9

3 2 0
                                    

Beberapa orang hidup seolah semuanya baik-baik saja. Padahal nyatanya mereka hidup bersama luka.

Ada patah hati, kecewa, dan kesedihan yang tidak pernah orang lain lihat padahal sakitnya tidak main-main.

Gavesha gadis yang di luar tampak ceria ternyata menyimpan luka. Luka yang tidak ingin ia bagi dengan orang lain.

Untuk apa berbagi, itu hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan di hadapan orang lain. Pikir Gavesha.

Gavesha terlihat kosong pagi ini. Varez sang papa menyadari hal itu. Sedari tadi Varez terus memerhatikan putrinya yang duduk diam melamun tidak seperti biasanya yang selalu mencoba membuka obrolan dengannya.

Bahkan sudah beberapa kali Varez menegur Gavesha yang hanya memainkan makanya. Tetapi gadis itu tidak mendengarnya.

Menghela nafas gusar, Varez memilih menyentuh tangan putrinya yang terasa dingin. Hal itu sontak membuat Gavesha terkejut. Ia tatap Varez yang juga menatapnya.

"Papa!" lirihnya.

"Ada apa Vesha? Papa merhatiin kamu dari tadi ngelamun. Ada masalah?" tanya Varez lembut.

Hati Gavesha tergerak untuk berbagi. Tapi urung ketika ia melihat raut kelelahan Varez. Bahkan di pagi hari papa nya terlihat begitu lelah. Entah beban apa yang beliau tanggung.

Gavesha menggeleng pelan. "Enggak ada Pah! Semuanya baik-baik saja." ucap Gavesha.

Yah, semuanya baik-baik saja. Semoga. Batin Gavesha lanjut.

"Bener gak ada masalah?"

Gavesha menggangguk mantap. Ia bertekad tidak ingin menambah beban Varez, itu sebabnya ia tidak akan memberi tahu tentang tumor yang sudah bersarang di kepalanya.

Varez menatap lekat putrinya. Meski Gavesha mengatakan dia baik-baik saja, Varez sebagai orang tua tahu pasti bahwa putrinya itu hanya pura-pura terlihat baik-baik saja.

Gavesha pintar sekali membohongi orang-orang di sekitarnya dengan topeng yang selalu ia gunakan. Terlihat ceria nyatanya tidak. Terlihat baik-baik saja nyatanya ia tidak baik-baik saja. Terlihat kuat nyatanya sangatlah rapuh. Itulah topeng yang selalu ia pasang di depan orang lain.

"Vesha! Vesha anak papa kan, Vesha boleh cerita apa aja sama papa. Papa siap mendengar apapun yang Vesha curahkan. Jadi papa harap Vesha tidak menanggung semuanya sendirian." ujar Varez begitu lembut.

Gavesha ingin menangis rasanya. Ia ingin sekali berlari ke dalam pelukan Varez dan mencurahkan segala keluh kesahnya yang selama ini selalu ia pendam sendirian.

Ia ingin berbagi banyak cerita dengan Varez dan Diva. Tapi semesta seolah memaksanya bisu. Ia tidak bisa melakukan hal yang begitu mudah di lakukan orang lain.

Gavesha tersenyum pedih. Terkadang ia bertanya-tanya kesalahan apa yang pernah ia perbuat sehingga takdirnya begitu kejam.

Tapi kemudian Gavesha sadar. Sadar bahwa tidak semua hal sesuai dengan yang kita inginkan. Tidak semua hal sesuai dengan yang kita harapkan, yang pada akhirnya kita belajar perihal bagaimana cara menerima keadaan tanpa menyalahkan kenyataan.

                               *****

Diva sedang membersihkan meja makan usai sarapan pagi. Wanita itu terlihat sibuk membawa peralatan kotor ke wastafel untuk ia cuci.

Diva terlihat senang mengerjakan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Tidak ada alasan baginya untuk membenci pekerjaan sosok irt.

Bahkan mbak Tika sebagai art di rumah ini Diva suruh untuk mengerjakan hal lain. Mereka membagi tugas. Lebih tepatnya Diva hanya mengerjakan beberapa saja. Sepertinya memasak, mencuci piring dan menyiram bunga. Hanya itu.

Setelah semua bersih dan tertata rapi di tempat semula, Diva membersihkan tangannya. Wanita itu kemudian melangkah meninggalkan dapur menuju ruang bersantai.

Terdapat Varez yang sedang melakukan pekerjaannya di rumah. Pria itu tidak ke kantor hari ini sebab siang nanti ia akan terbang ke London menemui rekan bisnisnya di sana.

"Mau di buatkan kopi mas?" tanya Diva.

"Tidak usah. Duduk dulu, mas mau ngomong."

Diva menurut. Ia memilih duduk di sofa singel yang berhadapan dengan Varez. "Mau ngomong apa mas?"

"Mas perhatiin hari ini Vesha terlihat berbeda. Dia jadi pendiam dan banyak melamun."

"Mungkin dia sedang datang bulan. Hormonnya tidak stabil yang menyebabkan dia seperti itu."

Varez melihat istrinya yang terlihat acuh tak acuh. Ia paham bahwa istrinya tidak terlalu menyukai anak perempuan. Tapi bukannya sebagai seorang ibu ia tidak seharusnya acuh tak acuh kepada putrinya.

"Diva tolong kamu tanyakan apa dia sedang ada masalah di kampus atau lainnya." ujar Varez.

"Memangnya kenapa jika dia sedang mempunyai masalah. Toh, Vesha sudah terbiasa menghadapi masalahnya."

"Meski sudah terbiasa bukan berarti kita sebagai orang tuanya bersikap acuh. Mas tau kamu kurang menyukai anak perempuan. Tapi Vesha putri kita."

"Halah palingan itu hal biasa mas. Mas enggak perlu khawatir kayak gini. Kalo dia enggak sanggup ngatasin masalahnya sendiri pasti dia bakal minta bantuan kita."

"Diva! Mas mohon." Varez menatap penuh harap pada Diva. Ia berharap besar kepada istrinya.

"Aku gak mau. Kenapa bukan kamu aja yang nanya?"

"Aku udah nanya, tapi Vesha bilang dia baik-baik aja."

"Kalo Vesha jawab gitu berarti dia baik-baik aja. Mas ngapain ngekhawatirin hal yang gak penting." Diva berucap enteng.

"Enggak penting kata kamu? Diva, Vesha itu putri kita dia anak yang kamu lahirin. Tapi kamu---"

"Udah lah mas. Jangan meributkan hal yang kayak gini. Aku males ribut. Lagian kenapa baru sekarang kamu perhatian sama Vesha?" potong Diva cepat.

Varez termangu. Benar kenapa baru sekarang dia memperhatikan putrinya. Kemana dirinya selama ini, bahkan hanya sekedar mengetahui putrinya pintar memasak saja, ia tidak tahu.

Wanita itu bangkit dari duduknya. "Yang perlu kita khawatirkan itu Rafka. Rafka lebih membutuhkan kita dari pada Vesha."

"Kita sebagai orang tua tidak seharusnya lepas tanggung jawab pada satu anak kerena anak yang lainnya. Setiap anak membutuhkan peran orang tua dalam hidupnya." tegas Varez mencoba menyadarkan istrinya.

"Kalo gitu mas aja yang berperan untuk Vesha." ucap Diva yang mulai kesal.

"Aku memang bisa berperan sebagai seorang ayah. Tapi Vesha juga membutuhkan peran seseorang ibu di dalam hidupnya."

"Aku gak bisa. Rafka butuh aku mas. Kamu bisa ngerti gak sih."

Diva mulai tersulut emosi. Wajahnya memerah. "Lagi pula Vesha baik-baik saja kan. Selama ini juga kamu diam aja tuh, gak pernah kayak sekarang."

Deg!!!
Lagi, perkataan Diva memang benar. Selam ini Varez hanya diam. Dia seolah tutup mata akan kehidupan putrinya.

Varez mengusap wajahnya kasar. "Tolong Div. Kali ini aja."

"Aku gak mau!"

"Diva! Vesha memang terlihat baik-baik saja. Dia tidak pernah menuntut kita sebagai orang tuanya. Apa kamu tidak merasa bersalah telah lalai menjadi orang tua?"

Diva hanya diam. Dia tidak ingin menjawab yang akhirnya hanya akan memperpanjang masalah.

"Aku takut Div! Vesha begitu tenang, aku takut akan ada waktunya dia meledak dan kita sebagai orang tua akan menyesal nantinya." Varez berkata lirih.

Pria itu menitikkan air matanya. Varez tidak berbohong saat mengatakan bahwa dia takut. Nyatanya memang seperti itu. Varez takut suatu saat ia akan menyesal telah abai akan Vesha selama ini.

Memang apa yang terlihat tenang di luar belum tentu di dalam juga tenang. Seperti gunung berapi. Ketika ia masih mampu menahan laharnya maka ia akan terlihat tenang seperti gunung biasa, tapi ada saat dimana gunung itu tidak sanggup lagi menahan letupan dari dalam maka itulah saatnya ia meledak dan mengeluarkan lahar yang mematikan mematikan.











Sisa Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang