Setelah menghabiskan waktu selama satu Minggu di Singapura, kedua orang tua Gavesha akhirnya kembali ke rumah. Mereka tidak hanya berdua, ada Rafka yang ikut pulang karena kondisinya yang sudah membaik.
Ruang makan terlihat kembali hidup setelah seminggu hanya di isi oleh Gavesha seorang diri. Bahkan gadis itu lebih sering makan di dalam kamarnya.
Gavesha tidak menyukai kesunyian, tidak juga menyukai keramaian. Gadis itu berada di posisi netral.
Dari ujung tangga Gavesha bisa melihat betapa telaten nya sang mama menyiapkan sarapan untuk Rafka. Tidak jauh, Gavesha dapat menangkap Varez, sang papa yang sedang membaca koran, serta Rafka yang memegang kepalanya pusing mendengar ocehan sang mama, terlihat begitu dramatis tapi Gavesha senang melihatnya. Setidaknya adik laki-lakinya itu sudah kembali sehat.
Dari tempatnya berdiri, Gavesha tersenyum senang akhirnya setelah penantian selama seminggu keluarganya kembali berkumpul hangat di dalam rumah yang belakangan ini suram karena kekurangan penghuni.
"Selamat pagi." sapa Gavesha mendekati meja makan.
"Pagii." sahut Rafka berbarengan dengan kedua orangtuanya.
"Gimana keadaan lo?" tanya Gavesha setelah memberikan pelukan hangat pada adiknya.
"Lebih baik dari sebelumnya." jawab Rafka dengan senyum tipis.
"Kenapa tiba-tiba drop lagi sih?"
"Ya mana gue tau, tiba-tiba aja gue serasa di tarik nyawa."
"Hust, jangan ngomong sembarangan. Ingat ucapan itu doa." tegur Diva tidak suka akan ucapan Rafka.
"Maaf Maa."
"Kamu juga Vesha, jangan ajak Rafka bicara lagi. Cepat sarapan, hari ini kamu masuk jam berapa?"
Gavesha menyengir sebelum berdehem pelan. "Aku masuk siang Maa."
"Yasudah ayo sarapan." ajakan tak terbantahkan dari Varez akhirnya membuat mereka duduk di kursi masing-masing dengan makanan yang sudah tersaji rapi di atas meja.
"Apa gak kebanyakan itu obatnya?" tanya Gavesha memberi tatapan ngeri pada butiran obat yang hendak di telan Rafka.
Rafka mengedikkan bahunya acuh. "Udah biasa gue tuh." ucap Rafka seadanya.
"Mah, itu apa gak bisa di kurangin lagi obatnya Rafka?"
"Enggak bisa Vesha, itu udah sesuai sama yang di resepkan dokternya."
Mendengar itu, Gavesha menghela nafasnya pelan, ia menatap prihatin kepada Rafka.
"Jangan liat gue kayak gitu, gue males ngapus air mata lo." cetus Rafka saat mendapati tatapan mengasihani dari kakaknya. Mata Gavesha sudah berkaca-kaca siap menerjunkan air mata yang hampir tumpah.
"Ish lo mah. Gue tuh kasian sama adek gue yang harus bergantungan sama obat-obatan itu."
"Mau gimana lagi. Udah takdir gue yang kayak gini." balas Rafka terlihat enteng.
Tanpa ada yang menyadari, Diva diam-diam menitikkan air matanya. Hatinya sakit ketika mendengar ucapan Rafka yang terdengar santai. Wanita itu tahu putranya itu sangat kesulitan selama ini.
Hidup bergantungan dengan obat-obatan bukanlah hal yang menyenangkan. Jika bisa, Diva ingin menggantikan posisi Rafka. Biarkan dirinya yang merasakan rasa sakit putranya itu.
Rafka masih memiliki cita-cita yang ingin di capainya. Diva tidak tega jika putranya itu harus berjuang dalam melawan penyakitnya.
*****
Gavesha berjalan pelan menuju parkiran di mana mobilnya terparkir. Ia sedikit merenggangkan otot-otot nya yang terasa kaku setelah melakukan presentasi mengenai laporan praktikum nya yang sudah ia revisi tadi malam.
Tadi di kelas pak Herman tanpa aba-aba memberikan kuis yang kembali membuat Gavesha memutar otak nya yang memang sudah kelelahan akibat laporan praktikum sekarang bertambah lelah.
Gavesha meremas pelan rambutnya mencoba menetralisir rasa pusing yang tiba-tiba hinggap di kepalanya. Dengan sedikit kesusahan Gavesha berhasil mencapai pintu mobilnya.
Rasa pusing yang kian bertambah membuat Gavesha memejamkan matanya dengan tangan yang mencengkram setir mobil begitu kuat.
Keringat dingin membanjir kening dan leher gadis itu. Rasa pusing itu berlangsung beberapa menit hingga akhirnya mereda.
Gavesha meraih botol air mineral dan meneguknya dengan cepat. Degup jantungnya melemah, Gavesha takut.
"Gue kenapa?" tanya Gavesha entah kepada siapa.
Ia menatap pantulan dirinya dari cermin yang ada di dalam mobil. Bibirnya terlihat pucat padahal tadinya ia tidak seperti ini.
"Kayaknya gue harus ke rumah sakit." gumangnya.
"Iyaa, harus."
Sepertinya ia memang harus ke rumah sakit. Pasalnya pusing yang tiba-tiba tadi bukanlah sesuatu yang biasa. Gavesha harus memastikan apa penyebab ia merasa pusing yang teramat sakit.
Gavesha segera menjalankan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
Tiba di rumah sakit, Gavesha berjalan cepat menuju ruang pemeriksaan kesehatan. Langkahnya perlahan memelan ketika ia hampir mencapai ruang pemeriksaan.
Gavesha mengetuk pintu kayu di depannya beberapa kali sebelum akhirnya membuka pintu itu.
Gavesha memasuki ruangan itu tak lupa ia kembali menutup pintu. Di dalam sudah ada dokter Irfan di balik meja kebesarannya.
"Silahkan duduk Gavesha." ucap dokter Irfan mempersilahkan.
Gavesha mengangguk, ia menarik satu kursi yang ada di depan dokter Irfan.
"Jadi apa keluhanmu?" tanya dokter Irfan setelah Gavesha duduk nyaman.
"Saya merasa pusing dok."
"Selain pusing?"
Sebelum menjawab Gavesha mencoba mengingat apa yang belakangan ini ia rasa. "Emm, terkadang saya juga sering melupakan sesuatu," jawabnya.
"Bisa kamu contohkan?"
"Saya beberapa kali melupakan tempat keberadaan saya dok, seperti orang linglung."
"Belakangan ini saja juga merasa pusing. Tapi itu bukan pusing seperti biasa, rasanya ini begitu menyakitkan."
"Apa kamu kesulitan tidur di malam hari?"
"Tidak."
"Kita tidak dapat mengetahui apa penyebab kamu merasa pusing yang teramat. Mendengar penjelasan kamu, saya menyarankan agar kamu kembali lagi besok untuk melakukan Ct Scan pada bagian kepala."
"Kenapa harus besok dok? Apa gak bisa sekarang aja?"
"Karena untuk melakukan Ct Scan, ada beberapa prosedur yang harus kamu ikuti. Jadi akan lebih baik jika kamu kembali besok." jelas dokter Irfan.
"Prosedur?"
Dokter Irfan menggangguk. "Kamu di haruskan untuk berpuasa sebelum melakukan Ct Scan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisa Waktu
RandomCerita tentang seorang anak yang selalu menyembunyikan rasa sakitnya. Menyembunyikan pahitnya kehidupan, dan selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Padahal, ia sedang menopang semua beban hidupnya sendirian. Membohongi orang-orang di sekitarnya de...