-- Sebuah jembatan itu dibutuhkan untuk menghubungkan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Lantas, bagaimanakah cara yang harus ditempuh untuk menghubungkan antara hati yang satu dengan hati yang lainnya? --
***
Kediaman rumah orang tua Arya tampak lengang hari itu. Mahardika sudah berangkat kerja sejak pagi sementara Arya belum pulang ke rumah sejak 3 minggu lalu, menyisakan Ayudia seorang diri yang berada di rumah.
Seperti biasa, setelah menyiapkan sarapan untuk suaminya, ia mencuci piring kotor, menyiram tanaman, menjemur baju di samping rumah, dan juga menyapu sekitar pekarangan rumah. Semua ia lakukan dengan saksama dan cekatan, tanpa jeda sedikitpun. Ia ingin menyingkirkan pikiran-pikiran yang berkecamuk di benaknya, terutama mengenai Arya, anaknya yang masih minggat dari rumah.
Sesekali ia tersenyum manis menyapa tukang sayur dan mamang bakso yang biasa mampir ke kompleks rumah mereka, dan juga bertegur sapa dengan tetangga samping rumahnya, dengan bahasa isyarat tentunya. Beberapa tetangga yang ia kenal ada yang sudah mempelajari bahasa isyarat dasar, atau jika kesulitan, mereka biasa mengetik semua pembicaraan via ponsel. Hal itu amat memudahkan Ayudia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ia tak ingin dikasihani ataupun dipandang sebelah mata hanya karena ia tuli.
Selesai menyapu pekarangan rumah, Ayudia hendak membuang sampah-sampah yang ada ke kotak sampah di pojokan lorong kompleks perumahan mereka. Namun, mendadak badannya oleng. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing dan serasa akan pingsan. Untung saja Bu Ida, tetangga yang tadi mengobrol dengannya, dengan cepat langsung menangkapnya sebelum jatuh.
"Ya ampun, Bu Ayu!" serunya kaget. "Ibu nggak apa-apa?" ia bertanya dalam bahasa isyarat pada Ayudia. Wajahnya tampak cemas.
Ayudia tersenyum dan mengangguk. "Iya, saya baik-baik saja. Tadi agak pusing sedikit. Terima kasih ya, Bu Ida."
Bu Ida pun membantu Ayudia kembali berdiri dan memapahnya kembali ke rumah.
"Biar saya saja yang buangin sampahnya ke sana. Bu Ayu langsung istirahat saja di rumah, ya. Saya antar."
Ayudia menolak halus. "Eh, nggak usah, Bu. Saya nggak apa-apa, kok."
"Sudah, terima saja bantuan saya. Gratis ini, kok. Ya?" Bu Ida tetap memaksa untuk membantu.
Akhirnya Ayudia pun pasrah dan menerima pertolongan Bu Ida. Mereka melangkah bersama menuju ke teras rumah Ayudia.
"Pak Dika kapan pulangnya, Bu? Saya khawatir nanti Ibu kenapa-kenapa kalau ditinggal sendirian. Atau anakmu yang dokter itu di mana? Kok saya lama nggak lihat?" Bu Ida bertanya.
"Suami saya mungkin pulangnya agak sorean, anak saya sepertinya masih sibuk koas jadwalnya padat jadi belum sempat pulang ke rumah. Dia ngekos di dekat rumah sakit. Saya nggak apa-apa kok, Bu. Aman.." jawab Ayudia berusaha menenangkan Bu Ida.
"Nanti kalau saya tiba-tiba merasa nggak enak badan lagi, saya langsung hubungi Ibu, ya. Terima kasih sekali lagi Bu, maaf banget jadi merepotkan," lanjut Ayudia.
Walaupun jawaban dari Ayudia belum begitu meyakinkan hati Bu Ida, tetapi ia mengalah dan pamit pulang.
"Baiklah, kalau begitu saya mau buang sampah ini lalu pamit pulang ke rumah ya, Bu. Pokoknya kalau ada apa-apa langsung kabarin aja saya. Jangan lupa, ya!"
Ayudia mengacungkan jempolnya seolah berkata, 'siap aman' pada Bu Ida. Setelah punggung Bu Ida tak terlihat lagi, Ayudia pun membalikkan badannya dan masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Di balik pintu, ia bersandar pelan. Wajahnya pucat dan penuh keringat dingin. Ia sebenarnya tahu bahwa kondisinya tidak baik-baik saja, tapi ia tak ingin merepotkan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
CODA (Ruang Bicara) [COMPLETED]
Ficción General{general fiction - medical} Apa yang harus dilakukan jika kamu terlahir berbeda dari keluargamu yang lain? Arya, seorang CODA (Child of Deaf Adult) yang berusaha beradaptasi dengan berbagai polemik dalam hidupnya, terutama cita dan cintanya. Pertem...