" Beribu permintaan maaf yang terucap, tidak akan bisa memutar ulang kejadian, tidak akan pernah bisa merubah tentang segala yang telah menimpa. Semuanya sudah terlanjur saat itu juga. "
_Senandika Zensia_
•|°°°|•
Ruangan yang bernuansa putih serta suara dari alat monitor yang berfungsi memantau kondisi fisiologis pasien secara teratur guna memastikan stabilitas. Sudah seminggu remaja lelaki itu di sini saat dipindahkan dari ruang ICU.
Dirinya selalu terbangun pagi karena terbiasa, walaupun tidak mengerti sekarang jam berapa. Karena tidak ada jam di ruangan yang serba putih ini, pikir lelaki itu. Nyatanya jam terpasang di atas, sehingga tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sendiri.
Kedua netra hitamnya terbuka secara perlahan. Objek pertama yang dilihatnya adalah seorang pria yang tengah tertidur di atas sofa. Padahal baru semalam, istrinya yang menjaga. Sekarang malah bergantian tanpa sepengetahuan. Lelaki itu merasa jika dirinya tengah direpotkan.
Susah payah bersandar untuk mendekat ke ujung brankar, selalu saja nihil dan tidak bisa. Lelaki itu kembali membaringkan dirinya, seperti posisi semula.
"Om."
Dirja terbangun karena suara, ternyata lelaki itu yang memanggil. "Kamu sudah bangun, Nak? Yang manggil tadi itu ... kamu, kan?"
"Iya, Om. Sebelumnya saya mohon maaf karena merasa nggak enak telah direpotkan. Setiap malam kalian akan menjaga saya bergantian. Tidak apa-apa om kalau pengen ke rumah, saya bisa jaga diri di sini," ujarnya.
"Ssttt." Pria itu berdesis, lalu menghampiri brankar.
"Nggak boleh ngerasa direpotkan. Malahan, kami senang kalau direpotin kamu. Hal ini sudah menjadi bagian tanggung jawab kami," ucapnya.
Pintu ruang terbuka, mengalihkan pandangan bersamaan. Keduanya beralih menatap perawat di ambang pintu.
"Mohon maaf jika mengganggu anda, Pak Dirja. Anda dipanggil beliau untuk ke ruangan nya segera," pinta perawat memberitahu. Beliau yang dimaksud adalah dokter yang menangani.
"Baik, saya akan segera ke sana," sahut Dirja.
Perawat mengangguk, kembali menutup pintu. Dirja beralih menatap lelaki yang rambutnya sedikit acak, tangan besar yang sedikit berkeriput, mengelus alus surai rambut legam miliknya.
"Kalau kayak ginikan enak dipandangnya ... rapi, " ceplos pria itu, sedikit menjauhkan diri untuk memandang. "Tampan," pungkasnya.
Lelaki itu hanya diam.
"Om tinggal ke ruangan dokter dulu sebentar, ya, " pamitnya yang langsung diiyakan.
Saat Dirja beranjak untuk menarik pintu, tiba-tiba lelaki itu kembali berucap, "Terimakasih ... untuk semuanya, Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Zensia
Teen FictionCerita ini berawal dari sebuah pertemuan dua remaja yang sama sekali tidak terbayangkan. Kedua insan tersebut sama-sama berada di satu atap. Tapi nyatanya semua orang pasti memiliki luka yang terdalam, luka yang sulit disembuhkan, luka yang membekas...