3. Libertas Quod Expectatur

696 115 19
                                    

Cerita ini murni pemikiran saya, fantasi, dan (mungkin akan) mengandung beberapa hal tidak baik untuk di tiru. Bijak dalam membaca ya guys.

Don't forget for follow me. Comment and like.
.

Sorry for typo's.
.

Enjoy and Happy Reading.
_


‘;Kebebasan Yang Pernah Diimpikan.’

Empat kupu-kupu berterbangan mengitari sayap Helmy beberapa detik, keempatnya bercahaya redup sampai menjadi seterang lampu, kemudian terbang menjauh ke atas perlahan-lahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Empat kupu-kupu berterbangan mengitari sayap Helmy beberapa detik, keempatnya bercahaya redup sampai menjadi seterang lampu, kemudian terbang menjauh ke atas perlahan-lahan.

Keempatnya saling mengitari, berputar-putar menghipnotis mata semua orang, terutama si pecinta kupu-kupu, Naraka.

“How beautiful they are, Na?” Marvio bertanya lirih tepat di samping Nana.

Dengan kepala yang sama-sama menghadap ke atas, mengikuti gerakan empat kupu-kupu itu, Nana menjawab, “Very beautiful. Ada kebebasan dalam diri mereka kan, Bang?”

“Ya, cantik. Bebas yang kamu harapkan dahulu Na.”

Rumah besar dengan lampu-lampu mewah yang menggantung tinggi itu merekam jelas bagaimana tubuh kecil Naraka terjatuh dari kursi yang ia duduki.

“Bodoh banget sih jadi orang!” Sosok tinggi dengan paras rupawan adalah pelaku dari terjatuhnya Naraka.

“Papa, Papa, Nana salah apa?” Sosok kecilnya berdiri segera, lalu menatap polos orang dewasa yang notabennya adalah Papanya.

“Bodoh! Kesalahanmu sendiri saja tidak kamu ketahui?! Bodoh, Raka!”

Tak ada jawaban dari sang anak, dan tak ada hal lain selain tajamnya tatapan sang Papa untuknya.

Tak berselang lama, suara kelotak sepatu dengan lantai terdengar nyaring.

“Ngapain kamu disini? Sudah kerjakan perintah saya?” Naraka melotot horor menyadari perkataan sang Mama yang baru saja tiba bersama anak kecil di gendongannya.

Naraka memandang takut mata Mama, dan tanpa penjelasan lebih, ia tahu, ia dalam masalah besar.

“Kamu bener-bener ya! Bilang saja kalau tidak mau serumah lagi dengan saudaramu, kan?!”

Naraka menggeleng kasar tentunya, sebab tuduhan itu tidaklah benar, ia hanya lupa.

Lupa bahwa Mama memintanya membersikan kamarnya untuk di tempati oleh kedua saudaranya yang sudah lama berpisah dengan mereka untuk tinggal bersama Ibu dari Mama, nenek mereka yang baru saja menutup usia.

ParamartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang