-- Tidak ada yang lebih membahagiakan selain rahasiamu dan aib-aibmu yang ditutup rapat. Namun, apa yang harus dilakukan apabila rahasia-rahasia kelammu tiba-tiba terkuak begitu saja tanpa diminta? --
***
Mahardika bangun cukup siang hari itu. Berhubung ia tidak ada jadwal ke pabrik hari ini, jadi ia bisa sedikit bersantai. Ia melirik ke arah tempat kosong di sampingnya, rupanya istrinya sudah bangun lebih dulu dibandingkan dirinya.
Ia mengambil handuk yang tersampir di rak handuk di pojok kamar dan melangkah ke arah kamar mandi di dalam kamar tidur mereka.
"Hoaamm.. mandi dulu ah."
Selesai mandi dan berpakaian santai dengan kaos oblong dan celana pendek, Mahardika berjalan ke luar kamar dan bertemu dengan istrinya yang sedang menikmati sarapan.
"Hei, selamat pagi." sapa Ayudia ramah.
Mahardika menarik satu kursi di hadapan istrinya lalu duduk di sana.
"Pagi. Kamu baru sarapan?" ia menyapa balik istrinya.
"He'eh. Tadi abis nyuci dan jemur baju dulu. Ini baru sempat sarapan."
"Lain kali makan dulu baru beberes ya, Sayang. Kamu kan abis sakit kemarin, nanti tiba-tiba pusing lagi gimana, coba?" Mahardika terlihat khawatir dengan kondisi istrinya.
"Aku nggak apa kok, Sayang. Ini udah mendingan. Tapi aku akan coba lebih teratur lagi makannya, ya."
Mereka lalu menghabiskan sarapan dalam diam. Rumah yang cukup besar itu terasa sepi tanpa kehadiran Arya. Biasanya anak itu jam segini lagi ngapain ya di rumah sakit? Dasar anak menyebalkan, lama banget nggak pulang-pulang, batin Mahardika sebal.
Ayudia membawa piring dan gelas kotor yang mereka pakai untuk makan tadi ke tempat cucian piring, namun tiba-tiba saja badannya oleng.
PRANG!
Satu gelas yang tak sempat ia taruh di atas cucian piring pun jatuh ke lantai dan pecah, menimbulkan suara yang cukup keras. Namun, suara itu tak terdengar oleh Mahardika yang masih asyik menyeruput kopi yang disajikan istrinya sembari membaca berita di ponselnya. Sampai akhirnya ia meletakkan ponselnya dan melihat istrinya jatuh tersungkur di lantai dan langsung panik.
"A, Ayu..di..a!" Mahardika berseru terpatah-patah.
Sejak ia kehilangan pendengarannya dua tahun lalu, ia masih bisa mengucapkan kata-kata karena ia tidak tuli sejak lahir dan pernah belajar bicara. Namun, karena lama tak bisa mendengar, ia jadi tak terlatih untuk berbicara. Terlebih lagi, ia terbiasa menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan istrinya dan hanya bisa berbicara seperti normal dengan anaknya. Sejak Arya memulai koas dan pindah ke kosan, Mahardika jadi tak punya teman bicara. Hal itu yang membuatnya jadi jarang menggunakan kemampuan bicaranya dan lebih sering bercakap dengan bahasa isyarat saja sembari menunggu perkembangan terapi dari dokter.
Mahardika menepuk pipi istrinya berkali-kali, tapi Ayudia tetap bergeming. Ia pun panik, dan bergegas menghubungi tetangga sekitar rumahnya untuk meminta bantuan. Ia mengecek napas dan denyut nadi istrinya, masih ada. Berarti istrinya hanya pingsan. Ia harus segera membawa Ayudia ke rumah sakit.
Tapi ke mana? pikirnya bingung. Haruskah kubawa ke RS tempat Arya koas saja?
***
"Jadi, interpretasi dari EKG ini apa?" tanya dr. Andi, atau yang lebih akrab disapa Kak Andi oleh anak-anak koas, salah satu dokter residen penyakit dalam semester 1 saat sedang dinas pagi di IGD.
KAMU SEDANG MEMBACA
CODA (Ruang Bicara) [COMPLETED]
General Fiction{general fiction - medical} Apa yang harus dilakukan jika kamu terlahir berbeda dari keluargamu yang lain? Arya, seorang CODA (Child of Deaf Adult) yang berusaha beradaptasi dengan berbagai polemik dalam hidupnya, terutama cita dan cintanya. Pertem...