Dua hari tidak menginjakkan diri ke sekolah. Pikiran kalut tentang kekasihnya sekarang yang tidak ada kabar sebab tetap saja tak ada balasan. Rasyil menatap nanar ke arah ponsel yang menampilkan jelas centang dua di ujung pesan yang telah dikirim semenjak dua hari yang lalu.
📞 me :
'dittya apa kabar? aku mau ngabarin kalau hari ini aku nggak masuk sekolah, cila sakit.'
'kamu baik-baik aja kan di sana?'Perasaannya saat ini sangat resah dan gundah. Dirinya juga tidak mungkin mengirimkan pesan kepada teman laki-laki sekelas untuk mencari tahu kondisi kekasihnya itu. Ponsel segera ia buang, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Marin sudah ada di sana.
"Rasyil, makan yuk. Papah sudah nungguin di meja makan."
Rasyil mengangguk. Beralih ke sisi ranjang. Mencoba kedua kakinya untuk berdiri. Berharap sekali agar bisa.
Pagi tadi Marin mendatangkan tukang pijat katanya kaki Rasyil sedikit terkilir di bagian betis, sehingga ia sangat kesulitan untuk berjalan. Senyuman kembali merekah, bahagia. Marin yang melihat dari ujung pintu ikut tersenyum.
"Mah, Rasyil bisa jalan lagi."
"Mamah ikutan seneng juga."
Tangannya merangkul pundak Rasyil untuk lebih berdekatan. "Ayo, mereka sudah nunggu dari lama lho..."
Rasyil langsung menganggukkan kepala. Keduanya berjalan seiringan menuju ruang makan sekarang.
Suara dentingan terdengar di telinga. Seperti biasa, posisi meja makan tetap sama. Tidak berubah. Rasyil tetap memasang muka datar, hatinya masih ada rasa tidak senang kepada lelaki itu.
"Syila, kaki kamu gimana sudah mendingan?" tanya Dirja.
"Iya, Pah sudah kok. Tukang pijat yang mamah kirim sangat membantu banget buat Syila."
Marin terkekeh saat mendengarkan. Rasyil melirik sekilas dengan senyuman palsu yang sengaja dibuat hingga tertoleh ke arah manusia sebelah. Di mana tempat lelaki itu duduk. Senyuman Rasyil berubah menjadi sunggingan sinis.
Tidak lama, tiba-tiba saja Bi Imah datang membawa jamuan lain yang ada di nampan. Memilih menatap wanita paruh baya tersebut.
"Bi Imah itu apa? Kita sudah makan," tanya Marin sedikit bingung. Rasyil pun ikut terheran, tetapi berbeda dengan ekspresi kedua lelaki yang ada di meja makan.
"Sungguh mencurigakan."
Bi Imah hanya tersenyum tipis. "Iya, Nyonya ... saya bawakan sebagai makanan penutup malam ini."
Kedua tangan Bi Imah dengan hati-hati meletakkan piring yang sedikit besar di atas meja. Hidangannya tertutup sehingga tidak bisa dilihat apa isinya. Dirja menggeser sedikit untuk mendekat ke arahnya, tak lupa juga berucap terimakasih kepada wanita paruh baya itu sebelum beranjak pergi.
Yang membuatnya terheran lagi saat laki-laki yang ada di sebelah beranjak pergi tanpa berpamit. Rasyil yang melihat dengan kesadaran yang agak labil, ia berprotes.
"Eh, lo mau kemana? Anak anj-"
Rasyil berseru, lalu kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat. Kedua orang tuanya memberi tatapan tajam.
"Anak apa?"
Kali ini Marin yang berbalik tanya, Rasyil kicep seketika. "Bukan apa-apa, Mah, maaf ..."
Berusaha agar tatapan yang diberi sirna dan hilang. Rasyil kembali berkata, "Memangnya itu apa sih, Pah, kok besar banget makanan penutupnya?"
"Makanan penutup yang akan dipenuhi bumbu-bumbu keromantisan malam ini," goda dirja menaik turunkan kedua alisnya sambil melirik istrinya yang malu-malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Zensia
Teen FictionCerita ini berawal dari sebuah pertemuan dua remaja yang sama sekali tidak terbayangkan. Kedua insan tersebut sama-sama berada di satu atap. Tapi nyatanya semua orang pasti memiliki luka yang terdalam, luka yang sulit disembuhkan, luka yang membekas...