"Papa." Maira menghampiri papa yang berdiri di luar restoran sambil merokok, tetapi papa tidak mendengar panggilannya. Raut papa murung, sementara tatapan lurus ke depan dan pikirannya melayang entah ke mana. Helaan napas panjang ketika papa mengisap dan mengembuskan asap rokok, menunjukkan betapa berat beban yang saat ini mengisi benaknya.
"Papa," panggil Maira lagi seraya menepuk lembut pundak yang terkulai lemah saat mengembuskan asap keluar dari mulut.
"Ada apa, Sayang?" tanya papa sembari mematikan api rokok di tempat sampah yang ada di dekatnya. Kerisauan yang terlihat jelas di wajah papa, membuat Maira makin curiga.
"Aku mau Papa jujur. Aku tahu kalau Papa sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Cerita padaku, Pa," pinta Maira memelas seraya melingkarkan pelukan manja di lengan kanan papa. Sikap itu membuat papa tak kuasa menolak permintaannya. Akhirnya, papa mengembuskan napas panjang, lalu kembali menatap jalanan yang saat ini tidak terlalu ramai.
"Ini tentang orang tuamu, Maira," ucap papa setelah beberapa menit terdiam dan bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Ada apa dengan orang tuaku, Pa?" tanya Maira penasaran.
"Papa rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk menceritakan hal ini, Nak. Kamu sudah menentukan pilihanmu, dan Papa rasa kamu berhak memperoleh kebahagiaanmu sendiri," jelas papa dengan raut tak terbaca yang membuat Maira makin tidak tenang. Ia melepaskan pelukannya dari lengan papa, lalu mundur selangkah.
"Apa maksud Papa? Aku benar-benar tidak ngerti," tanya Maira cepat. Keningnya mengerut bingung, lalu bersedekap.
"Kamu sudah memilih Ben. Papa juga merestui pilihanmu itu, Sayang. Jadi, apa pun yang mendiang orang tuamu tentukan sudah tidak penting lagi sekarang," jelas papa yang berusaha keras menyembunyikan sesuatu darinya. Maira berusaha mencerna penjelasan papa, tetapi tetap saja tak satu pun dari kata-kata itu mampu menenggelamkan kecurigaan Maira. Ia memutuskan untuk menunggu, berharap papa mau memberikan penjelasan lebih. Namun, papa malah terdiam, sementara pandangannya kembali kosong.
"Apakah Papa akan tetap diam dan membiarkanku mencari tahu sendiri tentang rahasia yang berusaha Papa sembunyikan dariku?" tanyanya, kali ini penuh penekanan dan sedikit menuntut. Namun, napas Maira tercekat saat menangkap rasa bersalah yang begitu besar ketika papa menoleh dan menatap dirinya.
"Kamu sudah dijodohkan dengan seseorang, Maira," ungkap papa akhirnya. Mata Maira terbelalak dan napasnya seperti terhenti selama beberapa detik setelah mendengar fakta mengejutkan itu. Maira menyerap kata 'dijodohkan' dengan baik, dan mulai mengerti mengapa papa terlihat ragu, gelisah, dan risau sejak Ben datang melamar ke rumah.
"Dia adalah anak dari kerabat ibumu. Tapi ... Papa rasa perjodohan itu sudah tidak penting lagi. Kamu sudah dewasa dan berhak menentukan siapa yang pantas untuk mendampingimu. Ini adalah jalan hidupmu, Anakku. Papa yakin ... sangat yakin kalau kamu mampu bertanggung jawab atas semua keputusan yang kamu ambil," jelas papa dengan bijaksana dan penuh wibawa.
"Dijodohkan? Kenapa Papa baru bilang sekarang?" tuntut Maira tanpa berusaha menyembunyikan rasa kagetnya sama sekali.
"Karena Papa tidak mau kamu menderita, Anakku. Kamu berhak untuk bahagia," jawab papa tulus meskipun terlihat jelas besarnya rasa bersalah yang ditanggung karena menyembunyikan hal ini dari Maira.
"Tapi ... apakah tidak masalah jika aku mencintai dan menikah dengan pria yang bukan pilihan orang tuaku, Pa?" tanya Maira ragu, bingung, dan serba salah. Ia tidak ingin menikah dengan pria lain selain Ben. Cintanya hanya untuk Ben, dan tak seorang pun mampu menghapus perasaan itu. Bahkan, Maira berniat untuk melanggar perjodohan aneh itu, dan memperjuangkan hubungannya dengan Ben.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Struggle Heart - The 'A' Series No. 2
RomansaWARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.) ***** Maira, seorang wanita yang sudah menjatuhkan pilihan dan memberikan selu...