ĈĤĂPŤÊŘ [ 8 ]

109 14 10
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Luna berlari di tengah perkebunan teh yang luas malam itu, dengan bulan purnama menerangi jalan setapaknya. Senter ponselnya tak mengarah lagi dengan benar. Angin dingin berembus, membawa aroma segar daun teh yang baru dipetik. Suara gemerisik daun teh yang tersapu angin menambah suasana mencekam. Perutnya tiba-tiba sakit, tetapi kakinya tak berhenti berlari membiarkan beberapa ranting pohon teh merobek hoodie-nya yang tipis hingga menggores kulitnya. Wajah Dion berubah, itu bukan Dion saat Luna mengarahkan senter ponselnya ke wajah Dion. Lalu, siapa dia? Luna pun tak tahu, yang ia tahu saat berlari sosok itu tak mengejar. Tetapi ia benar-benar ketakutan sekarang. Seakan hal tadi menguras napasnya.

Kakinya yang mulai terasa sakit tak lagi ia hiraukan, menyentuh tanah yang lembab dan licin. Di kejauhan, burung hantu melontarkan suara serak yang memecah keheningan malam. Tiba-tiba, Luna merasakan sesuatu yang aneh. Dedaunan di sekitarnya tampak bergerak-gerak seakan ada yang mengikuti. Jantungnya berdebar lebih cepat. Ia berputar berulang kali untuk memastikan hal itu.

Di tengah kegelapan, Luna melihat bayangan samar melintas di antara deretan pohon teh. Dengan napas terengah-engah, ia berhenti sejenak, berusaha mendengarkan dengan seksama. Suara langkah kaki terdengar semakin dekat, membuat bulu kuduknya merinding. Luna tahu bahwa ia tidak sendirian di perkebunan ini. Ada sesuatu yang Luna sendiri belum yakin apakah itu.

Keheningan yang mencekam membuatnya ingin berteriak, tetapi tenggorokannya serasa tercekat. Ia melanjutkan larinya, berharap bisa menemukan tempat berlindung atau seseorang yang bisa membantunya. Namun, semakin jauh ia berlari, semakin dalam ia masuk ke dalam kegelapan perkebunan teh itu. Luna semakin takut.

Di ujung jalan setapak, Luna melihat sebuah harapan di balik semak belukar. Dengan sisa tenaganya, ia berlari menuju tempat tersebut, yaitu rumah tua yang tak jauh dari sumur yang ia tuju malam ini. Tanpa pikir panjang Luna membuka pintu yang berderit, suara langkah kaki yang mengikutinya tiba-tiba menghilang. Di dalam ruangan itu Luna menyenter ke sembarang arah. Dengan tangan gemetar, ia melihat sekeliling. Bayak sekali botol reagen atau botol pereaksi yang tertata dengan debu tebal di permukaannya, beberapa terisi oleh cairan aneh yang ebrwarna. Luna tak ingin menyentuh apa pun, mengingat rumah ini adalah tempat mengolah tanaman beracun itu.

Di sudut ruangan, ia melihat sebuah foto keluarga dengan bingkai kayu terukir yang berdebu. Foto itu telah dibakar di bagian wajah hingga tak ada yang bisa dikenali lagi. Sepertinya ada orang yang sengaja melakukan hal ini agar tak ada orang yang tahu wajah penghuni rumah ini dahulu. Namun, ada yang membuat Luna terkejut yaitu lilin dan sebuah korek api di atas meja. Semua tempat berdebu, hanya meja itu yang terlihat tanpa debu. Luna yakin ada seseorang yang pernah atau bahkan masih berada di sini. Luna mundur hingga punggungnya menabrak pintu. Gadis itu menelan salivanya lalu memberanikan diri mematikan senternya. Pelan-pelan Luna keluar dari rumah itu, Luna berpikir sejenak seharusnya ia tak masuk di sana. Luka goresan di badannya tadi mulai terasa perih.  Luna menyadari ia harus ke tempat tujuannya daripada menunggu di sini. Sambil sesekali melihat ke belakang takut ada ayang mengikutinya. Luna meraba-raba kegelapan malam, mengandalkan cahaya dari layar ponselnya. Entah kenapa ia takut menyalakan senter ponselnya seperti tadi. Ia hanya mengikuti instingnya yang mengatakan tidak pada hal itu.

Sumur itu terasa jauh saat kaki Luna mulai melemah. Luna hanya bisa berharap pagi segera datang, membawa cahaya matahari yang bisa mengusir kegelapan dan mengakhiri hal ini.

Akhirnya Luna tiba di sumur tua itu. Kali ini ia lebih hati-hati takut ada tanaman yang bisa melukainya. Terdengar suara pemantik lalu lilin menyala tetapi itu bukan dari Luna melainkan laki-laki di hadapannya.

"Dion," ucap Luna yang melotot dan tubuhnya bergetar.

"Aku menunggumu di sini dari tadi, ke mana saja dirimu?" tanya Dion yang mendekat.

Luna semakin mundur.

"Hati-hati ada tanaman gympie-gympie di belakangmu," kata Dion.

Tanaman gympie-gympie yang merupakan tanaman yang memiliki daun lebar berbentuk mirip hati  yang dapat menimbulkan rasa sakit atau perih yang langsung dan hebat di mana pun kita menyentuh tanaman tersebut.

Luna berhenti namun isi kepalanya masih mencerna dan menyusun apa yang baru saja terjadi pada dirinya.

"Bukannya kita berangkat bersama malam ini," cecar Luna.

"Tadinya ingin seperti itu tapi kamu tampak ketakutan padaku, jadi aku ke sini sendirian dan menunggu. Aku kira kamu tak datang."

Itu adalah kalimat terlanjang yang pertama kali Luna dengar dari Dion setelah menghilangnya waktu itu.

"Lalu siapa yang bersamaku?" tanya Luna namun Dion tak menjawab sama sekali, laki-laki itu menyuruh Luna bergeser dan menyalakan lilin juga.

Luna menurut saja, mengeluarkan lilin dari sakunya.

"Cepatlah minta sesuatu," desak Dion yang memberikan Luna cutter.

Seperti yang dikatakan Rita, ibu Dion, jika ingin meminta pada sumur ini ialah cukup menukarnya dengan darah setetes. Keberanian Luna tiba-tiba menciut, ia takut melihat darah.

Dion langsung mengambil alih cutter itu dan menyayat telapak tangannya sendiri lalu dengan cepat mengores telapak tangan Luna dengan cutter. Luna yang tak sempat terkejut hanya bertahan menahan perih pada telapak tangan.

"Cepat teteskan dan ucapkan permohonan," kata Dion.

Luna langsung memejamkan mata.

"Aku ingi ibuku sembuh dan Ruka kembali," kata Luna.

Angin berembus kencang, Luna tak berani membuka matanya. Lalu bisikan lirih terdengar.

"Permintaanmu di kabulkan."

Luna menarik napas dan tersentak dari belakang, untung saja ia bisa mengendalikan tubuhnya hingga tak terjatuh ke dalam sumur. Setelah angin kencang berlalu Luna mendengar suara Dion.

"Mereka kembali."

Seperti dejavu dengan ucapan Dion, Luna membuka matanya dan melihat sekeliling, Dion menghilang.

"Dion!"

Luna berteriak memanggil Dion, tetapi suara balasan itu terdengar dari bawah sumur.

"Dion! Kamu di mana?!"

"Luna." suara Dion terdengar semakin jelas dari bawah sumur.

Luna menyalakan senter ponselnya, namun sinarnya tak mampu menjangkau. Luna menjatuhkan satu lili ke bawah. Hingga ia melihat genangan air di bawah sana.

Tubuh Luna semakin condong ke depan hingga taj sadar kakinya tak lagi menapak pada tanah. Saat ia hampir terjatuh Luna merasa ditarik kembali ke atas.

"Siapa kau?!" Suara Luna menggema di dinding sumur. Semua lilin langsung padam tertiup angin. Badan Luna dijatuhkan di pinggir sumur hingga kepalanya terbentur pada batu. Luna tak bisa melihat siapa orang itu. Hal terakhir yang Luna dengar ialah ...

mati.

***

Jangan lupa untuk vote, komen, kritik, atau saran, ya. Terima kasih🥰

Make A WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang