"Suatu hubungan itu harus didasari
rasa saling percaya kepada pasangannya."_Senandika Zensia_
•|°°°|•
"Mah, mamah setuju nggak kalau papah masukin dia ke sekolah yang sama kayak Syila?" Dirja bertanya sembari mengusap-usap kepala untuk mengeringkan rambut dan badan yang basah menggunakan handuk.
Marin terkesiap, menghentikan mengemas berkas-berkas ke dalam tas yang akan dibawa ke kantor. Menatap serius ke arah suaminya yang memakai celana pendek saja.
"Iya ... mamah setuju aja, sih, tapi kita aja belum tahu identitas dia." Marin menyuarakan pendapat. Dirja hanya mangut-mangut.
"Iya juga, sih."
Wanita itu berdiri dari kursi, menghampiri suaminya yang kini telah memakai kemeja putih lalu membantu untuk mengancingkan.
"Tapi memangnya bener kalau selama ini papah masih nyari data dari anak itu?" tanyanya membuat Dirja membelalakkan mata. Menunduk memandang istrinya.
"Kamu tahu?"
Satu kancing terakhir telah selesai dipasangkan. Tangannya beralih mengambil dasi di sisi kasur lalu ia lingkarkan ke arah leher suami yang sedikit mendongak ke atas.
"Ya ... hanya beberapa saja yang mamah, tahu." Dirja masih mendengarkan. "Sebenarnya papah tidak terlalu gitu untuk mencari datanya kalau mamah lihat. Karena papah sendiri pengen sekali, 'kan, agar dia selalu ada di rumah ini?"
Dirja hanya terdiam.
"Inget, Pah, dia bukan milikmu, orang tuanya pasti juga sedih kalau tahu anaknya hilang entah ke mana," tutur Marin menjelaskan, yang masih menyampul dasi dengan teliti rapi.
Dirja tak berucap ataupun mencela. Akan tetapi, apa yang dikatakan istrinya memang adalah fakta. Memang benar apa adanya.
"Jangan mentingin ego, Pah ..."
Dirja membelalakkan mata, biasanya jika sang istri berucap seperti itu tandanya pasti sedang serius.
"Tolong hindari ... kasihan anak itu, walaupun dia sudah sangat nyaman di sini. Kamu tidak berhak untuk melarangnya jika anak itu sudah bertemu dengan kedua orang tuanya. Jangan meninggikan kepentingan pribadi di atas kemauan sendiri."
Setiap kali Marin berbicara, Dirja memilih untuk diam juga tidak menanggapi.
Marin menarik ke atas simpul dasi yang dibuat dengan rapi. Kerah kemejanya ia turunkan menggunakan jari tangan yang lentik. Dan selesai.
"Terima kasih."
Dirja hanya berucap seperti itu. Tuturan istrinya yang sebelumnya ia tidak membalas, tidak tahu apakah tidak peduli ataupun masih memikirkannya di kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Zensia
Teen FictionCerita ini berawal dari sebuah pertemuan dua remaja yang sama sekali tidak terbayangkan. Kedua insan tersebut sama-sama berada di satu atap. Tapi nyatanya semua orang pasti memiliki luka yang terdalam, luka yang sulit disembuhkan, luka yang membekas...