BAB 5

28 6 0
                                    

Nyeri di perut dan tangan masih terasa saat Maira tiba di rumah. Beruntung, sopir taksi mau membantu mengangkat dan meletakkan plastik belanjaannya di meja makan. Setelah sopir taksi pergi, Maira langsung mengunci gerbang dan pintu rumah. Ia pun bergegas masuk ke kamar mandi, membuka baju, dan melihat memar yang makin terlihat jelas di perut serta tangan. Setelah mengamati sebentar memar tersebut, Maira melangkah ke bawah pancuran air, sementara tangannya membasuh tubuh dengan perlahan.

Sesudah mandi, Maira langsung mengenakan pakaian tidur, lalu menggulung rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil. Setelah mengolesi lebamnya dengan salep pereda nyeri, Maira beranjak keluar dari kamar tidur. Secepat mungkin Ia merapikan barang belanjaan, kemudian menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Biasanya, ketika Ben masih di Jakarta, pria itu selalu makan malam di rumah bersama Maira. Malam ini, rasa sepi mulai menyerang dirinya. Ia meletakkan piring di meja makan, menyalakan televisi, lalu duduk di kursi sambil menikmati makan malam. Di sela-sela makannya, Maira mencoba menghubungi Ben karena hari ini pria itu sama sekali belum memberinya kabar.

"Halo, Sayang," sapa Ben ringan saat menjawab panggilannya.

"Bagaimana keadaan di sana, Ben?" tanya Maira lalu memasukkan sesendok makanan ke mulutnya yang lapar.

"Lancar, Sayang. Besok aku pulang, tapi ...." Tiba-tiba, Ben terdiam. Maira mulai merasa ada yang aneh dengan nada bicara Ben. Ia langsung meletakkan sendok dan menelan makanan dengan cepat. Seketika itu pula, rasa kenyang menghampirinya.

"Tapi apa, Ben?" tanya Maira, berusaha tenang meskipun kegelisahan mulai melanda.

"Minggu depan aku harus kembali ke Bali. Ada proyek khusus yang harus aku kerjakan di sini," jawab Ben terdengar gugup dan kaku. Maira mencoba mencerna informasi tersebut. Namun, entah mengapa keraguan langsung mengisi hatinya.

"Berapa lama, Ben?" tanya Maira, masih berusaha tenang, sementara ia mencoba menebak alasan di balik tugas mendadak itu.

"Maafkan aku, Sayang. Ini kesempatan untukku. Kalau proyeknya lancar dan sukses, aku bisa dipromosikan naik jabatan. Aku melakukan ini untuk kita, Sayang. Untuk masa depan kita," jelas Ben lagi, mencoba memberi pengertian. Penjelasan itu bukannya membuat Maira tenang, malah makin memperbesar kecurigaannya.

"Aku tanya, berapa lama kamu di sana, Ben?" tanya Maira lagi, sambil menjaga intonasi suaranya.

"Kurang lebih satu bulan, Sayang," jawab Ben hati-hati. Maira tidak langsung menanggapi jawaban itu. Satu bulan? Kenapa lama sekali? Proyek apa sebenarnya yang dia urus? tanya Maira dalam hati sambil terus berpikir keras.

"Maaf, Sayang. Ini perintah langsung dari atasanku, aku nggak mungkin menolaknya. Percayalah padaku, Sayang. Aku melakukan semua ini untuk masa depan kita,"jelas Ben dengan nada memohon.

Rasa bersalah serta kegugupan yang terkandung dalam setiap ucapan Ben, benar-benar membuat Maira curiga. Ia bahkan belum menunjukkan respons berlebih atas kabar tersebut, tetapi Ben sudah meminta maaf padanya. Seperti biasa, Maira lebih memilih diam sejenak dan menyerap kabar ini sebaik mungkin, meskipun dengan sikap tenang yang dipaksakan. Ia tidak ingin masalah ini merusak hubungan mereka dan menghancurkan rencana pernikahan. Walaupun rasa kesal dan kecewa mulai menghampiri, tetapi Maira mencoba menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar dapat berpikir dengan tenang dan terkendali.

"Kapan kamu diberi tahu tentang tugas ini?" tanya Maira, tenang, datar, dan sedikit tegas.

"Tadi siang, Sayang," aku Ben pelan.

"Aku usahakan nggak sampai sebulan di sini, aku pasti segera kembali ke Jakarta," lanjut Ben, masih berusaha membuat kabar ini terdengar menyenangkan bagi Maira. Tidak! Maira tidak senang sama sekali.

A Struggle Heart - The 'A' Series No. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang