ĈĤĂPŤÊŘ [ 13 ]

23 6 4
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Ketika kesadaran mulai kembali, Luna mendapati dirinya berada di ruangan gelap. Tubuhnya terasa sakit dan lebam. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, namun pikirannya kacau.

"Lana," ucap Luna yang teringat dan memaksakan dirinya berdiri. Ia meraba sakunya lalu menyalakan senter pada ponselnya. Luna langsung menyadari tempat apa ini.

"Rumah tua," gumam Luna mengingat malam mencekam waktu itu. Tetapi mengapa ia bisa di sana. Tanpa pikir panjang Luna segera keluar dari sana namun kakinya tiba-tiba tersandung sesuatu hingga membuat ia menjerit kesakitan.

Sebuah sudut bingkai foto yang waktu itu ia lihat melukai kakinya. Luna mengangkat benda itu lalu melihat di balik belakang foto tersebut.

Luna bingung, namun karena merasa semakin lama di dalam ruangan ini ia merasa tak nyaman maka Luna memutuskan keluar dari sini setelah mengambil gambar dari foto keluarga tersebut dengan ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luna bingung, namun karena merasa semakin lama di dalam ruangan ini ia merasa tak nyaman maka Luna memutuskan keluar dari sini setelah mengambil gambar dari foto keluarga tersebut dengan ponselnya. Luna hanya merasa ia harus melakukannya, seperti ada dorongan yang tak terlihat di dalam dirinya.

Saat menatap langit Luna melihat warna langit akan segera berubah menjadi gelap. Luna tak menghiraukan kakinya yang sakit, ia terus berlari untuk segera sampai ke rumah. Namun bukannya sampai ke rumah Luna terus-terusan kembali ke sumur permohonan itu meski Luna mengubah arah ia berlari, nanti pada akhirnya ia berakhir di tempat yang sama berulang kali.

Luna mengacak rambutnya frutrasi. Ia tak tahu harus apa lagi. Luna terduduk dan sandar pada dinding sumur. Dadanya terasa sesak dan ja juga kehausan. Ia mengecek ponselnya yang tak dapat jaringan sama sekali, Luna memeluk lututnya.

Setelah terdengar lolongan anjing yang panjang Luna bisa merasakan hawa di sekitarnya semakin mencekam. Angin berbisik melalui celah-celah daun. Luna menggenggam ranting kayu untuk berjaga-jaga. Jika ia tak bisa kembali berati ia harus menghadapi.

Ia membiarkan senter ponselnya menyala meski sebentar lagi ponselnya tersebut akan mati karena kekurangan daya. Luna teringat sesuatu jika sumur itu mengabulkan semua permohonan maka mungkin bisa terjadi jika ia memohon untuk pulang dan tiba di rumah dengan selamat. Luna menyenter ke dalam sumur hingga menyinari permukaan air yang gelap gulita, seakan-akan menarik semua kegelapan dari dalam sumur. Luna juga menyadari kalau air di dalam sumur tersebut semakin banyak. Tiba-tiba riak-riakai aneh muncul di permukaan air. Sesuatu bergerak di dalam kegelapan, perlahan merangkak naik, meninggalkan jejak berlendir di dinding sumur. Aroma bangkai dan belerang tiba-tiba tercium dari dalam sumur. Suara gemuruh terjadi di bawah sana.

Luna mundur beberapa langkah, menjauh dari sumur tersebut. Kakinya terasa bergetar. Bersamaan dengan itu ponselnya mati dan kegelapan kini menyelimutinya. Suara-suara aneh mulai mengusik telinganya. Seperti suara itu berasal dari dalam kepalanya.

Luna berlari tanpa arah, berharap ia dapat keluar dari sini. Saat ia berbalik menatap sumur yang semakin jauh Luna benar-benar melihat sebuah bayangan hitam yang besar keluar daie lubang permohonan tersebut.

Barulah sekarang Luna benar-benar merasa aneh mengapa ia harus memohon pada sumur permohonan itu. Luna terus berlari hingga badannya jatuh terperosok ke dalam lubang aliran air. Luna semakin dingin, tetapi ia tak lagi peduli.

"Ikutlah denganku."

Luna mendengar seseorang berbicara kepadanya. Gadis itu menoleh ke sana ke mari.

"Siapa itu?!" teriak Luna ketakutan.

"Aku di sini." Tiba-tiba tak jauh darinya seorang gadis dengan rambut panjang berdiri menghadap Luna.

"Ikutlah," kata gadis itu yang kemudian berlari, mau tak mau Luna harus berlari juga.

Hingga Luna tersadar ia sudah berada di jalan menuju rumahnya. Langkah kaki gadis yang menuntun Luna berhenti di bawah lampu jalan dekat rumahnya. Ia menoleh tanpa membalikkan badannya.

Luna baru saja melihat wajahnya sendiri si wajah gadis tersebut.

"Lana!" panggil Luna namun saat ia berkedip, sosok itu tak ada lagi. Mata Luna beralih pada jendela kamarnya. Ia melihat dirinya sendiri duduk termenung di jendela sambil menatap Luna yang berada di bawah lampu jalanan.

Luna berlari masuk ke rumah yang tak dikunci oleh Darman. Ia langsung naik ke atas tanpa menghiraukan panggilan ayahnya yang melihat Luna tergesa-gesa.

Kosong. Itulah yang Luna lihat saat tiba di kamarnya. Tak ada siapa-siapa. Tiba-tiba Darman berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Kenapa, Nak?"

Luna ingin menjawab tetapi bibirnya tak bisa mengucapkan satu kata pun membuat Darman tersenyum lalu berkata, "jika belum ingin cerita, Ayah siap menunggu kapan pun itu." Darman keluar dari kamar.

Luna mengembuskan napasnya dengan keras hingga terbatuk, ia kembali bisa berbicara. Luna duduk di pinggir kasurnya mengatur ritme napasnya.

Darman yang ternyata masih berdiri dekat kamar Luna terdiam sejenak. Setelah memastikan tak ada suara dari dalam kamar anaknya, pria itu akhirnya turun ke bawah untuk mengurus Laura yang berteriak dan menggaruk dinding kamarnya.

Dinding kamar tersebut semakin hari semakin banyak meninggalkan noda hitam di permukaannya. Meski Darman berulang kali mengecat dinding tersebut namun keesokan harinya akan kembali menghitam.

Laura terus meraung hingga Darman terpaksa menyuntikkan obat bius padanya. Pria itu benar-benar tak kuat jika harus begini. Darman keluar dari rumah, berusaha menenangkan dirinya, menghirup udara malam yang semakin dingin. Secangkir teh rosella sudah dingindingin sedari tadi di lantai teras rumahnya, padahal tadi Darman ingin meminumnya saat hangat terpaksa ia harus menumpahkan teh tersebut di halaman rumahnya.

Darman menghela napas panjang, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil satu batang dan menyalakannya hingga terlihat bayangan Darman memanjang pada dinding rumahnya. Asap rokok mengepul tebal, seolah-olah membungkus dirinya dalam sebuah kepulan penuh pikiran. Padahal ia dulu sudah meninggalkan kebiasaan merokok namun beberapa bulan ini ia tak bisa menahannya. Matanya menerawang ke kegelapan malam, pikirannya berkecamuk dengan berbagai masalah yang sedang dihadapinya. Lalu ia teringat sesuatu yang membuatnya sulit tertidur.

Bagaimana ia bisa kembali, Darman membatin.

Malam semakin larut dan keheningan di sekitar rumah Darman hanya pecah oleh suara detak jantungnya yang bergemuruh. Pria itu membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya.

Tiba-tiba Darman membeku di tempat. Mata bulatnya terbelalak tak percaya saat melihat tanaman bunga rosella kesayangannya bergoyang liar, melawan arah angin yang  berembus. Batang-batang tanaman itu berderak seakan hidup, daun-daunnya menggeliat seperti tangan yang meraih. Darah dinginnya mengalir deras ke sekujur tubuh.

"Siapa itu?" tanya Darman, namun hanya dibalas suara jangkrik dan kodok yang tampak bersahutan.

Darman menyadari sesuatu saat melihat seseorang berdiri di sana. Darman berlari masuk ke rumah dan menguncinya dengan tergesa-gesa.

Darman baru saja melihat Dion berdiri di antara tanaman bunga rosella. Tersenyum sambil melototkan matanya yang hampir keluar.

****

Jangan lupa untuk vote, komen, kritik, dan saran ya guysss. Terima kasih telah mampir🥰.

Make A WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang