ĈĤĂPŤÊŘ [ 2 ]

125 20 17
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Teh rosella yang baru saja diseduh oleh Luna di letakkan di atas meja ruang tamu. Darman baru saja keluar membawa 1 karung barang dari kamar istrinya untuk di buang. Luna tak lagi bertanya perihal apa yang ada di dalam karung itu seperti saat pertama kali ia melihatnya. Itu adalah popok dewasa yang ibunya gunakan karena sampai sekarang ibunya belum bisa berjalan bahkan hanya untuk ke kamar mandi. Kadang Luna merasa kasihan dengan ayahnya yang begitu kelelahan, tetapi saat Luna ingin membantunya, Darman menolak dengan lembut.

'Sudahlah Nak, biar ayah saja.'

Luna beranjak menuju pintu kamar ibunya yang terletak paling belakang, tepat di bawah lantai kamar Luna. Gadis dengan rambut panjang di bawah bahu itu mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat. Ia hanya bisa melihat punggung ibunya yang duduk membelakangi pintu tampak semakin kurus dan rambut gelombangnya berantakan. Terlihat banyak noda hitam di dinding kamar dan jendela hanya dibuka setengah membuat tirai jendela tipis berkibar pelan diterpa angin. Luna menarik napas dan memberanikan dirinya menggeser pintu secara perlahan hingga gesekan pintu dengan lantai mengeluarkan bunyi yang khas membuat ibunya, Laura, berbalik dengan tatapan kosong, kantung matanya semakin gelap, dan bibirnya yang pucat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa digambarkan, campuran ketakutan dan kehampaan. Luna rasanya ingin menangis melihat senyum hangat yang dulu berseri pada wajah ibunya kini telah hilang.

"Ibu ini aku, Luna," kata Luna yang baru saja ingin mendekat tetapi wajahnya langsung dilempari sebuah vas kecil yang melayang dari tangan Laura. Luna meringis tertahan, namun belum sempat ia mengangkat wajahnya menatap Laura, tangannya ditarik oleh Darman untuk segera keluar.

"Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Darman yang langsung memeriksa wajah putrinya. Untung saja tak ada yang luka. Luna hanya menjawab dengan anggukan.

"Keadaan ibumu tidak stabil. Jadi maafkan dia ya, Nak," jelas Darman meski hal barusan adalah hal yang sering terjadi pada Luna jika bertemu Laura, membuatnya menghela napas. Gadis itu rindu dengan ibunya yang dulu.

***

Siang hari saat sinar matahari terasa redup karena tertutup awan, Luna keluar dari rumah untuk menemui Ruka dan Dion di jembatan kecil yang tak jauh dari rumahnya, tempat mereka selalu berkumpul. Jembatan yang biasa digunakan para petani teh untuk mengantar hasil panennya. Mereka mengirim pesan singkat untuk bertemu dan sekadar pergi jalan bersama. Saat menemui sahabatnya, Luna sama sekali tak ingin menceritakan perihal mimpi buruknya waktu itu. Baginya itu hanyalah bunga tidur.

"Akhirnya kamu datang juga Luna," kata Ruka menarik tangan Luna untuk segera duduk di dekatnya. Mereka duduk di pinggir jembatan yang di bawahnya ada sungai kecil. Hanya berjarak satu meter dari kaki Luna yang menggantung. Dion yang sedang bermain ponsel berbalik sebentar dan tersenyum pada Luna.

"Kamu kenapa?" tanya Ruka yang membuat Luna tersenyum tetapi terasa dipaksakan membuat Ruka memegang bahu sahabatnya itu. Dion akhirnya mematikan ponsel lalu memasukkannya ke dalam ransel yang dia bawa dan ikut menatap ke wajah Luna.

"Ini perihal ibumu?" tanya Dion hati-hati.

"Iya, aku enggak tahu lagi harus gimana. Sudah 3 bulan aku tak pernah mendengar ibuku berbicara. Kalian sendiri tahu kan, bagaimana frustrasinya aku," jelas Luna yang tak sadar air matanya sudah jatuh. Ruka langsung memeluk sahabatnya itu. Dion mengigit bibir bawahnya karena merasa bersalah melontarkan pertanyaan barusan. Ada jeda beberapa menit sebelum Luna menghapus air matanya.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku tahu ayahku juga lelah. Aku ingin ibuku kembali, aku bahkan tidak tahu kecelakaan seperti apa yang membuat ibuku seperti itu," kata Luna.

"Kamu belum mengingat apapun?" tanya Ruka dan Luna menatapnya dengan heran. Namun Dion segera menyenggol bahu Ruka dengan pelan. Gadis dengan rambut gelombang dan poni di atas alis itu mengerutkan dahi.

"Ingat apa Ruka?" tanya Luna yang kini membuat Ruka terdiam. Entah kenapa Luna merasa tak nyaman melihat Ruka seperti menyembunyikan sesuatu.

"Kalian pernah dengar sumur permohonan?" tanya Dion yang sengaja mengubah alur pembicaraan membiarkan Ruka diam-diam menghela napas lega.

"Yang berada di ujung perkebunan teh," tambah Ruka. Luna yang tadinya masih ingin bertanya segera berdiri dari duduknya dan diikuti oleh kedua temannya.

"Kata orang-orang itu bener bisa ngabulin apa yang kita mau," jelas Dion berharap Luna tertarik dengan apa yang dia katakan barusan.

"Beneran?" tanya Luna, Dion tersenyum.

"Mana ada yang kek gitu, jangan dengerin dia Luna. Si Dion mah emang suka ngarang," kata Ruka sambil tertawa kecil. Dion hanya menggeleng kepalanya.

"Bukannya tempat itu di larang masuk karena banyak tanaman beracun?" tanya Luna yang pernah mendengar bahwa tanah sekitar sumur itu pernah menjadi tempat berbagai tanaman beracun yang ditanam oleh seorang ilmuwan.

"Aku juga mendengar itu," sahut Ruka. Mereka kini berjalan bersama sambil mengobrol.

Dion antusias menceritakan tempat itu seolah-olah dia pernah ke sana. Padahal tadinya dia hanya ingin mengalihkan pembicaraan tetapi dia juga malah terbawa pada cerita yang dia lontarkan.

"Sudahlah Dion, berhenti mengada-ngada," kata Ruka.

"Apa salahnya kita coba ke sana, mumpung aku masih libur kuliah," jelas Dion yang membuat Ruka langsung menolak.

"Kamu kan udah dengar kalau di sana banyak tanaman beracun," kata Ruka.

"Itu cuman bualan warga sini, tanamannya juga pasti udah mati. Udah lama banget itu." Dion menyamakan langkahnya dengan dua gadis di sebelahnya.

"Enggak ah, takut kenapa-napa," kata Luna dan Ruka mengangguk setuju.

"Ok besok aku ke sana sendirian, nanti aku videoin," jelas Dion.

Ruka dan Luna menatap satu sama lain. Dion kalau sudah ingin pasti susah untuk dilarang. Mau tak mau dua gadis itu setuju.

"Eh siapa itu?" Tunjuk Ruka pada perkebunan teh di sebelah mereka.

"Woi keluar jangan ngumpet!" teriak Dion.

Niat mereka ingin mendekat namun karena langit tiba-tiba bergemuruh dan turun hujan membuat mereka berlari ke arah pondok pinggir jalan.

"Ibu," gumam Luna.

"Kenapa?" tanya Dion sambil memeluk dirinya sendiri.

"Ibuku takut guntur, pasti ayah bakal kesusahan sekarang," jawab Luna.

"Yaudah kalian balik aja duluan, nih aku bawa payung," ujar Dion mengeluarkan payung dari ranselnya. Laki-laki itu masih ingin duduk sendirian di pondok sambil merokok. Arah rumah Dion juga berbeda dengan kedua gadis itu.

"Emang kamu enggak takut sendirian?" Ruka mengambil payung tersebut.

"Enggak dong, aku kan ultraman," ujar Dion sambil tertawa.

"Yaudah kami balik duluan ya, makasih ya Dion," ucap Luna.

"Ok," balas Dion yang membentuk huruf O dengan ibu jari dan telunjuknya.

Ruka dan Luna bergegas pulang. Dion segera menyalakan rokoknya dan tiba-tiba dia dikagetkan oleh sesuatu.

"Aghhh!"

***

Jangan lupa vote dan komen ya guys. Kritik dan saran juga bolehh.

Make A WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang