BRUK!
Arya menghempaskan tubuhnya di atas kasur dengan penuh kekesalan. Tas punggung ia letakkan sembarangan di lantai, sepatu berserakan di belakang pintu karena malas ia letakkan di rak sepatu, dan jaket ia sampirkan begitu saja di atas kursi. Otak dan tubuhnya sudah begitu lelah beberapa hari ini. Masalah yang datang bertubi-tubi membuatnya malas melakukan apapun.
Pikirannya melayang ke insiden di rumah sore hari beberapa hari yang lalu, saat tak disengaja perkataannya malah menyakiti hati ibunya dan akhirnya ia memutuskan untuk kabur ke kosan, tak pulang ke rumah untuk sementara waktu. Ia sempat bertemu ayahnya sebentar saat ia baru pulang kerja dan menitipkan obat untuk ibunya, sebelum besoknya ia pamit pergi untuk menginap di kosan. Bahkan ia pun tak bisa melihat batang hidung ibunya keesokan harinya hanya untuk sekedar pamit. Sepertinya beliau masih sakit hati terhadap Arya.
Ia mengacak-acak rambutnya kesal. "Arghh... sial. Kenapa jadi ruwet seperti ini, sih?"
Ia mengecek ponselnya dan melihat jam menunjukkan pukul 18:08 WIB. Sudah masuk waktu Maghrib. Sepertinya ia harus sholat dulu sebelum mencari makan malam.
***
Keseharian Arya selama proses minggat dari rumah yang sudah berlangsung satu minggu tersebut banyak dihabiskan di rumah sakit. Berkutat dengan laporan kasus, journal reading, praktikum bed side, dinas pagi dan malam, dan juga kegiatan halaqah dengan teman-teman kampusnya. Ia hampir tak ada waktu untuk merenungkan permasalahan di keluarganya, bahkan momen untuk membalas pesan atau telpon dari orang tuanya pun sering ia lewatkan.
Siang itu Arya masih menangguhkan pesan dari ayahnya yang masuk ke ponselnya, sampai ayahnya bertanya lagi dengan nada agak marah:
Kamu mau sampai kapan tak mengacuhkan pesan orang tuamu? Atau kamu memang berniat tak pernah pulang selamanya ke rumah dan meninggalkan kami?
Setelah membaca pesan itu ia pun langsung membalas:
Maaf, Pak. Arya bukannya sengaja tak membalas pesan-pesannya, tapi ini memang baru sempat balas. Seminggu kemarin jadwal Arya cukup padat di RS. Bapak dan Ibu gimana kabarnya, sehat semua?
Ia mengeklik tombol 'kirim' dan mematikan paket data internet ponselnya dan kembali fokus ke layar laptop. Tugas jurnal yang harus diselesaikan hari ini baru separuh ia kerjakan, sementara deadline pengumpulan tinggal 2 jam lagi. Artinya, ia harus ngebut untuk mengetik, printing, lalu menjilid laporan tersebut.
"Haah... sepertinya tak ada satupun masalahku yang beres," gumamnya.
***
"Hoi, Ya! Lagi ngelamunin apa, sih? Kayaknya beban hidupmu berat banget, deh."
Salah satu rekan sekelompok koas Arya, yaitu Yoga, datang menghampiri Arya saat ia tengah duduk termenung di CFC. Makanan yang ada di hadapannya menganggur begitu saja belum terjamah olehnya.
Arya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Yoga. "Biasalah, Bro. Masalah hidup kayaknya nggak ada habisnya. Belum masalah di rumah, di tempat kuliah, apalagi percintaan."
"Jarang-jarang nih Arya bahas percintaan. Emang lagi ada yang deket?" goda Yoga.
Arya menggeleng. "Hahaha, enggak juga sih, Ga. Emang dasaran akunya aja yang galau," sahutnya.
Yoga tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya berkata lagi, "Tapi seriusan nih, kamu ada masalah apa? Kalau ada yang bisa kubantu, akan kubantu."
Arya terdiam mendengar penuturan Yoga. Ia belum siap jika harus menceritakan tentang kondisi keluarganya sekarang. Apalagi ia dan Yoga tidak sedekat itu dan tipikal karakter Arya memang tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
CODA (Ruang Bicara) [COMPLETED]
General Fiction{general fiction - medical} Apa yang harus dilakukan jika kamu terlahir berbeda dari keluargamu yang lain? Arya, seorang CODA (Child of Deaf Adult) yang berusaha beradaptasi dengan berbagai polemik dalam hidupnya, terutama cita dan cintanya. Pertem...