluarganya tidak akan ada yang peduli jika ia jatuh sakit?

Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan di otak Gavesha. Tubuh Gavesha bergetar, ia menangis. Menangisi kemungkinan-kemungkinan buruk yang menimpanya.

Selama ini, ia memang selalu tersingkirkan oleh Rafka. Rafka selalu mendapatkan apa yang tidak Gavesha dapatkan. Dari hal kecil seperti kehadiran kedua orangtuanya ketika ia wisuda TK. Hari pertama di SD yang di temani orangtua, pengambilan raport atau hanya sekedar menjemput dan mengantarnya ke sekolah. Gavesha tidak pernah mendapatkan semua itu, Gavesha tidak pernah merasakannya.

Orang tuanya hanya fokus pada Rafka. Gavesha bahkan tidak pernah di izinkan untuk hanya sekedar mengeluh capek ketika pulang sekolah.

Karena jarak umur yang hanya selisih satu tahun dengan Rafka, membuat Gavesha kekurangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.

Sedari kecil Gavesha sudah di asuh oleh mbak Tika. Mbak Tika yang selalu merawatnya ketika sakit, mbak Tika juga yang menjadi walinya selama ini.

Meski begitu Gavesha tidak pernah membenci Rafka. Ia tahu ketika Diva hamil untuknya, mamanya itu mengharapkan sosok anak laki-laki. Tapi tuhan malah memberikannya anak perempuan.

Maka dari itu ketika Rafka lahir kedua orang tuanya begitu bahagia sampai melupakan keberadaan Gavesha.

Kalau di tanya iri, Gavesha akan menjawab bahwa ia iri. Gavesha kerap kali merasa iri atas apa yang di berikan olah mama dan papanya kepada Rafka.

Tapi sebisa mungkin gadis itu menahan rasa iri yang seharusnya tidak ia miliki. Bagaimana pun Rafka adiknya, sodara sedarah satu-satunya yang ia punya.

Sisa Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang