Chapter Three - Pulang

28 0 0
                                    

Gelap. Tempat itu amatlah gelap. Suram, tanpa cahaya. Arya memandang sekitarnya, mencoba mencari setitik cahaya di tengah kegelapan tersebut. Namun, hasilnya nihil. Yang ia temukan hanyalah kegelapan tak berujung.

Aku berada di mana? Seingatku tadi aku lagi naik motor di perjalanan pulang ke rumah, deh.

Sayup-sayup terdengar suara dari suatu tempat. Arya melihat ke sekelilingnya, mencari sumber suara tersebut.

"Dokter, bagaimana kondisinya? Kenapa sampai sekarang dia belum sadar?"

"Dia tidak apa-apa, sepertinya kepalanya hanya terkena benturan ringan. Sebentar lagi dia pasti bangun."

Suara itu masuk ke dalam telinga Arya, tapi ia tak bisa menemukan sumbernya dari mana. Ia pun berlari ke ujung kanan, ujung kiri, depan dan belakang. Nihil. Ia tetap tak menjumpai adanya orang lain di tempat tersebut. Ia pun terduduk diam. 

Apa aku akan terjebak selamanya di sini? Tak adakah cara untukku keluar dari sini?

"Arya! Bangunlah, Arya! Tolong buka matamu!"

Satu suara itu membuyarkan lamunan Arya. Ia berdiri dan kembali mencari dari mana suara itu berasal. Matanya jelalatan ke sana kemari. Akhirnya ia menemukan setitik cahaya dan berusaha untuk menggapainya, tiba-tiba cahaya itu berubah menjadi begitu terang dan pekat sebelum akhirnya menghilang.

Arya membuka matanya perlahan. Ugh, silau. Ia mengernyit. Ini di mana?, batinnya.

"Arya! Arya!" teriakan Icha bergema di telinga Arya. Wajah gadis itu tampak panik. "Kamu sudah sadar? Dokter, Arya sudah sadar! Dokter..!" ia pun memanggil dokter yang bertanggung jawab terhadap Arya.

Arya berusaha untuk bangun, tapi kepalanya terasa pusing. Akhirnya ia menyerah dan kembali berbaring.

"Kamu jangan bangun dulu untuk sementara waktu. Kepalamu tadi sedikit terbentur, jadi pasti akan pusing." dr. Adrian yang menangani Arya saat pingsan tadi datang dan menoyor kepala Arya pelan. 

"Lagian, kamu itu gimana sih Arya, kok bisa sampai kecelakaanbegitu?" Yudi yang tiba-tiba muncul langsung memasang muka kesal sekaligus khawatir. 

Arya hanya bisa meringis dikerubungi oleh mereka. Ia pun melirik Icha yang hanya terdiam dari tadi. "Kamu yang nolong aku pas kejadian ya, Cha? Makasih, ya." 

Dan, makasih juga atas panggilanmu saat aku tak sadarkan diri tadi, ucap Arya dalam hati.

Icha yang kaget karena tak menyangka akan disapa Arya pun tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama. Kamu cepat pulih lagi, ya." 

"Oh ya, by the way, kamu punya kontak orang tuamu nggak, Ya? Tadi kami mau menghubungi mereka, tapi karena nggak ada yang punya kontak mereka jadi belum sempat dihubungi."

Arya terdiam mendengar pertanyaan dr. Adrian. "Um.. kalau boleh tahu untuk apa ya, Dok?"

"Kamu ini gimana, sih. Tentu saja orang tua kamu harus tahu kondisi kamu sekarang. Anaknya kecelakaan masa mereka nggak dapat info apa-apa." dr. Adrian berdecak mendengar pertanyaan Arya yang dianggapnya konyol.

"Um... saya nggak apa-apa kok, Dok. Nggak perlu sampai menghubungi orang tua saya." Arya tersenyum dan menolak sopan. "Nih, lihat. Saya sehat-sehat aja, kan?" Ia mencoba bangun dari tempat tidur dan menggerak-gerakkan badannya.

dr. Adrian mencoba membantah. "Tapi, Arya..." Ia terhenti saat melihat sorot mata tajam Arya, seolah mengatakan 'tidak' dengan tegas. Anak ini keras kepala sekali. Kenapa sih dia nggak mau ngasih tahu nomor ponsel ortunya? 

dr. Adrian mendesah. Lebih baik ia mengalah saja. "Baiklah kalau begitu, tapi kamu harus ngabarin ortumu nanti, Ya!" perintah dr. Adrian yang dijawab dengan anggukan kepala Arya.

"Saya juga sudah boleh pulang kan, Dok?"

"Eh, tunggu dulu. Kamu kan baru sadar, masa langsung pulang gitu aja." cegah Yudi dan Icha bersamaan.

Arya mengangkat kedua tangan dan menggerakkan kakinya. "Tapi aku nggak apa-apa, kok. Nih, sehat banget, kan." bantahnya.

Yudi, Icha, dan dr. Adrian kehabisan kata-kata terhadap pernyataan Arya yang tak masuk akal itu. Mereka akhirnya menyerah. Arya jika sudah bertekad, maka ia akan tetap teguh pada pendiriannya. 

"Iya, pulanglah. Besok kamu istirahat dulu di rumah, nanti saya yang mintakan izin ke departemen-mu." ujar dr. Adrian. "Kamu bisa pulang sendiri?"

Arya tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Dok. Insya Allah bisa, naik gocar aja paling." Ia pun melompat turun dari kasur dan mulai membereskan barang-barangnya.

Icha menatap Arya gelisah. "Kamu beneran nggak mau nelpon ortumu dulu, Ya?"

Gerakan Arya terhenti. Ia membalas singkat, "Nggak usah. Toh, aku juga mau pulang ini."

"Tapi..."

"Beneran nggak apa, Cha." Arya membalikkan badannya dan menatap Icha tegas. Gadis itu pun terdiam. "Aku duluan, ya. Salam buat yang lain."

Icha terpaku menatap punggung Arya yang berjalan menjauh. "Kenapa dia sekeras itu menolak untuk menghubungi orang tuanya..?" batinnya heran.

***

Langit sudah sangat gelap saat Arya menginjakkan kaki di rumahnya. Ia pun langsung mengucapkan salam seolah tidak terjadi apa-apa.

TOK! TOK!

"Assalamu'alaikum.. Arya pulang Pak, Bu."

Terdengar derap langkah yang tergesa-gesa mendatangi Arya. Sesosok wanita paruh baya dengan jilbab lebarnya tiba di pintu depan, menatap Arya dengan pandangan tak percaya.

"Sepertinya Ibu belum baca pesan yang Arya kirim tadi, ya?" Arya mengecup pelan punggung tangan ibunya. 

Ayudia--Ibunya Arya--hanya bisa mengangguk pelan dan menangkupkan pipi anaknya ke kedua telapak tangannya, meraba seisi wajahnya, takut jika ini semua hanya mimpi. Ia lalu menangis terharu, anak yang dinantikannya akhirnya pulang ke rumah. Sudah hampir 2 bulan Arya tak pernah pulang dan terus tinggal di kosan. 

Tak lama, sesosok pria tinggi tegap berkulit sawo matang dan rambut lurus muncul dari dalam rumah, lengkap dengan baju koko dan pecinya. Mahardika--Ayahnya Arya--baru saja pulang dari musholla untuk melaksanakan sholat Isya dan hendak makan malam saat ia melihat istrinya berlari tergopoh-gopoh ke arah depan. 

"Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Mahardika pada anaknya, yang dijawab dengan anggukan pelan Arya. "Kalau begitu, ayo kita makan bareng sini." 

Arya mengikuti langkah kaki Ayudia dan Mahardika ke dalam rumah dan memandang punggung kedua orang tuanya. Tiba-tiba matanya terasa basah, air matanya hendak merebak keluar. Ia menepuk bahu ibunya pelan dan memberikan isyarat bahwa ia akan masuk ke kamarnya dan mandi terlebih dahulu. Ayudia mengangguk dan lanjut berjalan menuju meja makan sambil menjelaskan ke Mahardika.

Di dalam kamar, Arya bersimpuh di balik pintu dan terisak pelan. Keluarganya bukanlah keluarga yang sama seperti dulu lagi. Lebih tepatnya, keluarganya bukanlah seperti keluarga 'normal' lainnya. Mereka... berbeda, terutama ayah dan ibunya.

Ingatannya pun melayang ke kejadian dua tahun lalu, saat insiden itu mengubah segalanya.

***

20/04/2024. 1025 words.

CODA (Ruang Bicara) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang